Man is equal in God’s eyes
(Cerita ini hanya fiktif belaka, tapi juga terinspirasi ma kisah perjodohan konyol)
Ruangan keluarga di Goo Manshion mulai riuh dengan tetamu yang sengaja diundang di pesta pernikahan seorang cucu dari keluarga Goo, Kim Joon. Tentu kalian bertanya bagaimana seorang Kim Joon yang nyata-nyata bermarga Kim bisa menjadi cucu keluarga Goo. Tentu saja karena dia menyandang marga sang Ayah. Tiga puluh tahun yang lalu putri dari keluarga Goo dijodohkan dengan putra keluarga Kim. Dari perkawinan itu lahirlah dua anak yang tampan dan cantik Kim Joon dan Kim Min Ji. Dan sejarah berulang, seperti tradisi keluarga-keluarga terhormat lainnya cucu-cucu keluarga Goo dan Kim itu harus melakukan pernikahan yang diatur. Hari ini Kim Joon harus menikahi Sandara Park dan mungkin sebulan lagi akan ada pernikahan Kim Min Ji dengan putra dari keluarga Lee, Lee Min Ho. (NGarang. Com)
Wajah sumringah Mr. Goo selalu tampak di pesta itu tapi tak bisa ditutupinya kalau dari gerak tubuhnya yang berkali-kali melirik arloji itu, terlihat kalau dia sedang menunggu seseorang. Seorang yang akan tiba dari negeri yang jauh, yang selama ini selalu dia rindukan. Pria tua ini selalu mengucap syukur beribu-ribu kali pada sang pencipta karena masih diijinkan bertemu dengan orang itu setelah pencarian panjang selama empat belas tahun. Mereka terpisah karena keegoisannya dan sang putra. Keduanya sama-sama tak mau mengalah. Sebuah konflik yang dimulai dari perjodohan. Mr. Goo masih ingat betul putra satu-satunya begitu menentang perjodohan itu karena terlalu mencintai kekasihnya. Sejoli yang tengah dimabuk cinta itu melarikan diri. Penyesalan selalu datang terlambat, terlebih saat sang putra kembali dalam keadaan tak bernyawa bahkan menantu yang kabarnya tengah mengandung hilang entah kemana.
Mr. Goo menghela nafas, semuanya telah berlalu. Cucunya telah dia temukan lima belas tahun yang lalu. Seorang gadis remaja berusia tiga belas tahun yang terpaksa tinggal sementara di panti asuhan, begitu rapuh dan terpuruk dengan wajah pucat meratapi kematian ibunya. Mr. Goo memeluk erat gadis itu lima belas tahun yang lalu. Pencarian itu berakhir sudah. Sang cucu yang kini sedang ditunggunya di pesta pernikahan itu sudah dia temukan, Goo Hye Sun.
“Tahukah kau kalau aku harabojimu?” kata Mr. Goo lima belas tahun yang lalu. Mata rabun dekatnya menatap lembut gadis ringkih. Sang cucu pun menangis di dadanya, tak menyangka dibalik sebatang karanya hidup, dia masih punya seorang kakek.
“Tunjukkan pada haraboji makam Ibumu, Hye Sun-a,” perintahnya.
Kakek dan cucu itu pun menuju makam yang dimaksud demi menatap gundukan tanah yang masih terlihat merah. Sang menantu meninggal seminggu yang lalu, paru-paru basah dan hanya tatapan nanar yang bisa mereka berikan kini. Sang penyakit terlalu terlambat untuk diatasi.
Dengan kebahagiaan yang meluap, Mr. Goo membawa Hye Sun ke rumah besarnya. Cucu gadisnya itu memandang sekeliling dan dia dengan penuh kebanggaan memberikan tur singkat bagi Hye Sun di rumah itu. Mulutnya terus nyerocos tentang rumah itu, kehidupannya selama tiga belas tahun terakhir yang dihiasi dengan pencarian panjang dan penyesalan akibat keegoissannya. Dia tidak tahu jika sang cucu bertambah perih mendengar semua itu, hingga saat dia memutuskan menggelar pesta penyambutan besar-besaran , gadis itu berkata tegas,”Haraboji, aku ingin keluar dari Korea.”
Demi tuhan, itu adalah pertama kalinya Mr. Goo mendengar suara lantang Hye Sun. Dia ingat betul itu, hari itu seminggu sebelum keberangkatan Hye Sun ke Kanada. Tentu saja dia menolak keras saat itu,”Tidakkah kau tahu harabojimu ini sangat merindukanmu, Hye Sun-a.”
Hye Sun mulai menangis, suara frustasinya segera memenuhi perpustakaan Goo Manshion, “Anyi, Aku tidak mau di sini. Aku benci Korea!!!” Mr. Goo terkejut dengan histeria itu, bahu gadis itu yang bergerak turun naik seiring sedu sedannya. Otak tua Mr. Goo selalu menerka-nerka hal yang telah menimpa cucunya ini tapi sepertinya Hye Sun ingin berahasia.
Kanada, negeri yang dipilih Mr. Goo untuk Hye Sun. Masa remaja Hye Sun dihabiskan di sana. Lima belas tahun bukanlah waktu yang singkat dan Mr. Goo benar-benar tak habis pikir saat Hye Sun tiba-tiba memutuskan untuk merubah warga kenegaraannya menjadi warga negara Kanada lima tahun yang lalu.
“Melamun, Haraboji?” Tepukan Min Ho di pundaknya membuat Mr. Goo sedikit tersentak. Dia hanya bisa menyunggingkan senyum tipis pada pemuda di depannya itu. Kekaguman terpancar di matanya yang ditujukan pada Min Ho. Anak lelaki keluarga Lee ini sungguh berbakti. Demi membahagiakan Ibunya, Min Ho ikhlas menerima perjodohannya dengan Min Ji .
Sekali lagi Mr. Goo melirik arlojinya. Min Ho mengamati dengan dahi berkernyit,”Anda menunggu seseorang?”
Mr. Goo mengangguk,”Cucu perempuanku. Dia janji akan pulang hari ini.”
Min Ho tersenyum mendengar pengakuan Mr. Goo. Siapa yang tidak kenal Goo Hye Sun. Wanita yang berhasil meraih gelar doktor di usia dua puluh tujuh tahun itu. Wanita yang selalu menjadi bulan-bulanan di Korea karena tulisan-tulisannya yang terlalu berani mengkritik Korea.
“Sebuah pernikahan di Korea belum tentu terjadi karena cinta. Orang tua di Korea masih terlalu ikut campur dengan kehidupan anaknya hingga merasa berhak memutuskan jodoh bagi anaknya,” tulis Hye Sun di salah satu jurnal Ilmiah. Hye Sun memang mengambil jurusan Ilmu Budaya.
“Saat kau melihat film perang buatan Korea Selatan. Hal yang bisa kau tangkap adalah sebuah kisah yang heroik, tapi ironisnya, saat Korea Utara melancarkan serangannya, Korea Selatan berlindung pada Obama Oppa atas nama demokrasi,” tulisan Hye Sun ini sempat gempar beberapa bulan yang lalu. Jika saja kewarganegaraannya masih Korea, sudah pasti pemerintah menciduk dan menuduhnya dedengkot komunis. Kalimat itu memang penuh kesinisan dan sarkatis, tapi Hye Sun tetap tak tersentuh. Dia adalah warga dari negara yang benar-benar demokrat, yang menghormati hak berpendapat.
Min Ho sangat geli mengingat semua itu. Sebenarnya dia tak ambil pusing bahkan tak mengenal Hye Sun tapi karena teman-temannya yang terus membicarakan tulisan-tulisannya mau tak mau Min Ho ikut mendengar walau kadang sambil tidur-tiduran ayam.
Tadi Mr. Goo yang melamun dan kini Min Ho juga, pesta ini benar-benar muram. Terutama bagi Min Ho, tak bisa dipungkiri bahwa salah satu tulisan Hye Sun di jurnal itu terjadi pada dirinya. Apakah dia mencintai Min Ji? Jawabannya masih samar. Yang bisa dia lakukan hanyalah menjalani, cinta bisa datang kapan saja. Yang penting bisa membahagiakan sang Ibu.
Mrs. Lee memang terlihat bahagia di pesta ini. Dia menghampiri Mr. Goo, memamerkan sederet rencana untuk pernikahan Min Ho dan Min Ji tanpa perduli pria tua itu mendengarkan dengan segan. Semuanya dia jabarkan, gaun pengantin, katering, tata ruang, semuanya. Saat Mr. Goo melongokkan kembali kepalanya ke arloji itulah, Mrs. Lee baru berkata,”Anda menunggu seseorang?”
“Ne, cucuku!” jawab Mr. Goo.
“Cucu anda pulang dari Kanada?”
Sekali lagi Mr. Goo mengangguk,”Khusus untuk pernikahan Joon,” ujarnya sambil mengamati pasangan yang tengah berbahagia saat ini, Kim Joon dan Sandara.
“Saya jadi ingin berkenalan dengannya. Aku rasa Min Ho juga begitu. Iya, kan, Min Ho-a?” tanya Mrs. Lee sambil menyorongkan kepala pada putranya meminta dukungan. Min Ho mengangguk,”Tentu, siapa yang tidak ingin berkenalan dengan Goo Hye Sun.”
Mr. Goo tertawa bijak. Hatinya semakin bangga pada sang cucu yang tak jua muncul-muncul itu. “Tahun ini dia mengejar gelar profesornya,” kabar dari Mr. Goo yang membuat ibu dan anak itu semakin berdecak kagum.
“Ckckckckck, belum puas juga cucumu itu, Tuan Goo,” decak Mrs. Lee sambil menggeleng-gelangkan kepalanya.
“Sepertinya begitu.”
“Apakah anda tidak merasa sudah waktunya dia memikirkan pernikahan. Bayangkan, jika nanti Min Ho dan Min Ji menikah, tinggal Hye Sun cucu anda yang belum menikah,” saran Mrs. Lee.
“Hye Sun terlalu bebas. Kau tentu masih ingat salah satu tulisannya, bukan?”
Mereka bertiga pun tertawa, menyadari bahwa tengah membicarakan seseorang yang tidak pernah mau hidupnya ditentukan orang lain. Hingga terdengar suara Kim Joon yang berteriak senang,”My princess!” dan ketiganya melihat ke arah kim Joon yang kini tengah memeluk seorang gadis.
Gadis itu tersenyum riang di pelukan Kim Joon. “Chukae, Oppa!” serunya. Mr. Goo hafal betul suara cempreng itu. “Sepertinya yang kita tunggu-tunggu sudah datang, Nyonya,” gumam lelaki tua itu tapi masih tertangkap telinga Mrs. Lee sehingga mereka bertiga berjalan menuju gadis itu.
“Hye Sun-a,” panggilan Mr. Goo tersambut dengan pelukan hangat. Kakek dan cucu itu tertawa sambil melepaskan rindu. Berturut-turut saudara-saudara Hye Sun memberikan pelukan sambutan. Mereka sungguh bahagia. Terlalu bahagia bahkan tak menyadari kalau gadis ini ‘saltum’ alias salah kostum. Pakaian ala bersafari di afrika yang dia kenakan. Mungkin dia terburu-buru, sehingga dari bandara langsung ke pesta tanpa berganti baju. Setidaknya itu yang Min Ho pikirkan. Min Ho agak samar melihat wajah Hye Sun yang tertutup topi pendora dan kaca mata hitam.
“Hye Sun-a, kenalkan, ini Nyonya Lee dan putranya.” Mr. Goo memperkenalkan Hye Sun pada Min Ho dan ibunya. Merasa kurang sopan, Hye Sun mencopot topi dan kaca matanya. Ibu dan anak di depannya seketika mati kutu. Kepanikan melanda, terutama Mrs. Lee yang segera menampakkan muka pucat dan keringat dingin di kening. Sementara angan keduanya melayang pada kejadian lima belas tahun silam, yang mungkin masih diingat oleh Hye Sun…..
0oooOOOooo0
Hal yang akan dilakukan oleh seorang Goo Hye Sun pada hari kedua kepulangannya di Korea adalah memenuhi undangan perguruan tinggi setempat untuk menjadi dosen tamu. Tentu saja Mr. Goo memerintahkan sopir untuk mengantar yang segera ditolak mentah-mentah olehnya. “Hye Sun pilih naik bus saja, Haraboji.”
Mr. Goo menyipitkan mata mendengarnya namun itu tak menyurutkan niatnya. Gadis mungil itu berjalan menuju halte bis setelah melalui areal luas Goo Manshion. Berlari-lari ke arah selter untuk menghindari hujan yang turun tiba-tiba. Menanyakan pada petugas tentang jalur bis yang harus dia tumpangi sambil melakukan transaksi pembelian tiket dan akhirnya duduk manis di ruang tunggu.
Suasana hujan itu mengingatkan pada masa kecilnya. Saat dia dan seorang anak laki-laki bermain hujan-hujanan. Tingkah polosnya waktu itu pun masih dia ingat. Anak lelaki itu menolak bermain sebelumnya. Takut kena marah omanya dan lebih memilih menunggu hujan reda di emperan sekolah tapi kejahilan seorang Goo Hye Sun yang menarik tangannya membuat anak lelaki itu akhirnya terjun di tengah derasnya air yang tertumpah dari langit.
“Ayo, Dongsaeng! Nikmatilah hujan ini! Yuhuu !” teriak Hye Sun histeris. Anak laki yang disebut dongsaeng itu akhirnya tertawa-tawa menikmati sensasi liar itu. Meloncat-loncat bersama, menciptakan cipratan-cipratan abstrak air hujan yang tergenang di kaki mereka.
Saat hujan berhenti. Pelangi melengkung indah di langit. Keduanya kini berdiri dalam keadaan basah kuyub, menatap jalur warna di angkasa itu. Hye Sun merangkul anak itu sementara tangannya yang bebas menunjuk ke atas. “Mejikuhibiniun,” gumamnya.
“Mwo?” anak lelaki itu memandangnya cengo. Hye Sun terkikik pelan, mungkin pelajaran Min Ho belum sampai sini, pikirnya kemudian.
“Urutan warna pelangi itu adalah merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Disingkat mejikuhibiniun,” terang Hye Sun. Min Ho mengangguk-angguk tanda mengerti. Hye Sun mempererat rangkulannya sambil tertawa senang.
Bis dengan jalur yang harus ditumpangi Hye Sun tiba. Lamunan Hye Sun terhenti sementara untuk berkonsentrasi memasuki bis. Selter pemberhentian itu dibuat lebih tinggi beberapa centimeter dari tanah dan jika tidak hati-hati saat melangkah, jangan kaget jika kau terjerembab.
Rupanya hujan agak menyusutkan niat orang-orang untuk keluar rumah. Namun jangan salahkan undangan dari pihak perguruan tinggi itu yang memilih jam lenggang untuk kuliah tamu. Alhasil dengan mudahnya Hye Sun mendapatkan tempat duduk di dalam bis. Dan seperti halnya yang dilakukan orang jika naik bis sendirian adalah mengamati pemndangan yang terpampang dari kaca jendela. Tangan Hye Sun mengusap kaca jendela yang agak buram karena embun itu. Pemandangan luar kini jelaslah sudah. Pemandangan Seoul yang sudah banyak berubah daripada lima belas tahun yang lalu.
Hye Sun menghela nafas. Tangan yang dipakai untuk mengusap kaca jendela itu diusapkannya pada tisu. Tangan yang sudah banyak menghasilkan tulisan ilmiah yang berharga walau kadang menimbulkan kontroversi, setidaknya dengan tulisan-tulisan itu dia bisa mencapai posisinya yang sekarang. Tak ada yang mengira bahwa tangan yang sama itu bekerja begitu keras sewaktu kecil. Almarhumah ibunya adalah pelayan keluarga Lee. Keluarga itu mempunyai anak laki-laki yang berusia lebih muda dua tahun darinya. Tugas Hye Sun waktu itu adalah sebagai kakak pengasuh bagi anak itu.
Tugas yang mudah baginya, tapi tugas yang diberikan pada Ibunya sangatlah berat. Apalah yang bisa didapat oleh seorang imigran gelap yang menjadi pelayan rumah tangga di negeri orang. Mereka berdua sudah cukup bersyukur keluarga Lee masih mau memberi perlindungan, makan dan biaya sekolah bagi Hye Sun. Ya, hanya itu gaji yang didapat Almarhumah Ibunya saat bekerja di Lee Manshion.
Kadang Hye Sun menertawakan nasibnya yang bagai permainan di biduk catur. Bagaimana bisa ayahnya yang merupakan putra dari Keluarga terpandang Goo itu jatuh cinta pada Ibunya yang seorang pelarian dari Korea utara? Bagaimana bisa mereka akhirnya memutuskan kawin lari demi menghindari perjodohan konyol yang diatr Mr. Goo? Dan sang Ayah meninggal karena tidak tahan hidup miskin dan mereka berdua berakhir sebagai ibu dan anak pelayan di Lee Manshion.
Hye Sun mengamati tangan mungilnya. Masih cukup halus walau kerjanya semakin keras akhir-akhir ini. Dia teringat saat tangan itu membuka sebuah surat yang tersampul amplop merah jambu. Dia berusia tiga belas tahun saat itu dan masih berstatus sebagai anak pelayan di Lee Manshion. Kikikan kecil terdengar dari mulutnya kemudian, tapi saat dibacanya tulisan di kertas berbentuk hati itu, perasaannya begitu melayang. Anak laki-laki yang selama ini dipanggil dongsaeng menaruh hati padanya dan ini adalah surat untuk kesekian kalinya dengan kalimat penutup, “Saranghe.”
Tangan Hye Sun mengepal tiba-tiba. Dia juga ingat apa yang terjadi seminggu kemudian, Mrs. Lee yang murka menyeretnya ke depan ibunya. Memaki-maki dengan kata-kata yang tak pantas diucap oleh wanita terhormat. Hye Sun menangis keras, sang Ibu merintih pilu. NYonya besar itu mengobrak-abrik isi lemari mereka. Dan saat menyembul tumpukkan surat merah jambu itu, Mrs. Lee merobek-robek kesetanan.
“Dasar komunis sialan! Dikasih hati malah minta jantung! Sudah dikasih perlindungan dan makan, kini kau sodorkan anak harammu itu untuk menggoda anakku. Jangan mimpi!” umpat Mrs. Lee waktu itu.
Komunis? Keluarga Sang Ibu melarikan diri dari utara karena memberontak dan menghindari paham komunis. Anak haram? Orangtuanya menikah di catatan sipil walau tanpa restu. Tangan Hye Sun semakin mengepal. Bis yang dia tumpangi masih membelah hujan yang semakin deras. Keluarga Lee mengusir mereka hari itu. Min Ho meronta-ronta dibawah genggaman pengawalnya. Keangkuhan gerbang besar Lee Manshion tertutup kasar. Membatasi dunia kanak-kanak mereka. Hanya imajinasi anak-anak, tapi Mrs. Lee terlalu menganggap serius. “Hanya gadis terhormat yang bisa menikah dengan anakku. Dan itu adalah cucu dari keluarga Kim di Seoul!” tegas Nyonya sombong itu yang mana Hye Sun tak cukup bisa menangkap maksud kalimat itu.
Dan tangan itu harus berjabat lagi dengan tangan Mrs. Lee kemarin. Hye Sun berlaku seperti orang yang baru mengalami cuci otak. Dengan menapik kenangan buruk itu, Hye Sun menyodorkan tangannya pada Mrs. Lee sambil memperkenalkan diri, “Goo Hye Sun imnida.”
Tentu saja Mrs. Lee merespon dengan agak gelagapan. Selama ini keluarga Lee mengenalnya sebagai Sunny. Itulah panggilan bagi Hye Sun selama di Lee Manshion. Dan Min Ho…. Hye Sun tahu tentang perjodohannya dengan Min Ji. Adik sepupunya itu selalu mengeluhkan perjodohannya di surat elektroniknya. Ah, Hye Sun tak mau ikut campur. Yang dia nikmati kemarin adalah wajah gugup Mrs. Lee. Komunis sialan? Anak haram? Apa jadinya jika ternyata anak haram itu adalah cucu dari keluarga Goo, salah satu keluarga terhormat di Korea Selatan.
“Senang berkenalan dengan anda Min Ho-ssi,” Hye Sun tahu Min Ho masih mengenalinya. Agak ragu Min Ho membalas jabat tangan Hye Sun. “Begitu juga saya, Hye Sun-ssi.”
0oooOOOooo0
“Huek!” Pagi-pagi sudah terdengar suara orang muntah di kamar Kim Min Ji. Sang empunya kamar memang kurang enak badan akhir-akhir ini. Tubuhnya serasa asing, tak mampu diatasinya.
“Huek!” sekali lagi Min Ji berusaha menuntaskan rasa mual itu. Walau matanya sudah berair tak karuan, yang keluar hanya cairan bening. Min Ji terduduk lemah di samping wastafel. “Ada apa ini?” pikirnya kemudian.
Min Ji berusaha bangkit, meyakinkan diri bahwa keadaannya baik-baik saja lalu menuju tempat tidur. Saat membaringkan tubuh itulah, angannya melayang pada kejadian sebulan yang lalu. Malam yang begitu indah baginya. Sang kekasih begitu memanjakannya waktu itu dan mereka sama-sama terbuai dalam romantisme itu.
“Tidak, tidak mungkin!” ditepisnya pikiran buruk itu.
Telinga Min Ji mulai menangkap suara langkah kaki. Decitan pintu yang terbuka lalu tertutup lagi terdengar dari kamar sebelah. Kamar sepupunya, Goo Hye Sun. Seminggu sudah Hye Sun di Korea tapi mereka tidak pernah bertatap muka dan Min Ji merasa inilah saat itu. Mereka berkomunikasi lewat Surel selama ini. Ingin rasanya bermanja-manja dengan Hye Sun secara langsung.
Dengan langkah riang, Min Ji menuju kamar Hye Sun. Tanpa mengetuk, dibukanya pintu itu. Hye Sun yang kaget menoleh. Min Ji sudah menongolkan kepalanya dengan senyuman lebar,”Miane, kurang sopan.”
“Oh, masuklah, Min Ji-a,” perintah Hye Sun sambil memasukkan baju-bajunya ke dalam travel Bag. Min Ji mengkerutkan kening melihatnya,”Kau mau pergi?”
Hye Sun tersenyum. “Profesor Jansen menelponku agar segera kembali ke Johanessberg.”
“Afrika Selatan?” Min Ji keheranan.
“Ne,” angguk Hye Sun.”Aku mengadakan penelitianku di sana.”
“Apa yang kau teliti?”
“Kehidupan para wanita di sana. Kau tahu, ancaman HIV-Aids mengintai para wanita di sana. Negeri yang pernah jadi tuan rumah piala dunia itu mempunyai sisi gelap prostitusi.”
Min Ji menghela napas panjang.”Dan kau lebih memilih mereka dari pada menghadiri pernikahanku?”
Hye Sun menepuk jidatnya. Dia lupa kalau dua minggu lagi Min Ji menikah. “Miane, tapi tugasku menunggu. Penelitian ini didanai perusahaan asing, jadi aku harus menyelesaikannya tepat waktu.”
Min Ji jadi cemberut. Mau tak mau Hye Sun menghentikan aktifitas berkemasnya untuk memegang kedua pundak Min Ji dan menatapnya lekat-lekat.”Dengar, Min Ji-a, walau pun aku tidak ada di sini saat kau menikah, doaku selalu bersamamu. Selamat menempuh hidup baru. Semoga kau bahagia.”
“Anhi,” elak Min Ji. Kepala mungilnya menggeleng lemah.”Aku tidak yakin bisa bahagia dengan Min Ho. Aku tidak mencintainya.”
Hye Sun hanya bisa menghela nafas. Keluhan Min Ji itu sering Hye Sun baca di surelnya. “Min Ho pria yang baik. Kalian pasti bahagia, percayalah!”
Min Ji tetap menggeleng.”Aku iri padamu. Kau begitu bebasnya. Aku heran kenapa sampai sekarang Haraboji tidak berusaha menjodohkanmu dengan seorang namja.”
“Jangan mengeluhkan nasib, Min Ji-a…,”
“Aku tidak mengeluh. Seharusnya kau-lah yang mengalami perjodohan ini, Hye Sun-a.”
“Mwo?”
“Kau adalah cucu wanita keluarga Goo. Sebenarnya yang dijodohkan dengan Min Ho adalah cucu wanita keluarga Goo.”
“Kau juga cucu keluarga Goo,” Hye Sun memang kurang bisa menangkap maksud perkataan Min Ji.
“Anhi, posisiku di keluarga Goo adalah cucu luar. Kau lah cucu dalam keluarga Goo. Seharusnya Min Ho dijodohkan denganmu, kalau saja kau dan Ibumu tidak menghilang selama empat belas tahun.”
Dahi hye Sun semakin berkerut,”Cucu luar? Cucu dalam? Maksudnya?”
“Ah, bagaimana menjelaskannya padamu. Pokoknya kau cucu dalam karena kau anak dari putra haraboji, sedangkan aku cucu luar karena anak dari putri haraboji. Tapi kalau di keluarga Kim, posisiku adalah cucu dalam.”
Hye Sun memiringkan kepalanya. Lamat-lamat dia menangkap penjelasan Min Ji.”Tapi kita sama-sama cucu haraboji, kan?”
Min Ji mengangguk. “Hye Sun-a,” panggilnya kemudian.
“Ne,” jawab Hye Sun yang kembali memasukkan baju-bajunya ke dalam travelbag.
“Bawa aku bersamamu.”
“Mwo!” Hye Sun jadi mendelik.
“Orang tuamu dulu melarikan diri dari perjodohan Haraboji. Jika aku keluar dari negeri ini, aku pasti juga bisa melarikan diri.”
Hye Sun menghela nafas panjang. “Jangan bodoh, Min Ji-a.”
“Aku tidak bodoh. Rencana pernikahan itu yang bodoh. Aku ingin lari ! Sudah kubilang aku tidak mencintai Min Ho ! ”
“Kalau begitu berusahalah mencintainya!” bentak Hye Sun. “Min Ho pria yang baik. Kau pikir apa pantas kau permalukan dia seperti itu?”
Min Ji mulai terisak. Hye Sun menatapnya penuh rasa empati. Sesaat Hye Sun memeluk sepupunya itu. “Jangan melakukan hal yang kau sendiri tidak kuat menanggungnya,” bisik Hye Sun di telinga Min Ji.
0oooOOOooo0
Hembusan nafas Min Ho serasa berat. Di meja makan itu dia bisa melihat dengan jelas roman muka Hye Sun. Gadis itu menjadi pusat perhatian di acara dinner kali ini. Di samping kirinya, Mrs. Lee duduk dengan wajah tegang. Min Ho menggenggam tangan sang ibu untuk menenangkan. Kejadian lima belas tahun yang lalu pasti masih diingat oleh ibunya itu, Mrs. Lee takut jika Mr. Goo mengetahuinya. Takut jika keluarga Kim membatalkan perjodohan Min Ho dan Min Ji.
“Dan aku tertawa ngakak saat mahasiswa-mahasiswa itu mengira aku mahasiswa baru,” oceh Hye Sun menceritakan pengalamannya waktu dia menjadi dosen tamu. Kim Joon ngakak seketika. Di antara yang hadir di meja makan itu, Kim Joon lah yang paling antusias mendengar kicauan Hye Sun.
“Tidak heran, Hye Sun-a. Wajahmu begitu imut. Pantas saja jika mereka mengira kau mahasiswa baru,” suara Dara. Pasangan ini sangat mengagumi Hye Sun. bahkan mereka duduk terpisah, mengapit Hye Sun di kiri dan kanan.
“Kau harus menjadi pengiring pengantin di pernikahan Min Ji, Hye Sun-a,” tiba-tiba Mr. Goo bersuara. Mrs. Lee tiba-tiba menoleh ke arahnya. Min Ho hanya bisa menahan nafas. Ingin rasanya dia melarikan diri. Berdoa jika saja ada keajaiban yang tiba-tiba datang agar rencana pernikahan ini gagal.
“Mianhamnida, Haraboji. Profesor Jansen sudah menelponku terus,” sesal Hye Sun.
“Haraboji, bisa memberikan dana buat penelitianmu, Hye Sun-a. Iya, kan Haraboji?” Min Ji mengalihkan pandangan pada Mr. Goo. Lelaki tua itu mengangguk.” Jadi kau tidak perlu kawatir jika perusahaan asing itu menghentikan dana karena penelitian tidak selesai tepat waktu.”
“Jangan begitu, Haraboji,” Kali ini Kim Joon membela Hye Sun.”My Princess harus tetap professional. Itu juga demi nama Negara kita di mata mereka.”
“Opa…., kenapa tidak mendukungku,” rengak Min Ji. Kim Joon menjulurkan lidahnya pada Min Ji. Merasa diperolok, Min Ji melemparkan napkin ke muka Kim Joon. Tak mau kalah, Kim Joon melemparkannya lagi ke Min Ji. Tatapan mata Hye Sun jadi beralih-alih dari Min Ji dan Kim Joon. Min Ho mengamati sambil mengulum senyum. Suasana ruang makan jadi ribut karena ulah kakak beradik itu.
“Cukup! Cukup, anak-anak,” teriak Mrs. Kim. Jengkel dengan ulah anak-anaknya yang masih seperti anak kecil. Mr. Goo menatap tajam pada Kim Joon. Kakak beradik itu menyusut di tempat. Mereka tahu harabojinya sangat menjunjung tinggi etiket di meja makan.
Genggaman tangan Mrs. Lee pada Min Ho semakin kuat. Apalagi saat dia melihat ketegasan sikap Mr. Goo sekarang. Apa yang akan terjadi jika Mr. Goo tahu cucu kesangannya pernah terhina di Lee Manshion? Membayangkan saja, Nyonya besar Lee itu tidak berani.
Salah satu pelayan mendekati Hye Sun lalu membisikkan sesuatu di telinganya. “Baik, saya akan ke sana,” kata Hye Sun hingga pelayan itu segera berlalu.
“Kalian lihat, professor Jansen menelpon lagi,” hela Hye Sun sambil mengelap sudut mulutnya. Dia berdiri. “Saya permisi dulu untuk menerima telepon. Terima kasih atas makan malam yang menyenangkan, Anyong,” kata-katanya berakhir dengan bahasa tubuh menunduk.
Mr. Goo menghela nafas pasrah. Hye Sun berlalu begitu saja tanpa menyelesaikan makannya. “Profesor itu tengil juga,” desis Mr. Goo.
“Apa maksud, Appa?” tanya Mrs. Kim.
“Kenapa mereka tidak memberi liburan yang lebih luas pada Hye Sun.”
Malam pun semakin larut. Para orang tua masih sibuk membicarakan rencana pernikahan. Min Ho berdiri di dekat salah satu jendela di Goo Manshion. Hujan masih deras di luar. Sejak kecil dia sangat menyukai hujan. Pelangi yang muncul setelah hujan reda, sangat menyenangkan hatinya. Min Ho masih ingat benar siapa yang pertama kali menunjukkan padanya fenomena alam ini.
“Mejikuhibiniun,” bisikan anak perempuan itu seakan terdengar kembali di telinganya. Dia manatap cengo waktu itu. Kata, “Mwo?” cukup membuktikan kalau dia kurang mengerti maksud perkataan anak perempuan itu. Seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, anak itu terkikik sambil membekap mulutnya. Min Ho selalu terpana dengan gerak-gerik itu. Apalagi melihat warna merah jambu yang menyembul di pipi anak perempuan itu. “Urutan warna pelangi itu adalah merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Disingkat mejikuhibiniun,” terang anak yang berpipi merah jambu.
Min Ho tersenyum mengingatnya. Gerak-gerik itu dilihatnya lagi saat makan malam tadi. Begitu jelas karena Hye Sun duduk tepat di hadapannya. “Sunny” yang manis. Min Ho sangat menyukainya. Bahkan dia harus berkelahi dengan Geun Suk karena anak itu juga menaruh hati pada Sunny.
“Sunny hanya main sama aku! Sama aku !” teriaknya sambil memukuli Geun Suk yang terbaring di bawahnya. Dia sangat marah waktu tahu Geun Suk mengirim surat cinta pada Sunny.
Hujan di luar reda. Kini Min Ho membuka jendela, keluar menuju balkon. Tak disadari Hye Sun juga melakukan hal yang sama beberapa kaki darinya. Mereka berdua sama-sama menghela nafas. Bau tanah basah menyeruak di udara. Begitu menyegarkan system pernafasan mereka. Hingga akhirnya mereka saling berpandangan, ada kekikukkan di antaranya.
“Malam,” salam Min Ho kelu. Hye Sun menganggukkan kepala sambil memamerkan lengkungan indah di bibir. Dan Min Ho merasa harus mendekatinya. Dia mengawatirkan sang Omma yang ketakutan sejak mereka berjumpa Hye Sun lagi.
“Sayangnya tidak ada pelangi,” bisik Hye Sun.
“Kelamnya malam menutupi sang ratu warna itu, Hye Sun-ssi,” tanggapan dari Min Ho.
“Ne,” sekali lagi Hye Sun tersenyum.
“Sunny…,” Min Ho ingin menguji Hye Sun dengan panggilan itu. Dia ingin melihat respon Hye Sun. Apa daya Hye Sun tidak menunjukan respon berarti. Gadis itu masih saja memandang langit yang mulai tersibak dari awan. Sudah lama panggilan itu tidak Hye Sun dengar. Kini dia Goo Hye Sun, cucu keluarga Goo. Bukan Sunny, sang anak pelayan. Hye Sun begitu ingin mengubur kenangan itu.
“Manusia itu sama di mata Tuhan,” cerocos Hye Sun kemudian, yang membuat Min Ho mengkerutkan kening. “Bahkan manusia terlihat kerdil dari atas sana,” sambungnya sambil menunjuk langit.
“Bukan begitu, dongsaeng?”
Hye Sun berjalan menuju kamarnya, sementara Min Ho masih terpaku di tempat. Panggilan Hye Sun padanya membuat semuanya jelas bagi Min Ho. Ingin rasanya Min Ho mengulang masa kecil. Ingin rasanya Min Ho merasakan kembali cinta monyetnya pada Hye Sun. tapi kenangan buruk itu selalu menyertai, saat sang omma mengusir Hye Sun dan Ibunya dari Lee Manshion. Saat itu dia meronta-ronta histeris untuk mencegah semua itu. Dan saat akhirnya pintu gerbang Lee Manshion tertutup rapat, memisahkan dunianya dari dunia cinta pertamanya.
Manusia itu sama di mata Tuhan. Jika saja sang Omma menyadari itu lima belas tahun yang lalu. Kini Hye Sun benar-benar tak tersentuh. Saat kanak-kanak, Min Ho bisa menyentuhnya sebagai Noona. Saat masa remaja, Min Ho bisa menyentuh Hye Sun sebagai cinta pertamanya. Tapi kini….
“Saranghe, Sunny,” kalimat itu keluar begitu saja dari bibirnya. Kalimat yang selalu dibisikannya pada Sunny di masa lalu. Seiring dengan gelora cinta ala ABG di hatinya. Kalimat yang selalu tertulis di setiap surat merah jambu untuk Sunny. Surat-surat yang akhirnya terkoyak oleh tangan Mrs. Lee, dan Min Ho hanya mampu tertunduk meratapi serpihan-serpihan kertas itu. Sunny-nya sudah pergi kala itu.
0oooOOOooo0
Dan tibalah hari yang sudah direncanakan jauh-jauh hari itu. Hari pernikahan Min Ji dan Min Ho. Keduanya kini telah berdiri di depan Altar. Pendeta memberikan wejangan singkat sebelum melanjutkan srakamen berikutnya. Kedua pengantin terlihat pasrah. Sudah tidak ada harapan untuk menghentikan pernikahan ini.
“Jika ada yang keberatan dengan bersatunya mereka berdua, maka bicaralah sekarang atau diam untuk selamanya,” pidato sang pendeta.
Suasana hening sejenak. Min Ho memejamkan mata. Berdoa akan adanya keajaiban.
“Baiklah, jika tidak ada…
“Pendeta…,” panggil seseorang dari bangku audiens. Semua undangan menoleh ke arahnya. Seorang pemuda berkulit putih yang cukup tampan berjalan maju ke altar.
“Shi Won-a….,” desis Min Ji. Air mata segera menggenangi pelupuk matanya.
“Chagiya,” panggil pemuda itu, Shi Won pada Min Ji. “Aku mohon jangan lakukan. Kita besarkan anak kita sama-sama. Ku mohon.”
Tangis Min Ji jadi makin keras. Min Ho memicikkan mata untuk memahami pemandangan yang terjadi. Para undangan mulai heboh. Suara dengungan dari mulut-mulut di ruangan itu membahana.
“Aku mohon… . Maafkan karena aku terlalu kasar kemarin,” ujar Shi Won. “Aku… aku hanya terkejut kemarin. Tapi sekarang aku sadar, aku tidak bisa hidup tanpamu.”
“Shi Won-a…
“Miane, jeongmal miane,” Shi Won berlutut di depan Min Ji. Ditariknya pinggang Min Ji lalu mencium perutnya lembut.
“Tunggu…,” kali ini Min Ho yang bersuara. Serta merta pandangan audiens beralih pada Min Ho. “Kau hamil?” tanyanya pada Min Ji. Masih dengan menangis, Min Ji mengangguk, mengelus kepala Shi Won.
“Dan pria ini ayah dari bayimu?” tanya Min Ho lagi. Sekali lagi Min Ji mengangguk. Audiens semakin gempar. Para orang tua merasa dipermalukan. Tapi herannya Min Ho malah tertawa ngakak. Tentu saja, itu adalah tawa kelegaan hati. Lalu dengan roman muka berseri-seri. Dia memerintah,”Berdirilah, Shi Won-ssi!”
Shi Won menuruti perintah Min Ho. Min Ho memegang tangan Shi Won dan menumpukannya di atas tangan Min Ji. “Berbahagialah…”
Senyum bungah melebar di bibir Min Ho. Segera dia melangkah keluar dari gereja itu dengan sejuta angan di kepalanya. Dibukanya pintu gereja yang megah lebar-lebar. Cahaya luar seketika menyembul ke dalam gereja, hingga tampak tubuh jangkung itu bagai shiluette.
Udara luar segera menyambut Min Ho. Dia memejamkan mata dan menarik nafas kuat-kuat sebelum dihembuskan kembali. “Aku bebas sekarang,” bisik hatinya. Sayup-sayup terdengar ikrar pernikahan dari dalam gereja, Min Ho berlari ke mobilnya. Semuanya akan segera dia persiapkan dan kali ini tentu tidak akan ada yang menghalanginya lagi.
Suasana sabana yang luas menyambut Min Ho saat turun dari mobil pick upnya. Pria ini memandang sekeliling. Warna hijau menerjang matanya saat melepas kaca mata hitam. Musim basah di afrika membuat tetumbuhan tampak begitu lebat. Sementara suara serangga yang lebih mirip dengan gangsing membahana. Menghantarkan langkah Min Ho ke sebuah bangunan mungil yang dari desainnya, kita pasti akan menghina perancangnya.
Tapi di bangunan itu Hye Sun memberikan konseling setiap Minggu pada para wanita penduduk lokal setempat. Min Ho ingin mengetuk pintu, tapi saat mendengar suara Hye Sun dari dalam ruangan yang sepertinya menerangkan sesuatu, Min Ho mengurungkan niatnya. Perlahan, dibukanya pintu bangunan itu.
Dan kini dia bisa melihat HYe Sun berdiri di depan kelas, memberikan penjelasan pada para wanita itu dengan bahasa local yang Min Ho sendiri tidak mengerti. Tapi dari gerak tubuh Hye Sun yang mengacungkan ibu jarinya dan membalutnya dengan alat kontrasepsi itu, Min Ho jadi tahu apa yang dibicarakan oleh HYe Sun di situ.
Sesekali terdengar ‘murid-murid’ Hye Sun tertawa cekikikan. Lalu salah satu dari mereka mengacungkan tangan. Hye Sun mendengarkan dengan seksama pertanyaan dari orang itu yang diakhiri dengan tawa gemuruh seluruh kelas. Min Ho bisa menangkap perubahan warna di wajah Hye Sun. dan Min Ho sedikit heran saat Hye Sun menjawab pertanyaan itu dengan roman enggan.
Min Ho masih saja memandang Hye Sun. Bahkan guci yang ada di samping kiri, dia tak melihat. Suara “prang” dari guci yang tersenggol membuat semua orang menoleh ke Min Ho termasuk Hye Sun.
“Sory!” sesal Min Ho. Hye Sun memicingkan matanya. Seakan tak percaya dengan yang terlihat, gadis itu mengucek-ucek mata. Senyuman segera tersungging di bibir Min Ho. Masih dengan senyuman itu, Min Ho menghampiri Hye Sun yang kini mengamatinya dengan tatapan bingung sekaligus heran.
“Bukankah kalian harusnya berbulan madu?’ tanya Hye Sun tanpa perduli pada ‘murid-murid’ nya yang masih bertanya-tanya siapa pria yang muncuk tiba-tiba itu.
“Maksudnya Kim Joon dan Dara?” tanya Min Ho balik.
“Anhi. Kau dan Min JI.”
“Min Ji dan Shi Won mungkin maksudmu.”
“Mwo?”
Sekali lagi Min Ho tersenyum. Wajah heran Hye Sun membuat kerinduan Min Ho semakin tak tertahankan. Dengan kegembiraan yang meluap, Min Ho memeluk tubuh mungil di depannya itu. Hye Sun mendelik saking kagetnya. Terlebih murid-muridnya pada bertepuk tangan riuh. Perlahan tangan Hye Sun terangkat, mengelus punggung Min Ho, menikmati kerinduan yang terjalar dari pelukan itu.
“Bogosipho, Sunny. …,” desah Min Ho.
Hye Sun menghela nafas. Saat ini dia dan Min Ho sedang duduk-duduk di pinggir kali. Sudah setengah jam mereka terdiam. Hye Sun rupanya kurang mempercayai cerita Min Ho tentang Min Ji. Tiba-tiba Min Ho berdiri. Sesaat dia membungkuk untuk memungut batu kerikil, lalu dengan konsentrasi terpusat, dilemparkan batu itu ke sungai, membentuk loncatan sebanyak tiga kali sebelum tenggelam.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” setelah kebisuan itu, Hye Sun akhirnya bersuara. Min Ho menoleh. “Sangat lega,” jawabnya.
Tentu saja kalimat itu membuat Hye Sun semakin tak percaya. “Kau tidak mencintai Min Ji?”
“Menurutmu?” pertanyaan Hye Sun di jawab dengan klise oleh Min Ho. Pria itu mendekati Hye Sun dan dengan menekan kedua belah pundak Hye Sun, dia berujar,”Apakah selama ini aku terlihat mencintainya?”
Hye Sun menggeleng lemah. Min Ho menyimpulkan senyum. “Dan kini apakah kau lihat cinta di mataku, Sunny?”
Hye Sun masih memandang wajah tampan itu. Meresapi pandangan mata Min Ho yang begitu teduh. Tapi tidak ada jawaban di mulutnya. Karena semua ini begitu berbeda sekarang. Setidaknya itu menurut Hye Sun. dan Min Ho mengeluarkan sesuatu dari balik kantong celana lalu disodorkan ke Hye Sun.
“Surat-surat kita dulu,” kata Min Ho sumringah. Hye Sun menerimanya dengan dahi berkerut. Sobekan surat-surat merah jambu itu kini sudah menyatu semuanya. “Sejak kapan kau satukan semua ini?”
“Sejak kau keluar dari Lee Manshion.”
Wajah Hye Sun jadi sumringah. Kali ini Hye Sun-lah yang memeluk Min Ho. Mereka berpelukan dengan latar belakang siluet langit senja. Dengan gemericik air di bawah kaki mereka dan ciuman penuh cinta yang mengakhiri romansa.
Hingga suara lonceng gereja berdentang tiga kali. Menghantarkan status baru bagi mereka berdua. Status penuh komitmen dan disyahkan oleh segala doa dan restu dari para tetua. Tangan Tuhan selalu ada untuk melindungi kebahagiaan mereka dan seluruh umat manusia.
Karena manusia terlihat kerdil dari atas sana…. Dan manusia di mata Tuhan itu sama ….
THE END