Langit, kenapa ku selalu tertarik padamu?

Saat dunia memandang sinis, aku menengadah. Saat dunia berpaling, aku pun menengadah. Bahkan saat dia mencaci maki, aku tetap menengadah. Berharap dukungan langit memihak.

Langit, kau lah penentu. Dengan sifat agungmu dan welas asih, terimalah keegoisanku. Langit, kau lah penentu, saat dunia mencaciku, hiburlah tangis yang penuh ratap. Saat dunia berpaling, pandanglah aku dengan belai lembutmu. saat dia memandang sinis, tetaplah di sisiku.

Bertahanlah dengan keegoisanku. terpakulah dengan ambisiku, karena kau lah penentu dan aku percaya padamu.

Langit, terimalah ratapan ini.

dariku, yang sendiri di dunia.

PRAHARA CLEOPATRA

CERPEN HADIAH IDUL FITRI UNTUK  ORANG-ORANG YANG KUCINTAI

Pagi yang indah, udara yang segar, suasana menyenangkan yang membuat kedua anak itu riang, bercanda, berkejaran, dan di sana, tak seberapa jauh dari mereka, seorang pria berdiri. Wajah yang bijaksana, sosok tubuh yang tegap, merentangkan ke dua tangannya di muka dan dengan senyum simpatik menyambut diriku yang segera berlari ke arahnya.

Stop!!!…. Stop dreaming, Cleo. Time to get up, now! Ya, ya, aku tahu semua itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini. Rudi, pria yang selama ini ku harapkan jadi sosok dalam mimpi itu, ternyata lebih memilih sepupuku. Sekarang, bagaimana bisa aku tetap memimpikan semua itu?

“Wah sudah bangun, rupanya.”

Nena, teman kuliah yang kuajak ke Jakarta untuk pernikahan Rudi, terkejut melihatku yang tak seperti biasanya karena bangun sebelum alarm berbunyi.

“Jam berapa sekarang?” tanyaku.

“Jam setengah tiga. Wudhu sana!”

Aku segera berwudhu dan mempersiapkan diri untuk sholat tahajud. Keheningan sepertiga malam terakhir menambah khusuk sholat ini. Sesaat kupasrahkan diri di hadapan Ilahi. Dzikir yang mampu menenangkan hati yang bergejolak dan doa yang selalu menjadi hiburanku serta lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang serasa bagai simphoni di telingaku.

Adzan subuh tak jua terdengar. Kuamati suasana sekeliling. Sepi… Beberap orang tidur berdesakan di ruang tengah. Barang-barang perlengkapan pernikahan terlihat terbengkalai di beberapa tempat. Mereka sangat capek dengan kesibukan ini. Kualihkan pandangan  ke pintu kamar Shinta. Pintu kamar itu masih tertutup. Sudah empat hari dia menjalani masa pingitan. Tradisi yang aneh… .

Shinta, saudara sepupuku yang lebih dipilih Rudi sebagai calon istrinya. Semua itu membuatku kecewa. Aku yang lebih dulu tertarik pada Rudi. Seharusnya dulu aku tidak memperkenalkan mereka. Dasar bodoh !

Adzan subuh menyadarkan lamunan. Segera kupenuhi panggilan itu dan melupakan masalah sejenak.

Kesibukan pun berlanjut. Terus terang, aku tidak betah di sini. Rasa iri dan patah hati pada calon pengantin… .

“Hai, kok bengong?” suara dari belakang mengagetkanku. Shinta!

“Kamu kok berani keluar kamar?” tanyaku.

“Suntuk di kamar terus. Eh, kamu lihat Rudi, gak?”

“Rudi? Bukannya kalian tidak boleh ketemu sampai acara pernikahan besok?”

“Aku tahu, tapi…

“Udah deh. Jangan bikin perkara.”

“Tapi, Cleo.”

“Udah sana masuk kamar!”

Shinta menuruti perintahku dengan bibir manyun. Aku muak dengan keadaan ini dimana harus pura-pura baik pada Shinta hanya karena dia sepupuku. Aku tahu, apalah aku dibandingkan Shinta. Kami memang sama-sama cucu nenek dan kakek tapi tetap saja berbeda nasib. Paman Hanafi, Ayah Shinta yang cukup berada, mampu memberikan apa saja untuknya. Sedangkan aku? Mungkin itu yang membuat Rudi berpaling dariku.

“Kau tahu? Semua itu tidak benar,” seorang pria yang tidak kukenal menyelutuk tiba-tiba. Aneh, seolah dia tahu jalan pikiranku. Ku lihat wajah pria itu. Cukup tampan, tapi di mana aku mengenalnya?

“Kau tahu? Jika seseorang telah memutuskan siapakah yang akan mendampinginya, segala sesuatu seperti kecantikan, kekayaan, kedudukan dan status tidak akan masuk hitungan,” lelaki itu menguliahiku dengan kata-kata yang menurutku penuh teori. Mana ada di jaman sekarang yang sarat materialisme masih berlaku hal semacam itu?

“Aku rasa kau sudah terlalu jauh mencampuri urusanku !” Aku bersikap ketus. Dia memang tidak sopan mengingat kami tidak saling kenal.

“Maaf, namaku Levy,” dia menjulurkan tangan. Sekali lagi dia mampu menebak yang ada di benakku. Tak ada yang bisa kulakukan selain membalas niatnya berkenalan.

“Dari mana kamu tahu tentangku?” tanyaku setelah kami cukup akrab.

“Hanya menebak.”

“Menebak?”
“Dari sikapmu.”

“Sikapku? Memangnya sikapku tidak wajar? Atau… terlihat munafik?”

“Tidak,” dia mengibaskan tangannya.”Entahlah, aku cuma tahu. Itu saja.”

Levy segera meninggalkanku setelah menjawab. Aku semakin tidak mengerti. Seseorang bisa tahu isi hati orang lain hanya dengan melihat sikapnya? Ah, mana mungkin?

Akhirnya tiba juga saat itu, saat Shinta dan Rudi menjalani ijab Kabul dan aku yang tidak mampu melihat kebahagiaan mereka. Aku memutuskan untuk keluar dari ruangan yang penuh sesak dengan tamu undangan. Aku menuju ke samping rumah karena di sana terlihat Levy berdiri termenung.

“Assalamu’alaikum,” salamku padanya.

“Walaikumsalam.”

“Aku keluar rumah karena jenuh dengan banyaknya orang di sana,”kataku memulai pembicaraan.”Aku rasa aku butuh udara segar.”

“Jangan munafik. Aku tahu kau keluar karena tidak tahan dengan pernikahan mereka,” Levy menyindir. “Kau lihat rumput ini?”

Levy menunjuk pada rumput yang terbentang di bawah kami.”Kau tahu apa warnanya?”

“Hijau!” jawabku.

“Apa warna rumput di halaman rumahmu di Jogja?”

“Hijau juga?”

“Aku rasa kau sudah tahu maksud pertanyaanku.”

Aku mengangguk. Aku melepaskan sepatu dan menginjakkan kaki telanjang di atas rumput. Rasa dingin menjalar di telapak kaki. Kulihat beberapa tamu memasuki rumah… . Au! Sebuah duri menusuk telapak kakiku. Aku meringis kesakitan. Levi terkejut.

“Tidak, Aku tidak apa-apa, kok. Cuma duri,”kataku sambil memijit-mijit bagian kaki yang terkena duri lalu kukeluarkan duri itu dan mencoba berdiri kembali.

“Sebenarnya kau sudah tahu, kan resikonya sebelum memutuskan untuk mencopot sepatu dan berjalan dengan kaki telanjang di atas rumput?”

Aku mengangguk,”Aku hanya ingin merasakan dinginnya rumput ini di kakiku.”

“Pernahkah kau berpikir bahwa Shinta menikahi Rudi juga dengan resiko?”

“Resiko? Memangnya resiko apa yang harus ditempuh oleh gadis yang menikahi Rudi?”

“Semua pilihan dalam hidup ini penuh resiko, Cleo. Hanya saja kita memutuskan untuk memilih karena manfaatnya yang lebih besar dari rsikonya tapi semua itu tidak membuat resiko itu hilang, bukan?”

“Ah, aku pusing kalau ngobrol sama kamu. Kamu sok filsafat banget, sih? Apa kamu kuliah jurusan filsafat”

“Tidak, Aku sedang menempuh S2 farmasi.”

Aku heran. Cowok semuda itu sudah S2? Wah, salut deh! Tapi cara bicaranya kok seperti ini? Apa dia salah jurusan?

“Kenapa kau tidak ambil saja sisi positif dari kejadian ini.”

“Sisi positif yang bagaimana?”

“Setidaknya bukan kamu yang ada di tempat Shinta dengan kepala pusing menahan berat dari sanggul, make up maupun kebaya yang melilit erat di tubuh.”

Aku tertawa mendengar kalimat Levy. Aku mulai berpikir bahwa dia adalah penghibur yang baik.

Pertemuanku dan Levy memang terbilang aneh. Dia tiba-tiba mendekatiku saat broken heart karena Rudi, menebak semua jalan pikiranku, membuatku berpikir tentang rumput dan resiko setiap pilihan, serta mengambil sisi positif dari suatu masalah.

“Ah, kau terlalu beranggapan baik padanya,” kata Nena setiap kali ku curhat tentang Levy. “Bisa saja dia sok bijak untuk mendekatimu yang lagi broken.”

“Jangan berpikiran jelek!” aku berusaha menampik pendapat Nena meski dalam hati setuju. “Tapi… sepertinya wajah Levy tidak begitu asing? Entahlah… sepertinya kami pernah bertemu sebelumnya.”

“Di mana? Di kehidupan yang lalu?”

“Uh, ngaco!” Kami tertawa berdua.

Seiring waktu berlalu, aku semakin mengenal Levy. Ternyata dia mengambil S2 di kampusku. Kampus yang paling ngetop di kota gudeg. Terkadang kulihat dia di perpustakaan. Dia selalu menyapa setiap kami bertemu tapi kami sepertinya sama-sama tahu dan tidak saling mengganggu jika terlihat sibuk satu sama lain. Sering juga kutemukan dia sholat di masjid kampus. Dia selalu berlama-lama dengan rutinitas yang satu itu. Aku merinding setiap melihatnya begitu khusuk dengan dzikir dan doanya, seolah pasrah dengan maut yang siap menjemput.

Hari ini aku ke perpustakaan untuk mengusir rasa jenuh. Sekedar menuliskan angan dan mimpiku ke buku harian. Tentu saja tentang dua orang anak yang berlari riang di lapangan berumput hijau dan seorang pria yang berdiri tak jauh dari mereka. Dengan senyum yang hangat, mengulurkan tangan tuk menyambutku yang segera berlari ke arahnya.

“Sedang menulis apa?”

Levy mengagetkanku. Aku tidak menyadari kehadirannya karena terlalu asyik. Dia segera duduk di depanku. Kusodorkan buku harian padanya. Sesaat dia membaca.

“Bagus,” dia mulai berkomentar.”Kamu bakat jadi penulis.”

“Itu bukan bahan tulisan.”

“Lalu?”

Aku tersenyum, tidak mungkin kuakui bahwa itulah impianku selama ini.

“Kehidupan yang sederhana. Kehidupan macam inikah yang kau harapkan, Cleo?”

“Aku mulai tidak percaya semua itu.”

“Kenapa?”

“Kehidupan semacam itu hanya terjadi jika kita punya uang.”

“Begitukah anggapanmu tentang hidup?”

“Ya!” aku menjawab penuh semangat.

“Lalu bagaimana dengan cinta? Semua itu pasti terwujud bila ada cinta.”

“Hah?” aku tertawa lirih, “Levy… aku rasa kau terlalu banyak nonton film roman picisan. Di jaman sekarang, masih adakah cinta sesederhana itu?”

“Aku yakin masih ada.”

Kali ini tertawaku agak keras hingga sekelilingku memperingatkan keadaanku yang sedang berada di area tenang. Cowok di depanku ini terlalu optimis dengan keyakinannya.

“Di jaman ini tidak ada cinta buta, Levy. Seorang gadis dari keluarga kaya tidak mungkin melirik pemuda miskin, pemuda cerdas tak mungkin jatuh hati pada gadis idiot.”

Levy terdiam, aku semakin yakin dengan argumenku,”Kau tahu kisah cinta Cleopatra dan Mark Anthony?” tanyaku.

Levy mengangguk.

“Jika saja Cleopatra tidak cantik dan bukan ratu Mesir, apa mungkin Mark Anthony tergila-gila padanya dan memberontak terhadap Romawi?”

Levy tersenyum. Dengan pelan dia bicara,”Kalau pun waktu itu Cleopatra tidak cantik dan kaya, Mark Anthony akan tetap memberontak pada Romawi karean memang begitulah takdirnya. Kenapa sih kau tidak mencari contoh lain?”

Kalimat Levy terdengar menngelikan dan akhirnya ku terbengong melihat tingkahnya yang meninggalkanku begitu saja. Mungkin dia bosan dengan obrolan ini. Ku teruskan saja curhatku di buku harian.

“Bacalah buku ini!”

Levy datang lagi dan menyodorkan sebuah buku padaku. Taman orang-orang yang jatuh cinta dan memendam rindu, judul buku itu. Kemudian dia berlalu lagi. Dasar aneh!

Buku yang tebal. Kewalahan juga aku membacanya. Bukannya semakin jelas, aku semakin tidak mengerti. Menurutku buku itu menjelaskan makna cinta dengan begitu rumit. Serumit itukah cinta? Obrolan tentang cinta pun terus berlanjut. Aku bersikeras dengan pendapatku demikian juga Levy. Orang lain pasti akan mual dan muntah jika mendengar perdebatan kami. Seperti biasa tidak ada yang mau mengalah hingga kesibukanku PKL dan kesibukannya dengan tesis membuat perdebatan ini terputus.”

Setahun berlalu, Paman Hanafi mengabarkan bahwa Shinta sudah melahirkan bayi laki-laki. Wajah Shinta begitu sumringah saat aku datang menjenguk bayinya yang montok dan lucu. Rudi tidak terlihat di sana.

“Di mana Rudi?” tanyaku pada Shinta yang tengah menyusui. Aneh, wajah Shinta mendadak sayu. Tante Rubi segera menarikku keluar kamar.

“Kamu jangan tanya-tanya tentang Rudi lagi,” kata Tante Rubi.

“Lho, memangnya kenapa?”

“Pernikahan mereka kurang harmonis. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi dan selalu diakhiri dengan Rudi yang memukul Shinta.”

Deg! Tiba-tiba anganku melayang pada Levy, kata-katanya tentang rumput dan resiko setiap pilihan terngiang lagi di telingaku.

“Ngomong-omong, bagaimana persahabatanmu dengan Toni?” tante Rubi membuyarkan lamunanku.

“Toni?”

“Iya! Toni Syahlevy.”

“Toni… Syah… Levy?…. Levy?!”

“Iya, dia itu anak Pak Johan, tetangga kita waktu di Malang dulu. Waktu kalian masih kecil, Toni itu suka mengganggumu sampai kau menangis, kan?”

Kata-kata tante Rubi mampu menjawab pertanyaan yang selama ini mengganjal di hati. Pantas saja aku merasa wajah levy tidak asing. Sosok bocah laki-laki yang selalu menarik rambutku hingga ku menjerit kesakitan, berkelabat di anganku. Semuanya semakin jelas. Sungguh aku menikmati persahabatanku dengannya tapi bukan karena aku naksir atau karena dia tertarik padaku. Aku tahu tidak ada persahabatan antara pria dan wanita. Tapi entahlah?

“Aku akan pergi jauh,”kata Levy di sekian kalinya kami bertemu.

“Kemana?” tanyaku.

“Ke tempat di mana rasa ikhlas menjadi raja, ketulusan sebagai permaisuri dan kemanusiaan adalah hukum yang berlaku. Tempat di mana pamrih terpinggirkan, ambisi terpelanting, kejujuran diunggulkan.”

“Memangnya ada tempat seperti itu?”

“Bukankah semua kitab suci di muka bumi ini menjanjikan tempat itu? Banyak nama yang diberikan, seperti nirwana, sorga… atau… heaven.”

“Jangan bilang kalau kau akan…

“Kenapa? Bukankah semua orang akan kesana? Hanya waktu dan caranya yang berbeda.”

Aku tidak suka dengan tingkah Levy. “Kau membuatku takut. Kenapa kau mengungkap kematian dengan kata-kata indah?”

“Good bye, Cleo… .”

“Levy?” aku memanggilnya pelan tapi dia tidak peduli. Dia berpaling, meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan yang tak terjawab. Kenapa harus kematian?

Gundukan tanah bernisan di depanku masih berwarna merah. Jasad Levy terbaring tenang di dalamnya. HIV-Aids menggerogoti tubuh itu sebelumnya. Perkataan orang-orang tentang Levy yang mengidap penyakit itu karena tranfusi darah mampu menangkis pikiran buruk di otakku tentang sebab-musabab Levy terkena penyakit mematikan itu. Aku merasa kerdil di depan batu nisan itu. Levy yang begitu optimis dengan hidup dan cinta walau pun umurnya tidak panjang. Sungguh beda denganku yang selalu menyalahkan nasib, menyia-nyiakan cinta yang selama ini berada di sekelilingku hanya untuk sebuah cinta yang tak mungkin ku miliki.

Tanpa ku sadari, dia telah menjadikanku obyek dakwah, tentu saja dengan kata-katanya yang sukar dicerna. “Good bye, Cleo,” kalimat terakhir yang dia ucapkan saat perpisahan itu. Begitu singkat, tak serumit kalimat-kalimat yang selalu dia katakan tentang cinta dan hidup. Begitu singkat, sesingkat kehidupan yang di jalaninya.

Namun kehidupan tetap berlanjut bagiku. Mimpi itu pun masih menghiasi setiap tidur, tentang dua orang anak yang berlarian riang di lapangan rumput dan seorang pria yang berdiri tak jauh dari mereka. Dengan tersenyum, direntangkanlah tangannya ke muka untuk menyambutku yang segera berlari ke arahnya.

PURE LOVE

Kekasih,……Ijinkanlah ku bermanja di pangkuanMu, menikmati keramahtamahan yang Kau berikan yang membuatku terbius oleh janji, keindahan, keagungan dan sifat welas asih sampai ku merasa lima kali sehari tak cukup tuk bersua.

Kekasih,…..Telinga ini selalu merindu panggilanMu tuk bertemu, memadamkan kebisingan dalam hidup dan tenggelamlah diriku dalam keheningan suasana perjumpaan denganMu.

Ijinkanlah ku menangisi keterbatasan di hadapMu, Jujur dengan kebodohan, terbuka dalam sikap dan tiada kugunakan topeng tuk tutupi kebusukan hati. Terima apa adanya diriku, jadikan ku selalu teringat diriMu di setiap debaran jantung dan helaan nafas hingga terputuslah kehidupanku.

Jangan tinggalkan aku, Kekasih. Hiburlah kesedihanku. Ratapilah tangis piluku menyerah oleh dunia. Terima dengan tangan terbuka dan hati yang lapang.

Biarkanlah ku sebut namaMu, Kekasih. Jika itu mampu buktikan cintaku padaMu. Biarkanlah ku bersujud padaMu, jika bisa membuatMu selalu teringat padaku.

Jangan pernah putuskan, janganlah Kau campakkan. Jika kau tiada berkenan, ku memohon padaMu atas segala kekurangan.

Kekasih,

Lima kali tiada cukup namun maafkan karena ku belum mampu lebih dari itu. Kan kutunggu selalu panggilanMu tuk menikmati keheningan haribaanMu.