DINASTI LEE II (Part 11)

DINASTI LEE

(The Thin Limit)

Part 11

Song of the part :

WHEN YOU TELL ME THAT YOU LOVE ME

By. Diana Rose

I wanna call the stars
Down from the sky
I wanna live a day
That never dies
I wanna change the world
Only for you
All the impossible
I wanna do

I wanna hold you close
Under the rain
I wanna kiss your smile
And feel the pain
I know what’s beautiful
Looking at you
In a world of lies
You are the truth

And baby
Everytime you touch me
I become a hero
I’ll make you safe
No matter where you are
And bring you
Everything you ask for
Nothing is above me
I’m shining like a candle in the dark
When you tell me that you love me

I wanna make you see
Just what I was
Show you the loneliness
And what it does
You walked into my life
To stop my tears
Everything’s easy now
I have you here

And baby
Everytime you touch me
I become a hero
I’ll make you safe
No matter where you are
And bring you
Everything you ask for
Nothing is above me
I’m shining like a candle in the dark
When you tell me that you love me

In a world without you
I would always hunger
All I need is your love to make me stronger

And baby
Everytime you touch me
I become a hero
I’ll make you safe
No matter where you are
And bring you
Everything you ask for
Nothing is above me
I’m shining like a candle in the dark
When you tell me that you love me

You love me
When you tell me that you love me

 

Gereja katedral tampak lenggang pagi ini, namun sayup-sayup terdengar kedua insan yang sama-sama berucap ikrar, sebuah jaminan, tak akan terpisah lagi kemudian. Tak banyak yang hadir di situ, hanya sang putra, Omma, Donghae dan Hongki. Keempat orang yang sangat berjasa menyatukan kembali mereka. Sun tampak berseri hari ini. Tubuh mungil itu berbalut blaser putih yang anggun, dan Min Ho dengan setelan berwarna senada. Dan kini cincin itu tersemat lagi di jari masing-masing.

Je Ha menyaksikan semua itu dengan penuh haru.  Dia menghela nafas lega, sementara Min Jae yang berdiri di sampingnya juga mengikuti secara khusuk. “Dan kini anda bisa mencium pengantin anda, Tuan Lee,” tibalah saat itu, sesuai aba-aba sang pendeta.

Wajah keduanya berpaling, saling menghadap. Dan entah kenapa Sun jadi merasa malu kembali, suaminya itu menatap dengan kerlingan menggoda, hingga wajah ayu itu menunduk. Di saat itulah Sun mengingat ciuman pertamanya dengan Min Ho. Di sini, tempat yang sama, posisi berdiri yang sama. Dan Min Ho yang berdiri di depannya, seakan tahu kegugupannya hingga berbisik lembut,”Jangan gugup, Ratuku.”

Sun mengerjap waktu itu, lalu seakan meyakinkan diri sendiri, dia berbisik,”Saranghae…” Dan demi Tuhan, Sun juga masih ingat jawaban Min Ho,”Saranghaeyo.”

Memori itu terekam kembali di otaknya. Bagai VCD yang sedang direply. Kini semuanya akan terjadi lagi. Min Ho menyentuh dagunya, lalu mendongakkan wajah ayu itu ke atas, hingga matanya yang lebar berbinar di pandangan suaminya. Min Ho merasa mata itu sangat cantik, hingga dia mengamini perkataan Min Jae kemarin, dan akhirnya bukan bibir yang dia cium, tetapi kening, lalu saat kedua mata itu terpejan, dikecupnya kedua pelupuk mata itu, baru kemudian menuju bibir mungil yang tengah tersenyum itu. Sebuah kecupan lembut, seakan membujuk yang akhirnya menuju ciuman penuh tuntutan. Sunguh Min Ho tak kuasa menahan diri jika menyentuh bibir mungil ini, hingga Pendeta berdehem, dan dengan wajah memerah, dipatahkannya ciuman itu.

Donghae dan Hongki pun mengulum senyum. Je Ha dengan perasaan meluap, memeluk Sun, sedangkan Min Jae terpaku di tempat, syok melihat perbuatan orang tuanya barusan. “Apa…. Apa itu tadi?”

Hongki yang samar-samar mendengar Min Jae bergumam, menyentuh pundaknya,”What do you think, kid?”

“Uncle, bukankah sangat menjijikkan menyatukan mulut seperti tadi?” tanya Min Jae polos. Dan sontak Hongki tertawa ngakak dibuatnya. Di depannya, Min Ho mulai merangkul Sun, dan Donghae memberi selamat pada mereka. Hongki semakin ngakak saja, ketika Min Jae mulai jengkel dengan ulahnya, lalu dengan susah payah menghentikan tawa, untuk berkata,”Ha ha ha ha……Kau masih terlalu kecil untuk mengerti. Ya…., mungkin empat tahun lagi kau akan tahu masalah itu. Ha ha ha ha.”

Bibir Min Jae meruncing. Hongki meninggalkannya begitu saja untuk menyalami orang tuanya. Mendapati hal itu, Je ha mendekatinya lalu menepuk pundaknya lembut,”Nak, kau lihat mereka?” Pandangan Je Ha mengarah pada pasangan itu yang berbincang hangat dengan Hongki dan Donghae. Min Jae juga mengamati kebahagiaan itu,”Yes, Halmoni.”

Je Ha tiba-tiba teringat sesuatu lalu berteriak pada putranya,”Min Ho-a, jangan lupa liontinnya!” Min Ho mengangguk, lalu mengeluarkan kotak perhiasan berbalut beludru dari balik jasnya. Dia tersenyum saat Sun di depannya memandang dengan penuh tanda tanya. Dibukanya kotak itu, dan akhirnya kalung berhias liontin lambing dinasti Lee terayun-ayun di tangannya.

“Liontin itu…. ,”bisik Dong Hae. Sun terkejut, pada malam naas itu, liontin berlambang dinasti Lee dia tinggalkan di atap mobil. Seakan tahu hal yang dipikirkan istrinya, Min Ho berujar,”Kau meninggalkannya saat itu.”

Hongki dan Donghae terdiam. Mereka berpendapat tidak bijak sebenarnya, jika Min Ho masih mengungkit masalah itu, mereka mulai mengkawatirkan perasaan Sun. tapi sepertinya pikiran mereka salah, karena Sun dengan mata berbinar mulai menyentuh liontin yang digantung-gantungkan Min Ho. “Miane, Min Ho-ssi. Aku tidak bermaksud….”

“Ssst,” Min Ho menempelkan telunjuknya di bibir Sun,”Hanya kau yang berhak memakainya karena kau istriku.” Dilingkarkannya kalung itu di leher Sun, dan sekali lagi mereka berpelukan hangat, disertai tatapan haru orang-orang yang ada di situ.

Je Ha tersenyum,”Sungguh keajaiban ini terjadi. Ini adalah hal membahagiakan yang terjadi di hidup Halmoni yang tua ini.”

Min Jae mengangguk, masih tetap memandang orang tuanya. Dia juga tak menyangka jika akhirnya  mendapatkan keluarga yang utuh. Dia, Aboji, Omoni dan dongsaengnya nanti. Sungguh hal itu adalah kisah yang indah, yang terjadi di akhir musim panas tahun ini.

Dan awal yang bagus untuk memulai musim gugur. Walau musim ini begitu menyusahkan bagi Sun karena kembali mengalami masa kehamilan yang menyulitkan. Namun semua itu dia jalani dengan kebahagiaan yang teramat penuh, bersama orang-orang yang disayanginya.

Lee Mansion berbenah. Tak henti-hentinya Min Ho mempersiapkan semuanya untuk bayi yang akan hadir. Hingga dia mempercayakan Lee Corporation begitu saja pada Min Jae dan Hongki, karena dia lebih banyak bekerja di rumah. Semua hal tentang perusahaan itu, diputuskannya di rumah, lalu Min Jae dan Hongki sebagai pelaksananya. Sungguh tak adil bagi Min Jae yang harus berpikir lagi tentang GMJ’s Corp tapi mengingat GMJ semakin mempunyai landasan yang kuat, dia mulai mempercayakannya pada professional. Dan anehnya Hongki jadi lebih berinisiatif jika bekerja dengan Min Jae, entah sihir apa yang dipakai anak itu, hingga mampu mengeluarkan raksasa yang tengah tidur dalam diri Hongki.

Semuanya Min Ho atur, tak boleh ada yang terlewat. Kamar Bayi, perlengkapan, pernak-pernik, hingga jadwal control Sun ke dokter kandungan tak pernah luput dari agendanya. Dia juga kadang melarang Min Jae terlalu manja pada Sun. Jika sudah begitu, biasanya Min Jae protes, dan timbullah pertengkaran-pertengkaran kecil di antara mereka, tapi selalu akur lagi karena keberadaan Sun. Pertengkaran itu memang bukan permusuhan, hanya berbagai variasi dari sebuah hubungan ayah dan anak. Kemudian Sun mulai tersenyum kembali jika mereka mulai semalam suntuk bermain catur tanpa ada yang menang atau pun kalah karena kedudukan selalu seri, atau meninggalkannya begitu saja untuk berkuda bersama dengan alasan acara khusus para namja.

Saat bulan November tiba, angin musim dingin mulai bertiup, kandungan Sun sudah akan menginjak bulan kelima sekarang, dan bulan ini adalah ulang tahun Min Jae yang keempat belas. Min Ho menyambut hari itu dengan penuh  antusias. Digelarnya pesta ulang tahun Min Jae secara besar-besaran di Lee Mansion. Donghae-lah yang ditunjuk sebagai EO. Dia ingin memamerkan semuanya. Kesombongannya sebagai seorang Lee telah kembali, istri cantik yang sangat dia puja, serta anak tampan yang cemerlang.

Para undangan memandang takjub pada acara itu. Dong hae mengaturnya dengan sempurna, tanpa celah sedikit pun. Suasana yang meriah khas anak muda, makanan-makanan yang berjibun, music yang menghentak, serta warna-warni yang ceria. Sungguh tak dapat dipercaya bahwa yang berulang tahun adalah salah seorang master termuda lulusan Universitas Beijing, yang selalu berseru dalam otaknya,”What next?”

Rupanya sang master muda tengah dikelilingi teman-temannya, dua orang diantaranya adalah bocah yang mengejeknya di malam sebelum pacuan kuda. Mereka adalah putra Bumie dan Il Woo. Kedua bocah ini tampak berbincang hangat pada Min Jae.

“Tak kusangka kau putra Lee Min Ho, pantas saja kau mengalahkannya di kompetisi kuda,” puji Bumie yunior, tangannya menepuk-nepuk pundak Min Jae. Lalu Il Woo yunior yang berkacak pinggang mulai memprotes,”Kau curang waktu itu, kau membuat abojimu celaka dengan menendang kudanya keras-keras.”

Min Jee menggerak-gerakkan telunjuk di depan mereka sambil berdecak,”Itu bukan curang, tapi strategi. Cari tahu kelemahan lawanmu, dan jadikan itu sebagai kekuatanmu.” Ketiganya lalu tertawa bersama. Hal terkonyol yang pernah Min Jae katakan pada teman sebayanya, dia lupa kalau mereka masih di sekolah menengah pertama, dan menganggap berdaya nalar setara dengannya.

Orang tua mereka menyaksikan itu sambil tersenyum. Music semakin keras, dan Donghae sebagai pembawa acara mulai memandu berdansa. Tapi Min Ho, Sun, Bumie dan Il Woo masih asyik berbincang bersama Kim Joon dan Dara. Min Ho masih saja merangkul mesra Sun, tak risih sedikit pun pada pandangan teman-temannya. Sun tampak cantik malam itu, gaun terusannya yang berwarna merah marun, membuat aura keanggunan semakin terpancar. Matanya berbinar indah, lesung pipit selalu tampak menjawab pertanyaan demi pertanyaan dari kawan-kawan lamanya.

Il Woo jadi geleng-geleng kepala mendapati semua itu,”Sungguh tak bisa dipercaya, kalian bersama lagi setelah tiga belas tahun.” Keenamnya tertawa bersama, lalu Bumie mulai menggoda pasangan itu,”Hm, dan sepertinya kalian tidak buang-buang waktu,” Dia berkata demikian sambil memandang perut Sun. Min Ho jadi semakin membanggakan diri,”Entah kenapa kami jadi menginginkan seorang putri.”

“Hmm…. Benar hanya seorang, Min Ho-a?” Joon menggerak-gerakkan telunjuk di depan Min Ho. Wajah Min Ho jadi memerah, “Apa maksudmu bicara begitu?”

Ketiga namja di depannya hanya ngakak menjawab pertanyaan itu. Dara tampak cemberut di situ, lalu dengan menggerak-gerakkan lengan Sun, dia mulai merengek,”Uni… sebenarnya banyak yang ingin Dara bicarakan, tapi sepertinya suami Uni ini sudah memonopoli Uni.” Dara melirik Min Ho yang bergelayut mesra pada Sun.

“Apa maksudmu memonopoli? Kalian bisa bicara di sini. Apa yang mau kalian bicarakan? Jangan pengaruhi istriku macam-macam,” Min Ho mengomel habis-habisan. Bibir Dara semakin mengkerucut. Ketiga namja itu semakin keras tertawa, dan Sun yang mulai tak enak hati melepaskan diri dari rangkulan Min Ho,”Ayo, Dara dongsaeng, kita berbincang di ruang sebelah saja, ya?”

Dara mengangguk mantap, wajahnya serta merta sumringah. Lalu menarik tangan Sun untuk menuju ruang yang dimaksud dan Min Ho jadi kelabakan,”Hai, jangan lama-lama bawa istriku, dan jangan pengaruhi dia macam-macam.”

Min Ho masih saja mengancam, walau keduanya sudah manjauh, tawa ketiga temannya yang sudah reda akhirnya meledak lagi. Min Ho pun jadi jengkel,”Kalian pikir aku melawak?”

“Aigo, sifat posesifmu itu semakin parah saja,” Bumie hanya geleng-geleng kepala. Joon setuju dengan pendapat Bumie, dia mengangguk pelan lalu menepuk bahu Min Ho,”Hati-hati, Bro. jangan sampai kejadian empat belas tahun yang lalu terjadi lagi. Ingat, kau logam dan dia porselen, sebenarnya dua hal yang bisa saling melengkapi satu sama lain, tapi juga bisa menghancurkan masing-masing.”

Mereka bertiga manggut-manggut mendengar nasihat bijak dari Joon. Terutama Min Ho yang mulai bisa mencerna maksud Joon memberikan hadiah pernikahan berupa sepasang boneka aneh empat belas tahun yang lalu.

“Aku bukanlah keledai bodoh yang masuk ke lubang yang sama untuk kedua kali,” kalimat Min Ho kemudian yang lebih ditujukan untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Donghae yang didapuk sebagai MC acara itu, mulai menaiki panggung. Dengan isyarat tangan, dia memerintah DJ untuk melirihkan suara music, hingga akhirnya suaranya mulai menggema di ruang itu,”Ladys and gentlemen, pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas kehadirannya di acara ini. Sepertinya malam ini, aboji dari bocah yang sedang berulang tahun, akan mengucapkan sesuatu pada putranya. Jadi, harap kepada dua orang yang berkepentingan tersebut segera menaiki panggung.”

Hadirin bertepuk tangan saat ayah dan anak itu mulai berjalan mendekati panggung. Sun yang baru saja memasuki ruang itu kembali bersama Dara mulai melihat dari kejauhan.  Kini Min Ho tampak gugup di atas panggung, semantara Min Jae di depannya memandang penuh tanya. Dia meraih mic yang disodorkan Donghae, sedikit berdehem untuk melancarkan pita suaranya yang tiba-tiba tercekat lalu mulai bersuara,“Pertama-tama saya ingin menyampaikan bahwa malam ini adalah malam yang penuh kebahagiaan bagi keluarga Lee, setelah terpisah selama bertahun-tahun, akhirnya kami bisa berkumpul kembali, dan saya merasa bahwa hari ini saat yang tepat untuk melakukan hal ini.”

Min Ho mengalihkan pandangannya pada putranya lalu memberikan mic yang dipegangnya pada Donghae. Donghae yang tanggap memegang mic itu dan mengarahkannya pada Min Ho. Semua hadirin tertawa melihat hal itu, namun tidak lama karena pada akhirnya mereka melihat Min Ho melepaskan kalung yang selama ini melingkar di lehernya, lalu menggantung-gantungkannya tepat di depan wajah Min Jae. “Ini adalah kalung regenerasi keluarga Lee. Kalung ini sebenarnya akan diberikan padamu nanti pada umur tujuh belas, tapi mengingat kedewasaanmu yang tidak biasa untuk seorang anak yang berumur empat belas tahun, Appa memutuskan memberikannya padamu sekarang.”

Mata Min Jae membulat seketika. Min Ho melingkarkan kalung berbandul lambang keluarga Lee itu di lehernya. Je Ha dan Sun sungguh terharu melihat semua itu.

“Kau adalah putraku. Suatu saat nanti, aku akan menyerahkan semuanya dan bergantung hidup padamu.” Hati Min Jae begitu membumbung mendengar pernyataan Min Ho, dengan kegembiraan yang meluap memeluk abojinya. Min Ho pada mulanya kaget, namun akhirnya dia menepuk-nepuk punggung Min Jae. Tubuh mereka begitu dekat, hingga Min Ho mampu menghitung tiap detak jantung Min Jae. Tiba-tiba Min Ho teringat kenangannya empat belas tahun yang lalu, pada malam setelah Min Jae dilahirkan. Sosok bayi mungil Min Jae berkelebat kembali di matanya, dan hal itu membuat wajah Min Ho berubah pucat dan entah kenapa kakinya terasa lunglai. Min Jae yang sudah melepaskan pelukan mendadak kawatir,”Dad, Are you oke?”

Sun yang melihat hal itu segera menghampiri putra dan suaminya. Min Jae memapah Min Ho menuruni panggung. Para hadirin merasa kawatir, namun Je Ha berusaha menenangkan mereka dan Min Jae memberi kode pada Donghae agar acara tetap dilanjutkan atas saran Min Ho. Sebagai MC yang professional sepertinya Donghae cukup mampu membalikkan situasi menjadi meriah kembali.

Min Jae dan Sun memapah Min Ho memasuki kamarnya. Lalu bersama mereka mendudukkan Min Ho ke sofa. Dengan cekatan, Sun melonggarkan dasi Min Ho yang mencekik dan melepaskan jasnya, Min Jae mengulurkan segelas air putih pada Min Ho. Sayup-sayup suara music mulai terdengar lagi di ruang tengah.

“Gomawo, Min Jae,” ucap Min Ho pada anaknya. Sun menatap penuh kecemasan dan hal itu malah membuat Min Ho semakin serba salah, karena dia teringat wajah Sun yang tertidur dengan beberapa selang meliputi tubuhnya, dan lagi-lagi pada malam empat belas tahun yang lalu.

“Min Ho-ssi, gwencana?” tanya Sun kawatir. Min Ho meneguk lagi air putih yang ada di tangannya.

“What happen, Dad?”

“Gwencana, Baby,” Min Ho menjawab dengan susah payah, lalu mengalihkan pandangan pada Min Jae,”Kembalilah ke pestamu, Min Jae.”

“But….”

“Itu adalah pestamu, dan sebagai tuan rumah yang baik kau harus bersama mereka.”

Min Jae menghela nafas lalu ngeloyor pergi dari kamar orang tuanya untuk kembali ke pesta. Sementara Sun masih duduk di samping suaminya meminta penjelasan,”Perlu kupanggil dokter?”

Min Ho menggeleng. Sun semakin bingung,”Ada apa sebenarnya?”

“Gwencana, Baby.”

Sun menghampiri almari lalu mengeluarkan piyama Min Ho dari sana. Dia berjalan ke arah suaminya, lalu mulai melepas sepatu suaminya,”Kau harus istirahat sekarang.”

“Kau akan menemaniku, kan?”

Sun tersenyum, kini dia mulai melepas kancing kemeja Min Ho satu persatu. Min Ho  tiba-tiba menghentikan gerakan tangan mungil itu,”Temani aku, Baby. Ku mohon.”

Suara Min Ho begitu dalam. Sun jadi tambah kawatir, dengan penuh kebingungan, dia mengangguk lalu dia menarik tangan Min Ho agar berbaring di tempat tidur. Dia tahu maksud di balik perkataan suaminya. Kini dialah yang membuka satu persatu pakaian suaminya, lalu melepaskan gaunnya sendiri, dan mulai memeluk Min Ho,”Lakukanlah dengan lembut,Sayang. Agar tidak menyakiti anak kita.”

Min Ho mengangguk. Pada akhirnya dia mulai mencumbu, sementara pikirannya masih terbayang peristiwa empat belas tahun yang lalu, tapi entah kenapa malam ini Min Ho lebih menginginkannya, melebihi dari yang selama ini selalu dirasakannya. Ia seperti tak kunjung puas, tak cukup menghirup aroma rambut Sun yang lembut, kulitnya dan parfumnya. Min Ho ingin menyingkirkan kenangan pada malam penuh kesedihan itu, dan dia memerlukan Sun untuk membantu mengenyahkan semua itu, untuk meyakinkan bahwa ratu Danahannya baik-baik saja sekarang dan putranya telah tumbuh menjadi remaja cemerlang. Sun mengerti suaminya memikirkan hal yang membuatnya kawatir, meskipun dia tak begitu tahu apakah itu, ia berusaha memberikan segenap dirinya untuk meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Sun sudah memiliki pengertian yang mendalam tentang Min Ho.

Sun terbaring lemas dan puas dalam pelukan Min Ho, dan menatapnya sambil membelai janggut lelaki itu lembut,”Kau baik-baik saja, Min Ho-ssi?”

Min Ho tersenyum menghadapi kenyataan betapa dalam perempuan ini mengenal dirinya,”Aku baik sekarang ini… berkat dirimu… kau baik sekali padaku, Baby?”

Sun gembira mendengar kalimat itu, seakan Min Ho memahami apa yang ia coba berikan kepadanya,”Ada apa sebenarnya, Min Ho-ssi?”

Min Ho menggeleng, lalu memeluk Sun erat-erat,”Hanya kenangan masa lalu yang buruk.”

“Kenangan buruk?” Sun menatap dengan pandangan mengintrogasi. Min Ho mencium keningnya lembut, lalu memandang dalam kearahnya,”Malam itu, empat belas tahun yang lalu, Min Jae hanyalah bayi dengan berat empat ratus lima puluh gram, dan kau terbaring tak sadarkan diri, dengan beberapa selang melilit tubuhmu.”

Sun menjadi prihatin. Hongki sudah menceritakan padanya apa yang dilakukan Min Ho pada malam setelah Min Jae lahir, dan mendapati hal itulah yang menjadikan Min Ho hampir roboh, dia semakin merasa bersalah. Tangannya mulai mengelus wajah suaminya,”Katakan padaku, Min Ho-ssi, apa yang harus aku lakukan agar kau bisa melupakan kejadian malam itu.”

Min Ho menggelengkan kepalanya,”Kau sudah melakukannya tadi. Gomawo, Baby.” Sekali lagi dia mengecup bibir Sun. Mata Sun berbinar seketika,”Miane, telah membuatmu mengalami semua itu, dan membuatmu terpisah dari bayi mungil itu selama bertahun-tahun. Apa yang harus kulakukan sekarang? Agar aku bisa menebus dosaku?”

“Tidak ada, Baby. Cukup kau di sisiku. Tetaplah di sisiku walau aku sangat menjengkelkan. Tetaplah di sisiku walau kadang pertengkaranku dan Min Jae membuatmu sedih. Mungkin hal ini tak adil bagimu. Aku, pria bebal ini selalu saja menyusahkanmu.”

Sun mempererat pelukan lalu mencium dada bidang Min Ho, “Kau adalah pria bebal yang ku cintai.”  Min Ho tertawa ngakak mendengar ucapannya lalu mencium tengkuknya,”Kau gila, Baby?”

“Menurutmu bagaimana?” Suara Sun teredam oleh hasrat yang muncul kembali.

“Menurutku, nasib yang gila karena pria bebal ini beruntung mendapatkanmu….” Dan Min Ho membuktikan lagi kepadanya sementara Sun terbaring dalam pelukannya, dan jeritan-jeritan yang keluar didirinya pasti akan terdengar semua tetangga jika saja ruang gerak mereka di rumah tidak seluas itu, dan music di lantai dasar masih berdentam. Pada akhirnya, ketika Min Ho tertidur, dengan kepala di sisi Sun, perempuan itu tersenyum halus, dan mencium pipinya seraya mematikan lampu.

TBC PART 12