ANALISIS KEHADIRAN APOTEKER DI APOTEK DARI SISI ETIKA PROFESI (NO PHARMACIST NO SERVICE ???)

Apoteker atau ada yang menyebutnya dengan farmasis merupakan salah satu dari profesi kesehatan. Untuk menjadi seorang apoteker, maka setelah menamatkan sekolah menengahnya, seseorang harus melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi dengan memilih jurusan FARMASI. Jurusan ini berlangsung selama 4 tahun atau 8 semester. Setelah studi ini diselesaikan dan mendapatkan gelar Sarjana, maka langkah selanjutnya adalah mengambil kuliah profesi selama 1 tahun atau 2 semester. Baru setelah kuliah profesi ini diselesaikan, seseorang berhak menyandang profesi apoteker yang sebelumnya harus mengucapkan sumpah profesi di hadapan pemuka agama yang didatangkan dari instansi berwenang.

Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya; serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut. Secara garis besar, suatu profesi mengandung :

  1. Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis: Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar pada pengetahuan tersebut dan bisa diterapkan dalam praktek.
  2. Asosiasi profesional: Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya. Organisasi profesi tersebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.
  3. Pendidikan yang ekstensif: Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi.
  4. Ujian kompetensi: Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.
  5. Pelatihan institutional: Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan institusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.
  6. Lisensi: Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.
  7. Otonomi kerja: Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.
  8. Kode etik: Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.
  9. Mengatur diri: Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.
  10. Layanan publik dan altruisme: Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.
  11. Status dan imbalan yang tinggi: Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi masyarakat

(Wikipedia)

Dengan melihat nama profesi ini, maka apoteker sangat erat dikaitkan dengan apotek. Apotek sebagai salah satu tempat pengabdiaan pekerjaan kefarmasian, tempat yang paling banyak menampung apoteker. Sesuai dengan peraturan pemerintah, apotek harus dibawah tanggung jawab seorang apoteker. Di Indonesia, satu apotek pada umumnya memiliki satu apoteker, kecuali pada beberapa apotek besar. Apotek di Indonesia dalam menjalankan tugasnya, apoteker dibantu oleh beberapa tenaga teknis seperti asisten apoteker, juru racik, kasir atau tenaga lainnya. Apoteker dalam apotek mempunyai peluang 100% untuk dapat menjumpai dan berkomunikasi dengan pasien, memberikan inforrmasi terkait dengan obat. Akan tetapi, bagaimana dengan kenyataannnya? Pada masa sekarang ini, apoteker masih belum dapat memenuhi tugasnya untuk berada di apotek. Alasan-alasan yang dikemukakan pun bermacam-macam, seperti minimnya jumlah tenaga (hanya 1 apoteker), gaji yang kecil sehingga double-job, atau ini hanya sebagai pekerjaan sampingan sehingga kurang memiliki tanggung jawab terhadap keberadaannya di apotek. Keberadaan apoteker di apotek bukan hanya sekedar keberadaannya, karena keberadaan apoteker terkait dengan obat yang berguna untuk mencegah, mengobati, dan akhirnya menyembuhkan, dalam artiannya terkait dengan hidup pasien. Hal ini menjadikan peranan apoteker di apotek sangatlah penting, terutama bila dikaitkan dengan standar pelayanan kefarmasian di apotek. Standar pelayanan farmasi di apotek disusun atas kerjasama ISFI dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi Departemen Kesehatan pada tahun 2003. Standar kompetensi apoteker di apotek ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar, sebagai pedoman dalam pengawasan praktek apoteker dan untuk pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek. Didalam standar tersebut pelaksanaan farmasi di apotek terdiri dari pelayanan obat non resep (bidang I), pelayanan komunikasi – informasi – edukasi (bidang II), pelayanan obat resep (bidang III) dan pengelolaan obat (bidang IV) (Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi, 2003).

Pelayanan Obat Non Resep

Pelayanan Obat Non Resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi. Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat digunakan tanpa resep yang meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas terbatas (OBT) dan obat bebas (OB). Obat wajib apotek terdiri dari kelas terapi oral kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut serta tenggorokan, obat saluran nafas, obat yang mempengaruhi sistem neuromuskular, anti parasit dan obat kulit topikal (Dirjen POM, 1997).

Apoteker dalam melayani OWA diwajibkan memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang tercantum dalam daftar OWA 1 dan OWA 2. Wajib pula membuat catatan pasien serta obat yang diserahkan. Apoteker hendaknya memberikan informasi penting tentang dosis, cara pakai, kontra indikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu

diperhatikan oleh pasien (Permenkes No.347 tahun 1990; Permenkes No.924 tahun 1993).

Pelayanan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

Apoteker hendaknya mampu menggalang komunikasi dengan tenaga kesehatan lain, termasuk kepada dokter. Termasuk memberi informasi tentang obat baru atau tentang produk obat yang sudah ditarik. Hendaknya aktif mencari masukan tentang keluhan pasien terhadap obat-obat yang dikonsumsi. Apoteker mencatat reaksi atau keluhan pasien untuk dilaporkan ke dokter, dengan cara demikian ikut berpartisipasi dalam pelaporan efek samping obat (ISFI, 2003). Konseling pasien merupakan bagian dari KIE. Kriteria pasien yang memerlukan pelayanan konseling diantaranya penderita penyakit kronis seperti asma, diabetes, kardiovaskular, penderita yang menerima obat dengan indeks terapi sempit, pasien lanjut usia, anak-anak, penderita yang sering mengalami reaksi alergi pada penggunaan obat dan penderita yang tidak patuh dalam meminum obat. Konseling hendaknya dilakukan di ruangan tersendiri yang dapat terhindar dari macam interupsi (Rantucci, 1997; ASHP, 1993). Pelayanan konseling dapat dipermudah dengan menyediakan leaflet atau booklet yang isinya meliputi patofisiologi penyakit dan mekanisme kerja obat.

Pelayanan Obat Resep

Pelayanan resep sepenuhnya atas tanggung jawab apoteker pengelola apotek. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat yang ditulis dalam resep dengan obat lain. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang ditulis dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih terjangkau (Permenkes No.24 tahun 1993). Pelayanan resep didahului proses skrining resep yang meliputi pemeriksaan kelengkapan resep, keabsahan dan tinjauan kerasionalan obat. Resep yang lengkap harus ada nama, alamat dan nomor ijin praktek dokter, tempat dan tanggal resep, tanda R/ pada bagian kiri untuk tiap penulisan resep, nama obat dan jumlahnya, kadang-kadang cara pembuatan atau keterangan lain (iter, prn, cito) yang dibutuhkan, aturan pakai, nama pasien, serta tanda tangan atau paraf dokter (Dewi, 1985). Tinjauan kerasionalan obat meliputi pemeriksaan dosis, frekuensi penberian, adanya medikasi rangkap, interaksi obat, karakteristik penderita atau kondisi penyakit yang menyebabkan pasien menjadi kontra indikasi dengan obat yang diberikan (WHO, 1987).

Pengelolaan Obat

Kompetensi penting yang harus dimiliki apoteker dalam bidang pengelolaan obat meliputi kemampuan merancang, membuat, melakukan pengelolaan obat di apotek yang efektif dan efesien. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah dengan melakukan seleksi, perencanaan, penganggaran, pengadaan, produksi, penyimpanan, pengamanan persediaan, perancangan dan melakukan dispensing serta evaluasi penggunaan obat dalam rangka pelayanan kepada pasien yang terintegrasi dalam asuhan kefarmasian dan jaminan mutu pelayanan (ISFI, 2003).

Masih pentingkah peran apoteker saat ini sering dipertanyakan mengingat jumlah dan jenis obat obatan yang dapat diperoleh dalam perdagangan sekarang ini lebih banyak ditangani oleh orang yang bukan tenaga kefarmasian, peracikan obat telah digantikan oleh pabrik farmasi pada hampir semua formulasi, dan obat-obatan dapat pula diperoleh dengan order via pos, telepon atau internet atau dijual oleh dokter praktek dan diracik secara mesin racikan komputer. Namun peran apoteker tentu saja tidak hanya sebatas produk, seperti yang tertuang pada dimensi baru pekerjaan kefarmasian berikut ini :

  1. ASUHAN KEFARMASIAN ( Pharmaceutical care )
  2. FARMASI BERDASARKAN BUKTI ( Evidence base pharmacy )
  3. KEBUTUHAN MENJUMPAI PASIEN ( Meeting patients needs )
  4. PENANGANAN PASIEN KHRONIS-HIV/AIDS ( Chronic patient care hiv/aids )
  5. PENGOBATAN SENDIRI ( self-medications )
  6. JAMINAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN ( quality assurance of pharmaceutical care )
  7. FARMASI KLINIS ( clinical pharmacy )
  8. KEWASPADAAN OBAT ( pharmacovigilance = MESO ).

Bila ditinjau oleh standar pelayanan kefarmasian apoteker di apotek dan dimensi baru pekerjaan kefarmasian di atas, sangat terlihat peran apoteker yang sangat penting dan tidak dapat digantikan oleh profesi kesehatan lain. Lalu bagaimana pelayanan tersebut dapat diberikan apabila apoteker tidak berada di apotek? Bagaimana seharusnya apoteker terkait dengan keberadaanya di apotek? Apakah peraturan pemerintah /undang-undang/kode etik telah mendukung hal tersebut?

Analisis Kehadiran Apoteker di Apotek Dari Sisi Etika Profesi

Dalam kode etik farmasi, apoteker mempunyai kewajiban-kewajiban, baik secara umum, kepada pasien, teman sejawat, atau petugas kesehatan yang lain. Kewajiban-kewajiban ini akan terlaksana bila apoteker berada dalam tempat kerjanya. Peraturan pemerintah yang terbaru, PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, pasal 25 ayat 2 juga mendukung keberadaan apoteker dalam setiap fasilitas kefarmasian, seperti dalam apotek. Walaupun pada sebagian besar dalam pendirian apotek, apoteker bekerjasama dengan pemodal, dikatakan bahwa pekerjaan kefarmasian sepenuhnya tetap dipegang oleh apoteker. Hal ini berarti bahwa izin apotek diberikan kepada apoteker, bukanlah kepada pemilik modal maka sudah sepantasnya lah pekerjaan kefarmasian dilakukan dan merupakan tanggung jawab seorang apoteker.

Secara umum, terkait kode etik farmasi maka kehadiran apoteker di apotek sangat penting. Hal ini disebabkan karena setiap penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker (PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 21 ayat 2).  Selain menyerahkan obat dari resep dokter (obat keras), apoteker juga dihadapkan oleh kebutuhan pemberian obat lain seperti obat wajib apotek, obat bebas, dan obat bebas terbatas dalam kaitannya dengan kebijakan self medication (pengobatan sendiri).

Kode etik apoteker Indonesia Pasal 3 : “Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya” dan pasal 9 : “Seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asazi penderita dan melindungi makhluk hidup insani”, menerangkan peran apoteker dalam mengutamakan patient safety untuk mencegah medication error. Apoteker harus selalu menjalankan profesi sesuai standar kompetensi apoteker yang telah ditetapkan dan dilandasi prinsip kemanusiaan. Secara etis epistemologis, apoteker harus menyadari bahwa dia tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk masyarakat.

Dalam kode etik perihal kewajiban terhadap pasien bahwa apoteker harus  mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asazi penderita dan melindungi makhluk hidup insani. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagai apoteker sebaiknya tidak hanya berfokus untuk kepentingan pribadi namun lebih luas kepada kepentingan pasien untuk mencegah medication error, menjaga keselamatan hidup pasien (patient safety) dan lebih lanjut meningkatkan QoL (quality of life dari pasien). Hal ini dapat dilakukan dengan terus meningkatkan kompetensi. Pemerintah pun telah menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Adanya standar ini mengenai standar apa saja yang harus dilakukan dalam pelaksanaan kompetensinya.

Apoteker juga berperan sebagai sumber informasi. Sesuai kode etik apoteker Indonesia pasal 7 : “Menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya”. Apoteker sebagai sumber informasi terkait dengan obat, baik kepada penderita atau teman kerja (asisten apoteker). Bila sumber informasi tidak ditemukan dalam apotek, maka pasien/asisten apoteker akan menemukan kesulitan kepada siapa akan menanyakan berbagai hal terkait obat. Terlebih lagi saat ini masyarakat telah menyadari pentingnya kesehatan sehingga masyarakat lebih kritis terhadap kesehatannya, sehingga informasi obat sangat penting untuk disampaikan kepada pasien.

Apoteker juga perlu mereview peraturan pemerintah tentang kewajiban adanya apoteker di apotek selama apotek buka. Jika apotek buka selama 13 jam dari jam 8 pagi sampai jam 9 malam, maka minimal dalam 1 apotek diperlukan 2 apoteker. Ketika seorang apoteker tidak dapat memenuhi kewajibannya di suatu tempat kerja, misalnya di apotek, dia dapat mengangkat apoteker pendamping dan/atau apoteker pengganti maka syarat bahwa ada apoteker di apotek menjadi terpenuhi. Adanya peraturan ini, secara jelas menjelaskan bahwa keberadaan apoteker di apotek adalah mutlak. Bila dikaitkan dengan kode etik apoteker Indonesia pasal 5 : “Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian”. Bila apoteker tidak hadir di apotek, bisa dikatakan dia melanggar kode etik yaitu mencari keuntungan diri semata dengan mendapat gaji buta. Hal ini sangat bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.

Sebagai profesional yang memiliki kode etik keprofesian yang berperan sebagai ujung tombak dalam rantai pelayanan kesehatan khususnya obat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, maka sudah seharusnya apoteker berada di apotek untuk melakukan pelayanan kefarmasian.

Kesimpulan   

Sebagai profesional yang memiliki kode etik keprofesian yang berperan sebagai ujung tombak dalam rantai pelayanan kesehatan khususnya obat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, maka sudah seharusnya farmasis berada di apotek untuk melakukan pekerjaan kefarmasiannya. Bila kompetensi apoteker digunakan sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam menjalankan pekerjaankefarmasiaan maka berarti apoteker telah berperilaku sesuai kode etiknya, yang pada akhirnya kualitas hidup pasienlah yang akan meningkat.

Terima Kasih pada :

Farida Munawaroh, Ferawati Claudia Ida,  Isnenia,

Rastria Meilanda, Ingenida Hadning

yang telah menyusun tulisan ini pada tugas mata kuliah

“ETIKA FARMASI”

Magister Manajemen Farmasi

Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta

THE HOSPITAL

3. Pharmacist on the Duty (part 5)

Ibu dan anak itu kini dalam perjalanan pulang. Rani masih saja kepikiran tentang Lisa. Sesekali dia melirik anaknya yang serius mengemudi di sampingnya. Dia tidak enak hati untuk menanyakan tentang Lisa pada Armand, tapi di sisi lain rasa penasaran meluap. “Jadi gadis dalam surat itu adalah dia?” tanya Rani setelah dia mengumpulkan keberanian.

“Apa?” Armand ternyata kurang mendengar ucapan ibunya.

“Aku membaca surat itu, nama Lisa ada di sana,” lanjut Rani.”Apa gadis itu adalah dia?”

Armand menghela nafas. Dia tidak mungkin lagi menanyakan dari Rani tahu tentang surat itu mungkin kecerobohannya yang membuat semua ini terjadi. Dia berpikir apakah harus berbohong tapi melihat kejadian yang menimpa Ibunya pagi ini dia menjadi tidak tega. Dengan lunglai dia menjawab, “Iya.”

Rani tersenyum. “Dia wanita yang baik, kenapa kau menolaknya.”

Armand terkejut dengan pertanyaan Rani. Dia agak malas dengan percakapan ini tapi dia tahu betul siapa Rani. Dia tidak bisa berkelit.”Kami hanya bersahabat.”

Mobil itu masih berjalan mulus. Saat mobil terhenti karena lampu merah, rani bertanya lagi,”Apakah kau tidak pernah tertarik padanya?”

“Dulu aku sempat tertarik padanya tapi saat dia terkesan cuek dan tidak membalasku, aku segera menepis harapan itu.”

“Lalu dengan surat itu?”

“Saat aku sudah bersikukuh dengan kesimpulanku dan diam-diam sudah jalan dengan orang lain, dia menyatakan cintanya. Tentu saja aku menolak, aku tidak mungkin menyakiti pacarku.”

“Bagaimana kau menolaknya?”

Armand memandang ke arah Ibunya, lampu merah itu masih menyala. “Aku mengatakan padanya bahwa Ibu ingin mempunyai menantu seorang dokter.”

“Apa?” Rani menjerit. Lampu hijau menyala. Klakson demi klakson semakin bersahutan. Hiruk pikuk menyambut seiring merambatnya semua kendaraan di situ untuk melanjutkan perjalanan, termasuk mobil Armand.

“Bagaimana bisa? Kau tahu Ibu tidak pernah mengharapkan itu?”

“Maafkan aku, Bu. Hanya itu satu-satunya yang muncul di otakku sebagai alasan menolaknya. Hal itu tidak mungkin menyakitinya.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Ibunya meninggal saat dia berusia delapan belas tahun, saat dia menerima alasan itu, dia bisa mengerti, dia berpikir kalau aku memang akan membahagiakan seorang ibu.”

Rani menyandarkan tubuhnya, kini pandangannya tertuju ke jalanan dan suasana lalu lintas yang semrawut. Pikirannya juga semrawut, dia mengira-ira apa yang akan Lisa pikirkan tentang dirinya, seorang wanita picik yang memaksakan kehendak pada putranya. Baru beberapa jam yang lalu dia mengagumi kesopanan Lisa, baru sebentar saja dia berkhayal andai saja gadis itu adalah menantunya. Tapi sekarang? Dia tidak tahu lagi sekarang, sementara bayang-bayang Anita yang cuek dan selalu menyakiti putranya muncul di benaknya. Itukah yang sepantasnya kuterima? Itukah?

“Surat itu? Kau sama sekali belum menjelaskan surat itu?”

“Saat kami bertemu untuk menjelaskan semuanya. Dia memberikan surat itu.”

Rani teringat kalimat terakhir dalam surat itu, “Dalam surat itu, dia menulis kalau dia akan menghubungimu jika sudah bisa menganggapmu sebagai teman, apakah dia menghubungimu setelah itu?”

“Tidak! Bisa dibilang itu pertemuan kami yang terakhir.”

Rani tersenyum lebar. Itu berarti…. “Dia masih belum bisa menganggapmu sebagai teman, kau harus yakin itu, Armand. Kau harus mendekatinya sekarang, harus!” Rani berteriak kegirangan.

Armand mendadak menghentikan mobil. Tubuh keduanya sontak tertarik ke depan. Untung saja dia melakukan itu saat mobil sudah mulai memasuki komplek perumahan yang sepi. Rani tidak habis pikir dengan ulah Armand, dia sudah cukup syok dengan kejadian hampir tertabrak mobil tadi pagi.

Armand menoleh ke arahnya, “Dengar Ibu, aku tidak mungkin melakukan itu karena dia CALON ISTRI ANDRE!” Armand berteriak dan berusaha menekankan pada kalimat,calon istri Andre.

Rani terperangah. Armand kembali menjalankan mobilnya. “Seharusnya Ibu mengetahui semua itu, bukankah Nyonya Ratih selalu bercerita tentangnya di depan Ibu?”

“Dia tidak pernah bercerita kalau nama calon Andre adalah Lisa,” Rani berbisik. Hancur sudah harapannya. Ah, kenapa aku begitu malang di hari tuaku ini. Anak satu-satunya gagal beerumah tangga, dan sekarang…. . Andai saja Armand dulu….ya, andai saja…

—————————————

Kesibukan di instalasi farmasi berlanjut, Lisa memutuskan untuk membenahi lay out gudang farmasi. Dia memerintahkan petugas gudang menata kembali rak-rak dengan posisi yang sudah dia rancang sebelumnya, dia memutuskan pintu barang masuk dan pintu barang keluar harus berbeda, dan karena ada dua pintu di gudang , dia memutuskan alur barang adalah alur U.

Ridwan sangat semangat dengan kegiatan hari ini, sangat aneh mengingat semalam dia yang paling keras memprotes Lisa. Dia memperhatikan sekali saat Lisa menjelaskan desain rancangan lay out gudang yang baru. “Akan sangat sulit jika kita tetap memasukkan dan mengeluarkan barang pada sisi rak yang sama,”  kata Ridwan.

“Lalu?” tanya Lisa.

“Kita harus membuat agar barang di masukkan di satu sisi rak dan dikeluarkan dari sisinya  yang lain.”

“Bisakah kita melakukannya?”

“Tentu saja bisa, Bu!”

“Ha, untuk hal ini kuserahkan padamu.”

“Beres, aku sudah memikirkannya sejak lama,” tegas Ridwan sambil mengacungkan jempolnya lalu segera bergabung dengan kesibukan itu.

Lisa mengecek ke semua persediaan ruang, rupanya di situ semuanya telah beres, para stafnya sudah membereskan sembari mengeceknya kemarin dan sekarang dia melangkah ke pelayanan. System distribusi terpaksa masih menganut individual prescribing dan ward flourstock, sementara system unit dose dispensing masih belum bisa dilaksanakan karena keterbatasan SDM. Di unit rawat jalan, Lisa dan Viona melakukan konseling, Viona cukup tahu pasien mana yang membutuhkan konseling, tentu saja Karena sekarang dia adalah apoteker, bukan seorang asisten lagi. Mereka melakukan itu dengan sabar, beberapa pasien memerlukan perhatian lebih mengingat penyakit atau obat yang harus diminum, tak heran jika terkadang mereka malah takut saat Lisa menjelaskan panjang lebar, seperti pasien yang berada di depan Lisa saat ini misalnya, seorang lelaki berusia enam puluh tahun dengan tekanan darah dan kolesterol tinggi yang mengharuskan dia control setiap kali obatnya habis,”Nak, apa penyakit saya ini sudah tambah parah sehingga harus masuk ruangan ini lagi,” tanyanya setelah menerima penjelasan dari Lisa tentang obat dan penyakitnya.

Lelaki itu memandang sekeliling, memang dia harus memasuki ruang KIE untuk menerima konsultasi. Lisa tersenyum,”Justru agar keadaan Bapak tetap stabil, Bapak harus  berada di ruangan ini.”

“Bagaimana, Pak. Bisa di ulangi apa yang saya terangkan tadi?”

“Eee…

“Saya akan membimbing satu persatu.”

“Baiklah, Obat yang kecil-kecil ini, Lisinopril,” pasien terlihat mengeja nama obat dalam kemasan.”Diminum dua kali sehari?”

“Ya, pagi dan sore. Sebelum atau sesudah makan, Pak?”

“Sebelum makan?” tanya pasien lagi karena dia tidak yakin.

“Sesudah makan,” kata Lisa membenarkan, “Terus, obat yang kedua bagaimana?”

“Diminum tiap malam 1 tablet?” jawab pasien.

“Yup! Dan apa yang harus bapak hindari waktu mengkonsumsi obat ini?” tanya Lisa lagi.

“Jus grapefruit?” jawab pasien.

Senyum Lisa mengembang, “Bapak betul sekali. Agar bapak tidak lupa, saya telah menuliskan semuanya di kertas ini,” lanjut Lisa sambil menyodorkan kertas itu pada pasien.

“Memang,sih.. di etiket sudah ada aturan pakainya, tapi di kertas ini lebih lengkap,” ujar pasien setelah membaca resep itu,”Jadi saya harus segera kontrol jika obat mulai habis?”

Lisa mengangguk sembari tersenyum.

“Yah, beginilah tubuh tua, Nak,” sang Bapak terkekeh. Mereka tertawa bersama. Pasien segera undur diri. “Kertasnya jangan sampai hilang ya, Pak.”

Lisa menunggu di ruangan itu beberapa saat, setelah diyakini tidak ada lagi pasien yang butuh KIE, dia keluar dari ruangan itu. Terdengar Viona masih melakukan konsultasi di ruang KIE-nya. Sepintas Lisa mencuri dengar.

“Oalah, Mbak. Wong sudah ada tulisan di obatnya kok, masa mbaknya mbacakan lagi, lagian saya harus masuk ruangan ini. Mbok ya sudah saya langsung pulang saja, ntar saya juga bisa mbaca di rumah,” ucap pasien dengan logat medoknya. Lisa menahan senyum saat mendengarnya, dia mengira-ira mungkin pasien ini berasal dari Jawa tengah tapi sepertinya ada yang salah dengan apa yang dilakukan Viona, kalau tidak, pasien tidak mungkin keluar dengan kesal seperti ini. Lisa segera mengejar pasien itu.

“Sugeng siang, Bu,” sapa Lisa setelah di depan pasien itu.

“Sugeng siang,” jawab Pasien itu.

“Pangapunten kulo ngganggu.”

“Ah, mboten nopo-nopo.”

“Monggo lenggahan wonten ruangan kulo,” ajak Lisa sambil menggandeng sang Ibu. Anehnya Ibu itu menurut, tidak marah-marah seperti waktu di depan Viona. Viona yang sudah keluar ruangan terkejut  saat pasien itu kembali memasuki ruang KIE. Lisa memberi  isyarat padanya agar ikut masuk. Kini di ruangan itu ada tiga orang, Lisa, Viona dan sang pasien.

“Nyuwun sewu, saged kulo ngertos obat panjenengan?” pinta Lisa.

“Oh, niki niki,” jawab sang pasien sambil menyodorkan obat di hadapan Lisa. Lisa memeriksa obat itu. Paket Obat TBC yang memang harus diminum sang Ibu dan tidak boleh terlambat.

“Meniko Obat TBC, Ibu kedah rutin ngunjuk obat niki ngantos telas, ampun kesupen,” Lisa menjelaskan. Viona terbengong, bahasa Jawa? Mana bisa, dia? Dia memang orang Jawa, tapi untuk bicara dengan menggunakan Bahasa jawa sehalus itu, dia tidak bisa. Dia hanya bisa mencerna percakapan mereka sedikit-sedikit. Pasien mangguk-mangguk mendengar penjelasan Lisa.

“Sak derengipun obat telas, Ibu kedah kontrol melih, dados ampun ngantos ketelasen obat,” lanjut Lisa.  Viona agak geli mendengar kata-kata Lisa, seperti melihat adegan ketoprak.

“La ono opo to,Nak?”

“Amargi pengobatan TBC meniko kedah tuntas, ampun telat ngunjuk obat, umpami telat, kedah ngulang dosis awal malih, kan malah eman-eman, sejatinipun sampun wantun kok malah kedah ngulang.”

“Oalah, ngono, to?”

“Inggih, mangke umpami obate kinten-kinten kalih dinten malih bade telas, Ibu kedah kontrol maleh kagem njagani obat ampun ngantos telas sak derengipun control,” lanjut Lisa. Sang pasien masih saja manggut-manggut. “Putranipun diaturi ngawasi ngunjuk obat, nggih Bu,” Lisa agak ragu dengan kata kerja dalam kalimat terakhirnya, yang benar diaturi apa didawuhi, ya?

Ibu di depannya itu masih saja manggut-manggut.

Lisa melanjutkan konselingnya,”Mangke sak umpaminipun ketoyan, ampun kaget, amargi wonten obat engkang marakaken ketoyanipun abrit.”

“Hah, ning kan ora popo, to?”

“Mboten nopo-nopo, niku namung efek samping obat mawon,” jawab Lisa. “Obate diteruske mawon, sampun ngertos aturanipun, nggih?”

“Iyo, sedino ping siji kabeh, la iki ono tulisane,” jawab sang pasien.

Percakapan ala ketoprak itu berakhir setelah pasien undur diri. Lisa menghempaskan diri di kursinya. Viona yang masih di ruangan itu memperhatikannya.

“Memang pasti ada kendala bahasa,” ujar Lisa.

“Ibu sangat fasih berbahasa Jawa,” puji Viona.

“Aku tadi ragu-ragu untuk menggunakan bahasa Jawa tapi aku berpikir itulah satu-satunya cara untuk bisa membawanya ke ruang konsultasi lagi.”

“Maafkan saya, Bu. Mungkin kerja saya kurang baik sehingga pasien merasa tidak senang.”

“Bukan begitu, Viona. Konseling memang perlu jam terbang yang tinggi, kau harus bisa memahami perasaan pasien di depan kita, tapi juga harus menyampaikan semua informasi yang perlu diketahui oleh pasien kita, itulah yang sulit, menyampaikan informasi sambil memperhatikan perasaannya.”

“Saya memang harus banyak belajar,” janji Viona pada dirinya sendiri. Lisa tersenyum.

“Oh ya, Viona kau ada acara malam ini?”

“Tidak.”

“Kalau tidak ada acara, kau harus ke rumahku malam ini untuk membicarakan langkah kita selanjutnya.”

“Langkah kita?” tanya Viona.

“Iya, langkah kita bagi instalasi farmasi rumah sakit ini.”

Viona mengangguk. Lisa lega. Dia melihat arlojinya,” Waktunya makan siang. Kau makan siang, Viona?”

“Ibu duluan saja, saya masih ada hal yang musti saya kerjakan.”

“Baiklah,” Lisa berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Viona menghantarkan bosnya itu sampai pintu ruangan. Viona mulai salut pada Lisa. Ternyata Lisa tidak seperti yang dikatakan Dito dan Iwan selama ini. Lisa benar-benar bekerja di rumah sakit ini. Tiba-tiba Viona teringat pak Restu, pria tua itu seakan hadir lagi didepannya. Kau lihat, Pak Restu, sepertinya perubahan besar akan terjadi di instalasi

—–BERSAMBUNG—–

THE HOSPITAL

3. Pharmacist on The Duty (Part 4)

Saat waktu menunjukkan pukul enam pagi, Lisa terbangun dari tidurnya.  Dia begitu shock saat melihat jam dinding di kamarnya, segera dia sholat subuh dan memulai aktifitas paginya bersiap-siap ke rumah sakit. Saat dia sudah siap dengan baju kerjanya dan mulai membuka lemari es untuk mencari makanan sebagai sarapan, tiba-tiba terdengar bel rumahnya berbunyi. Lisa yang memang tinggal sendiri segera membuka pintu.

“Selamat pagi, Bu Lisa,” sapa tamu Lisa. Rupanya Pak Seno, sopir keluarga Andre. “Saya disuruh Pak Andre mengantarkan itu?” sambung Pak Seno sambil menunjuk sebuah mobil yang terparkir di pekarangan rumah Lisa. Lisa berjalan menuju ke arah mobil itu.

“Pak Andre memilihkan mobil ini untuk anda?” kata Pak Seno saat Lisa menoleh ke arahnya dengan pandangan butuh penjelasan.

Lisa masuk ke dalam rumah untuk mencari HP-nya, dan segera menelephon Andre.

“Kau dimana?” tanya Lisa saat Andre mengangkat telephone.

“Aku sudah di airport, menunggu kedatangan pesawat.”

“Kau membelikan mobil untukku?”

“Oh, mobil itu? Ya, aku memang membelinya untukmu.”

“Kau seharusnya tidak melakukan itu tanpa persetujuanku,” omel Lisa

Andre terdengar menghela nafas, “Kalau aku memberitahumu sebelumnya, kau pasti menolak. Anggap saja itu hadiah dari calon suami.”

“Kau tahu kalau aku tidak suka menerima hadiah dari laki-laki, kan?”

“Hai, hai, laki-laki apa maksudmu, aku ini calon suamimu!”

Mereka masih saja berdebat dengan ego masing-masing, hingga panggilan kedatangan pesawat yang akan ditumpangi Andre terdengar. “Sudahlah, aku harus masuk pesawat, kau juga harus kerja,kan? Sementara Pak Seno akan menjadi supirmu. Aku kan tahu kau belum bisa nyetir. Sesampainya aku dari Batam, aku akan mengajarimu menyetir.”

Andre segera menutup telephone. Lisa mendengus kesal, “Kebiasaan yang tidak baik.”

Lisa segera berangkat ke rumah sakit. Mau tidak mau dia menerima mobil itu. Kini dia tengah duduk manis di dalam mobil mewah itu. Dia tidak begitu memperdulikan merk, atau keistimewaan mobil itu karena memang dia tidak tahu menahu masalah mobil. Kini dia tidak perlu menuju halte untuk menanti bus. Tidak ada lagi bus penuh sesak yang harus dia tumpangi. Tidak harus berjejal berebut kursi dengan penumpang lain lagi karena sekarang kursi belakang ini adalah miliknya dan tentu saja kursi di belakang kemudi itu, segera akan didudukinya jika Andre telah berhasil melatihnya mengendarai mobil. Sembari menikmati pemandangan di luar, angannya melayang ke masa-masa silam, di mana dia sebagai seorang mahasiswi sederhana yang selalu harus bangun pagi demi mengejar kereta api “Prambanan Ekspress” yang jam pertama, atau harus berhujan-hujan menanti bus yang tak kunjung datang dan tentu pula gaya hidupnya waktu S1 yang harus jalan kaki ketika berangkat atau pulang dari kampus karena kondisi keuangannya yang minim.

Dia tersenyum, segera di pasangnya headphone di telinganya, memutar MP5 yang memperdengarkan lagu-lagu pop korea. Lagu-lagu itulah yang selama ini  menemaninya dalam setiap perjalanan. Bahkan teman-teman kuliahnya dulu hafal betul dengan kegemarannya yang satu ini, biasanya mereka protes padanya. Mereka bilang apa asyiknya mendengarkan lagu yang kita tidak tahu artinya tapi dia tidak ambil pusing. Baginya bahasa korea itu sangat menggelitik di telinga, sebenarnya bukan hanya bahasa korea tapi juga bahasa jepang dan spanyol. Dia bahkan bisa menirukan lagu itu walau pun tidak begitu tahu artinya.

Lisa begitu terlena dengan suasana yang kini dia alami, diperintahkannya Pak Seno untuk mematikan AC mobil lalu dia membuka kaca jendela mobil. Angin pagi segera menyambutnya, mengkibarkan rambut panjangnya. Dia menarik nafas panjang. Berusaha memenuhi paru-parunya dengan oksigen yang mungkin masih tersisa di Jakarta yang kian polusi.

“Kalau ibu mau, saya bisa sekalian membuka knop atap mobilnya?” tanya Pak Seno.

“Apa? Memangnya bisa?”

“Tentu saja, bisa, Bu. Dengan sekali pencet tombol ini, knop atap terbuka. Bagaimana?”

“Boleh, boleh,” jawab Lisa sambil terkekeh.

Mobil itu terus saja melaju mulus dan saat mereka tiba di tikungan dekat rumah sakit….

Ciiit………….

Pak Seno tiba-tiba merem mendadak. Lisa yang memang tidak siap, sontak tubuhnya terdorong ke depan. Untung saja mobil berhenti tepat waktu, dalam jarak kira-kira tiga puluh centimeter di hadapan seorang wanita paruh baya.

“Ada apa, Pak,” tanya Lisa pada Pak Seno setelah pulih dari keterkejutannya.

“Wanita itu menyeberang mendadak, Bu.”

Lisa turun dari mobil untuk menghampiri wanita itu.”Ibu tidak apa-apa?”

Wanita itu terlihat sangat pucat. Rona ketakutan masih tampak jelas di wajahnya. Nafasnya yang tampak tidak teratur membuat Lisa semakin panik.

“Akan lebih baik jika Ibu ikut saya ke rumah sakit,” ajak Lisa sambil tersenyum. Dia lalu membimbing wanita itu memasuki mobilnya.

“Saya memang akan menuju rumah sakit, nak,” kata Wanita itu setelah mobil melaju kembali.

“Oh, kebetulan kalau begitu.”

“Iya, cuma check kesehatan rutin.”

Karena merasa bersalah, Lisa menemani Ibu itu ke UGD, dan sesampainya di UGD…

“Ibu! Ada apa Ibu kemari?” Armand tiba-tiba panik melihat wanita itu di UGD, dan Lisa juga tak kalah terkejut karena ternyata wanita itu adalah Rani, Ibunda Armand. Dia memang belum pernah bertemu Ibu Armand karena dia dan Armand dulu sama-sama anak rantau waktu kuliah di jogja. Lisa dari Solo, dan Armand dari Jakarta.

“Jadi wanita ini……,” bisik Lisa dalam hati.

“Ah, tidak apa-apa, Armand,” jawab Rani menenangkan putranya.

“Maaf,” Lisa mulai angkat bicara, “Sebenarnya tadi Ibu anda hampir tertabrak mobil saya, Ibu kelihatan sangat ketakutan sekali jadi saya bawa kemari.”

“Kok bisa, Lis!” protes Armand.

“Ah, sudahlah.” Rani mengibaskan tangannya.”Ibu yang salah karena menyeberang tanpa menoleh kiri kanan, Armand.”

“Bukankah sudah saya katakan agar Ibu menunggu saya pulang dari rumah sakit, saya sudah berjanji mengantar Ibu ke sini, kan?” omel Armand sembari memeriksa keadaan Ibunya dengan stetoskop.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Lisa setelah terlihat Armand selesai memeriksa.

“Ibuku sudah tidak apa-apa. Maaf kalau merepotkan, Lisa.”

Rani terkejut.

“Lisa?” tanya Rani dalam hati, sesaat dia teringat dengan nama gadis yang tertulis di surat Armand.

“Baiklah kalau begitu, karena Ibu sudah tidak apa-apa dan ini adalah waktunya saya bekerja, serta di sini sudah ada seseorang yang bisa saya percaya untuk menjaga Ibu,” Lisa tersenyum.

“Maka saya akan segera undur diri,” sambung Lisa. “Maafkanlah atas keteledoran sopir saya.”

Rani mengibaskan tangan. “Ah sudahlah, seperti yang saya bilang tadi. Saya yang salah.”

Lisa segera berlalu dari Ibu dan anak itu. Gedung instalasi farmasi masih sepi karena rupanya dia datang terlalu pagi. Saat dia hampir sampai di ruang kerjanya, samar-samar terlihat seseorang memasuki ruang kerjanya. Lisa berhenti lalu berjalan mengendap-endap untuk mengintai siapa orang itu dan apa yang hendak dilakukannya, sesaat dia berdiri di dekat jendela kaca dengan gorden yang agak terbuka. Dari posisi itu dia mampu melihat apa yang dilakukan orang itu walau tidak leluasa. Penyusup  itu terlihat melakukan sesuatu dengan bagian bawah meja kerjanya.  Saat orang tidak bertanggungjawab itu hendak pergi, Lisa segera sembunyi di bufet  yang ada di dekat meja kerja sekretarisnya. Buffet tersebut cukup besar untuk menutupi tubuhnya yang kecil dan Lisa cukup cepat menyimpulkan bahwa penyusup itu akan kembali ke arah  yang berlawanan dengannya mengingat dari mana arah penyusup itu berasal.

Lisa segera memasuki ruang kerjanya. Dia lega saat segala sesuatu di ruangan itu masih dalam posisi semula.

Meja kerja, apa yang dia lakukan di bawah meja kerja?

Lisa membungkukkan badannya di depan meja yang dimaksud. Saat dia mencari, tampaklah sebuah tape perekam tertempel di sana dengan posisi on. Dia menyipitkan mata lalu duduk di kursi kerjanya.

Aku tak habis pikir, aku hanyalah apoteker yang bekerja di rumah sakit tetapi perlakuan mereka terhadapku bagaikan aku ini pejabat korup atau sesuatu yang bisa mengancam posisi mereka.

Dia menyandarkan punggungnya di kursi itu sambil tersenyum-senyum.

—–BERSAMBUNG—–

PROFIL KOMPETENSI FARMASI

Peran profesional yang mencakup laporan kompetensi, unit, dan elemen yang menggambarkan pengetahuan profesional, atribut, dan diharapkan kinerja farmasi diperluas dan diatur peran profesional. Framing kompetensi ini : profil keselamatan pasien, penyediaan perawatan yang optimal, undang-undang, profesional dan kolaboratif hubungan, berpikir kritis, pengambilan keputusan dan keterampilan pemecahan masalah, dan professional penilaian. Profil ini menggambarkan pengetahuan khusus, keterampilan, kemampuan, dan sikap yang diperlukan untuk performa yang kompeten dan mencerminkan peran farmasi dalam situasi yang beragam dan Pengaturan praktik farmasi.
1.  Kompetensi Pernyataan: Sebuah komponen pekerjaan besar yang membutuhkan aplikasi dan integrasi pengetahuan yang relevan, keterampilan, kemampuan, sikap, dan / atau penilaian.
2.  Kompetensi Unit: Sebuah segmen utama dari suatu kompetensi secara keseluruhan yang menggambarkan kunci kegiatan yang diperlukan untuk melaksanakan kompetensi itu.
3.  Elemen Kompetensi: Sebuah sub-bagian dari unit kompetensi yang menggambarkan atau memerinci indikator kinerja kunci aktivitas yang diharapkan.

Etika, Hukum dan Tanggung Jawab Profesional

Apoteker praktek dalam persyaratan hukum, menunjukkan integritas profesional dan bertindak untuk menegakkan standar profesional praktek dan kode etik.

Elemen Kompetensi: persyaratan Terapkan hukum dan etika, Menegakkan dan bertindak atas prinsip etika yang akuntabilitas utama seorang apoteker adalah pasien, Menunjukkan integritas pribadi dan professional, Menunjukkan pemahaman tentang sistem perawatan kesehatan dan peran apoteker dan profesional kesehatan lain di dalamnya, Menunjukkan pemahaman tentang pentingnya dan proses pengembangan profesional yang berkelanjutan.

Unusuall Learning Profession

Dimensi baru pekerjaan kefarmasian sekarang antara lain : Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care), Farmasi Berdasarkan Bukti, Kebutuhan Menemui Pasien, Kepedulian Pada Pasien Kronis, Pengobatan Sendiri, Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan, Farmasi Klinis,  Kewaspadaan Farmasi.

Farmasi ditinjau dari objek materinya, memiliki kerangka dasar dari ilmu-ilmu alam; Kimia, Biologi, Fisika dan Matematika. Sedangkan ilmu farmasi ditinjau dari objek formalnya merupakan ruang lingkup dari ilmu-ilmu kesehatan. Secara historis ilmu farmasi dikembangkan dari medical sciences, yang berdasarkan kebutuhan yang mendesak perlunya pemisahan ilmu farmasi sebagai ilmu pengobatan dari ilmu kedokteran sebagai ilmu tentang diagnosis.

Secara umum farmasi terdiri dari farmasi teoritis dan farmasi praktis. Farmasi secara teoritis dibangun oleh beberapa cabang ilmu pengetahuan, yang secara garis besarnya terdiri dari farmasi fisika, kimia farmasi, farmasetika, dan farmasi sosial. Selanjutnya farmasi praktis terdiri dari dua bagian besar yakni farmasi industri, dan farmasi pelayanan.

Pertama, Farmasi Industri adalah ruang lingkup penerapan ilmu-ilmu farmasi teoritis, dan tempat pengabdian bagi ahli-ahli farmasi (farmasis) yang berorientasi pada produksi bahan baku obat, dan obat jadi, dan perkembangan selanjutnya juga meliputi kosmetika dan makanan-minuman.

Kedua, Farmasi Pelayanan yakni pengabdian disiplin ilmu farmasi (farmasis/apoteker) pada unit-unit pelayanan kesehatan (apotek, rumah sakit, badan pengawasan, dan unit-unit kesehatan lainnya). Peranan farmasis/apoteker di unit-unit pelayanan kesehatan menjadi sangat penting, dan berorientasi pada pemberian obat rasional empirik, yakni pemberian obat yang tepat dosis, tepat pasien, tepat indikasi, dan harga terjangkau

Untuk hal tersebut di atas, sangat dibutuhkan kerjasama antara farmasis/apoteker dengan pihak-pihak terkait (interdisipliner), dan didukung oleh wawasan luas yang berorientasi pada kesehatan yang paripurna dan hedonistik, produktif manusiawi, serta berwawasan lingkungan yang ekologis, bernuansa pada kesejakteraan yang universal.

Farmasis/apoteker yang berdaya intelektual dan berdaya moral haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan nilai kejujuran dalam menjalankan profesinya. Setiap keputusan yang diambil, pilihan yang ditentukan, penilaian yang dibuat hendaknya selalu mengandung dimensi etika.

Medication Reconciliation

Bukti dari tingginya jumlah kesalahan obat yang diproduksi dalam transfer antara situs perawatan telah diterbitkan dalam karya-karya yang berbeda. Kesalahan obat adalah salah satu penyebab kerusakan yang lebih penting dari pada pasien yang dirawat, sekitar 2% dari rumah sakit mengalami kesalahan pengobatan.

Beberapa faktor yang berkontribusi pada situasi ini:

1. Keterputusan informasi antara masyarakat dan perawatan khusus.

2. Perubahan penanggung jawab pasien.

3. Penyimpangan dalam komunikasi pasien-operator.

4. Concomitants poli-penyakit dan obat-obatan. Harapan hidup yang lebih besar dari orang-orang yang menyebabkan pasien dirawat di rumah sakit minum obat kronis.

5. Registries kesehatan. Salah satu pasien yang sama dapat memiliki beragam spesialis terlibat dalam pengobatannya. Kurangnya pendaftar yang unik di mana daftar lengkap dari pengobatan pasien dicatat, membuat memiliki kepastian tentang perlakuan kebiasaan sulit; ini khususnya penting dalam transisi dalam perawatan kesehatan.

6. Karakteristik tinggal di rumah sakit. Kecenderungan sekarang tetap pendek, menyebabkan bahwa perlakuan kebiasaan pasien mungkin tidak diperhitungkan.

7. Adaptasi ke rumah sakit petunjuk penyebab itu, kadang-kadang, pasien diberi obat yang berbeda dari obat sebelum ia mengambil admisi.

Keselamatan Pasien adalah masalah kesehatan utama bagi organisasi perawatan kesehatan dan masyarakat umum. Pelaksanaan program-program untuk meningkatkan keamanan dalam penggunaan obat-obatan lebih dan lebih umum di rumah sakit. Baru-baru ini, pada bulan Desember 2007, NICE telah menerbitkan panduan solusi bagi rekonsiliasi penerimaan obat di rumah sakit.

Rekonsiliasi Obat memang dirancang untuk mencegah kesalahan pengobatan pada antarmuka perawatan dan terdiri dari mendapatkan daftar kemungkinan paling lengkap pra-penerimaan obat untuk setiap pasien, termasuk wawancara pasien, dan membandingkannya dengan obat resep setelah transfer, perubahan medis penanggung jawab atau diatas perintah debit, mengidentifikasi kesenjangan yang tidak diinginkan dan memastikan kesadaran resep penggunaan obat saat ini dan sebelum memberi keputusan resep.

Layanan Farmasi rumah sakit Arnau de Vilanova (Valencia) berpartisipasi dari April 2006 dalam program CONSULTENOS. Program ini merupakan hasil inisiatif dari Masyarakat Farmasi Rumah Sakit Valencian dan dibiayai oleh Conselleria de Sanitat dari Komunitas Valencian. Tujuan adalah: untuk membuat rekonsiliasi obat saat masuk dan debit, dan untuk menginformasikan pasien aspek yang paling penting dari perawatan baru ditentukan di debit rumah sakit dan dari satu kebiasaan. Pada perubahan debit rumah sakit dalam pengobatan pasien kronis dapat terjadi, karena sering tidak merujuk dalam surat debit regimen obat yang lengkap, termasuk perawatan pra dan pasca-transfer. Misalnya dalam  pelayanan bedah umum ketidakcocokan yang mendominasi adalah  kelalaian obat, resep yang tidak benar, interaksi dan kepalsuan terapeutik. Mengenai evaluasi dari beragam aspek program, para dokter menemukan pengiriman informasi tertulis tentang obat-obatan dan revisi dari pengobatan yang diresepkan di debit ramah sangat penting.

Standarisasi merupakan proses yang sulit dan membutuhkan kerja tim dan komunikasi yang efektif, tetapi hasilnya dalam keselamatan untuk pasien adalah penting. Kegiatan klinis harus dimasukkan dalam portofolio layanan dari farmasi rumah sakit; serta integrasi phamacists dalam tim klinis yang membutuhkan perawatan pasien sehari-hari.

Singkatnya, program rekonsiliasi pengobatan mencegah kesalahan dengan obat-obatan, terutama dalam transisi kesejahteraan pasien. Selain itu, pasien memiliki informasi tambahan yang penting pada penggunaan narkoba dan masalah dengan menggunakan ini. Praktek ini harus dilaksanakan di rumah sakit sebagai layanan, sebagai alat penting untuk meningkatkan keamanan pasien, dalam kerangka sistem pengurangan risiko bagi kesehatan dan peningkatan kualitas kesejahteraan.

DAPUST : Franco, et al, 2010, Medication reconciliation: Improving patient’s safety and quality of care.

THE HOSPITAL

3. Pharmacist on the Duty (Part 3)

Lisa memandang ke arah Viona. Viona yang merasa diperhatikan jadi salah tingkah, lebih-lebih ketika Lisa mendekatinya. Sambil tersenyaum, Lisa mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, mau tak mau viona harus membalas jabat tangan itu.

“Bisa kita bicara di ruanganku sebentar?” pinta Lisa.

Viona terdiam. Dia hanya menurut saat Lisa merangkulnya untuk memasuki ruang kerja Lisa.

“Silahkan duduk,” pinta Lisa pada Viona ketika mereka telah memasuki ruangan kerja Lisa.

Viona menurut, sementara Lisa mulai menduduki kursi kerjanya. Kursi itu, kursi yang selama bertahun-tahun di duduki oleh Pak Restu sebagai kepala instalasi farmasi, dan kini seorang apoteker baru memimpin, berusaha menilai segala hal dalam instalasi ini, apakah ini masuk akal? Seseorang yang benar-benar asing merasa tahu betul akan instalasi ini. Viona sibuk dengan pikiran itu.

Lisa mulai bicara, “Viona, hanya kau dan aku apoteker di instalasi ini, karena itu aku sangat mengharapkan kerja sama darimu.”

Lisa tersenyum,”Aku tidak tahu apa yang dikatakan kakakmu, Wahyu padamu.”

Viona terkejut. Dari mana Lisa tahu tentang kakaknya itu yang menjanjikan kedudukan pak Restu padanya.

“Dan aku juga tidak tahu yang dijanjikan Dito padamu, tapi aku mohon kerja samamu untuk memajukan instalasi ini, bukankah teman sejawat adalah saudara kandung?”

Lisa tersenyum. Viona membalas senyum itu walau sedikit terdapat gurat paksaan di senyumannya.

“Nah, sekarang kau boleh pulang, aku tahu kau lelah,”kata Lisa.

Viona pun meminta diri. Kini tinggal Lisa di ruangan itu menatap bertumpuk kertas hasil kerja seharian tadi. Lisa mulai membuka satu persatu.

Sample counting, ketidaksesuaian jumlah sediaan antara kartu stok dan computer 45%, ketidakcocokan antara kartu stok dan jumlah sediaan fisik 25%. Di sini, Lisa mulai menghela nafas. Dia memijit-mijit tengkuknya yang sedari tadi tegang. Dia melanjutkan lagi. Menelusuri lembar demi lembar kertas di atas mejanya itu. Yang terlihat adalah angka-angka yang menampilkan kekecewaan yang mendalam, angka yang menunjukan tidak bekerjanya system atau memang bekerjanya system yang salah.

Ketersediaan obat 70%, disini Lisa mulai mengkerutkan dahi. Dia terlalu serius menekuri kertas-kertas itu. Dia terkejut saat HPnya tiba-tiba berbunyi dan membuat ruangan yang hening itu berisik sejenak. “My luoy” tertulis di layar HP-nya, ternyata Andre yang menelpon.

“Kau dimana?” tanya Andre di ujung telephone.

“Masih di kantor,” jawab Lisa dengan suara serak.

“Apa? Kok masih di kantor? Kalau begitu aku akan menjemputmu.”

Belum sempat Lisa membalas. Andre sudah menutup telephone. Lisa mendengus, “Kebiasaan yang tidak baik,” umpatnya. Dia meneruskan pekerjaannya.

Seperempat jam kemudian Andre memasuki ruangan itu dan protes karena kesibukan Lisa.

“Kau adalah pegawai di sini, bukannya pekerja rodi,” protes Andre.

“Aku tidak merasa kalau aku kerja rodi,” jawab Lisa.

“Bekerja dari jam delapan pagi sampai jam dua dini hari, kau anggap ini bukan kerja rodi?”

“Bukankah ini rumah sakit keluargamu?”

“Ya.”

“Seharusnya kau senang aku melakukan semua ini.”

Andre mengibaskan tangannya.

“Sudah, tidak usah banyak protes, ayo pulang!” perintah Andre.

Lisa memunguti kertas-kertas di atas mejanya untuk dibawa pulang. Dia menurut saat Andre menggandeng tangannya atau lebih tepat dianggap menarik tangannya untuk segera keluar dari ruang kerja itu.

Sesampainya di pelataran parkir, mereka berpapasan dengan Armand yang kebetulan akan tugas shift malam di UGD. Armand menghentikan langkahnya demi memperhatikan pasangan itu.

“Pagi, Armand,” sapa Andre masih dalam posisi menarik  tangan Lisa.

“Pagi,” jawab Armand.

Rupanya Andre sedang tidak ingin memperlama basa-basi itu. Dia segera menuju mobilnya yang terparkir berdekatan dengan mobil Armand dan Armand masih saja memperhatikan tingkah keduanya.  Andre masuk ke dalam mobil saat Lisa sudah memasuki mobil. Beberapa menit kemudian, mobil itu sudah berlalu dari area parkir. Armand masih saja berdiri mematung. Dia berpikir apa yang terjadi sehingga Andre sepertinya menyeret Lisa seperti itu. Dan akhirnya ditanggalkannya pikiran itu demi memasuki tugas yang sebenarnya telah memanggil 2 jam yang lalu.

————————————————————————–

Waktu sudah menunjukan pukul 02.30 wib, saat Andre menghentikan mobilnya yang telah memasuki pekarangan rumah Lisa. Lisa yang kelelahan tertidur di sampingnya. Sesaat Andre memperhatikan Lisa, ditepuknya pipi Lisa dengan lembut. Lisa  terbangun.

“Sudah sampai,” ujar Andre.

“Sudah sampai, ya?” tanya Lisa. Saat Lisa hendak turun dari mobil, Andre berkata,” Besok pagi aku ke Batam.”  Kalimat Andre membuat Lisa mengurungkan niat membuka pintu mobil. Dia menoleh ke arah Andre

“Ada bisnis di sana,” lanjut Andre. Lisa hanya mempertajam pandangan.

“Kami akan mengakuisisi salah satu perusahaan di sana,” kata Andre kemudian, “Cuma perusahaan kecil yang akan bangkrut.”

Lisa menghela nafas, “Kata akuisisi adalah kata yang paling tidak kusukai.”

Andre terkekeh, “Lalu kata apa yang kau sukai?”

Lisa menjawab cepat, “ Aliansi strategik dan merger.”

Andre terkekeh. Lisa memajukan bibirnya.

“Berapa lama kau di Batam?”

“Cuma dua hari.”

Lisa mengangguk-angguk.

“Ah, sudah sana masuk, wajahmu kelihatan mupeng jika kau kelelahan,” perintah Andre. Lisa tertegun. Mupeng? Masa? Lisa mengelus-elus pipinya sendiri sembari keluar dari mobil. Dia melambaikan tangan saat mobil Andre mulai meninggalkan pekarangan rumahnya.

Di dalam rumah. Lisa tidak langsung tidur, dia masih saja menjereng tumpukan kertas yang dibawanya dari kantor tadi. Dia mencoba menganalisa berdasar Managing Drug Supply. Dia telusuri kegagalan demi kegagalan dari tahap seleksi sampai use dan terkejut betapa banyak kegagalan yang terjadi selama bertahun-tahun. Mulai PFT yang kurang aktif sampai distribusi yang awut-awutan, belum lagi ketika Lisa mulai memasuki managing support. Mata Lisa yang tadinya mengantuk mulai terbelalak, rumah sakit tipe C dengan 250 tempat tidur hanya di cover oleh 2 orang apoteker yaitu dia dan Viona, dia membayangkan bagaimana sibuknya Pak Restu dulu, apalagi waktu itu Viona masih sebagai asisten apoteker, belum lulus pendidikan profesi.

Kepala Lisa jadi semakin berat. Apalagi saat dia membaca laporan keuangan instalasi farmasi, Quick Ratio cuma 0,5. Lisa menghitung lagi, nilai perputaran persediaan cuma empat kali per tahun? Mata Lisa semakin terbelalak, dia menghitung rata-rata distributor mengharapkan pelunasan sebulan sekali, mungkin ini sebabnya instalasi terlalu banyak hutang. Lama-lama kepalanya semakin berat dan akhirnya tertidur dengan menelungkupkan kepalanya di atas kertas-kertas itu.

—–BERSAMBUNG——

PERAN APOTEKER DALAM PENANGANAN PANDEMI FLU BURUNG / FLU BABI

Penyakit flu burung dan flu babi termasuk penyakit yang sangat potensial membawa dampak penyebaran yang cepat dan mengancam jiwa masyarakat Indonesia, kemampuan penyebarannya bisa sangat cepat, kemungkinan penularan antar manusia sangat dikhawatirkan dan oleh karena itu membutuhkan penanganan yang tepat dan segera. Peran serta Apoteker ini didasari dengan pengetahuan yang dimiliki Apoteker tentang patofisiologi penyakit; obat-obatan yang diperlukan atau harus dihindari oleh pasien penyakit flu burung dan flu babi. Hal-hal yang harus dipersiapkan dan dihindari oleh tenaga kesehatan termasuk apoteker dalam melaksanakan tugasnya.

Peran aktif Apoteker di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Memastikan bahwa prosedur pengendalian infeksi berada di tempat di dalam sistem pelayanan kesehatan dan digunakan oleh semua yang terlibat dalam mengelola penyakit hewan maupun manusia serta kasus dugaan.

2.  Melakukan upaya pencegahan penyakit flu burung dan flu babi

Upaya ini diwujudkan melalui:

  • Pemberian penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit flu burung dan flu babi meliputi gejala awal, sumber penyakit, cara pencegahan, penanggulangan penyebaran, dan pertolongan pertama yang harus dilakukan.
  • Pembuatan buletin, leaflet, poster, dan iklan layanan masyarakat seputar penyakit flu burung dan flu babi dalam rangka edukasi masyarakat.
  • Berpartisipasi dalam upaya pengendalian penyebaran infeksi virus di rumah sakit melalui Komite Pengendali Infeksi dengan memberikan saran tentang pemilihan antiseptik dan desinfektan; menyusun prosedur, kebijakan untuk mencegah terkontaminasinya produk obat yang diracik di instalasi farmasi atau apotek; menyusun rekomendasi tentang penggantian, pemilihan alat-alat kesehatan, pemilihan alat pelindung diri, injeksi, infus, alat kesehatan yang digunakan untuk tujuan baik invasive maupun non-invasif, serta alat kesehatan balut yang digunakan di ruang perawatan, ruang tindakan, maupun di unit perawatan intensif (ICU).

3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien untuk mempercepat proses penyembuhan, mencegah bertambah parah, atau mencegah kambuhnya penyakit serta mencegah penularan. Hal ini dilakukan dengan cara:

  • Memberikan informasi kepada pasien tentang penyakitnya dan pengendalian diri dan lingkungan dalam upaya mencegah penularan.
  • Menjelaskan obat-obat yang harus digunakan, indikasi, cara penggunaan, dosis, dan waktu penggunaannya.
  • Melakukan konseling kepada pasien untuk melihat perkembangan terapinya dan memonitor kemungkinan terjadinya efek samping obat.

Kompetensi yang diperlukan seorang Apoteker untuk dapat memberikan pelayanan kefarmasian terhadap pasien penyakit flu burung dan flu babi di antaranya adalah:

  • Pemahaman prosedur pengendalian infeksi flu burung dan flu
  • Pemahaman stratifikasi risiko keterpaparan kelompok individu terhadap infeksi flu burung dan flu babi
  • Pemahaman patofisiologi penyakit flu burung dan flu babi
  • Penguasaan farmakoterapi penyakit flu burung dan flu
  • Penguasaan farmakologi obat-obat yang digunakan pada pengobatan penyakit flu burung dan flu babi
  • Memiliki kemampuan komunikasi yang baik dalam pemberian konseling kepada pasien ataupun ketika berdiskusi dengan tenaga kesehatan lain.
  • Memiliki keterampilan dalam mencari sumber literatur untuk Pelayanan Informasi Obat penyakit flu burung dan flu babi
  • Monitoring terapi pengobatan yang telah dilakukan dan kemungkinan terjadinya efek samping obat maupun resistensi.
  • Memiliki kemampuan menginterprestasikan hasil laboratorium.

Tujuan pemberian konseling kepada pasien adalah untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan dan kemampuan pasien dalam menjalani pengobatannya serta untuk memantau perkembangan terapi yang dijalani pasien. Ada tiga pertanyaan utama umum (Three Prime Questions) yang dapat digunakan oleh Apoteker dalam membuka sesi konseling untuk pertama kalinya. Pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Apa yang telah dokter katakan tentang obat anda?
  2. Apa yang dokter jelaskan tentang harapan setelah minum obat ini?
  3. Bagaimana penjelasan dokter tentang cara minum obat ini?

Pengajuan ketiga pertanyaan di atas dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi pemberian informasi yang tumpang tindih (menghemat waktu); mencegah pemberian informasi yang bertentangan dengan informasi yang telah disampaikan oleh dokter (misalnya menyebutkan indikasi lain dari obat yang diberikan) sehingga pasien tidak akan meragukan kompetensi dokter atau apoteker; dan juga untuk menggali informasi seluas-luasnya (dengan tipe open ended question).

Tiga pertanyaan utama tersebut dapat dikembangkan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut sesuai dengan situasi dan kondisi pasien:

1. Apa yang dikatakan dokter tentang peruntukan/kegunaan pengobatan anda?

Persoalan apa yang harus dibantu?

Apa yang harus dilakukan?

Persoalan apa yang menyebabkan anda ke dokter?

2. Bagaimana yang dikatakan dokter tentang cara pakai obat anda?

Berapa kali menurut dokter anda harus menggunakan obat tersebut?

Berapa banyak anda harus menggunakannya?

Berapa lama anda terus menggunakannya?

Apa yang dikatakan dokter bila anda lupa minum obat?

Bagaimana anda harus menyimpan obatnya?

Apa artinya ‘tiga kali sehari’ bagi anda?

3. Apa yang dikatakan dokter tentang harapan terhadap pengobatan anda?

Pengaruh apa yang anda harapkan tampak?

Bagaimana anda tahu bahwa obatnya bekerja?

Pengaruh buruk apa yang dikatakan dokter kepada anda untuk diwaspadai?

Perhatian apa yang harus anda berikan selama dalam pengobatan ini?

Apa yang dikatakan dokter apabila anda merasa makin parah/buruk?

Bagaimana anda bisa tahu bila obatnya tidak bekerja?

Pada akhir konseling perlu dilakukan verifikasi akhir (tunjukkan dan katakan) untuk lebih memastikan bahwa hal-hal yang dikonselingkan dipahami oleh pasien terutama dalam hal penggunaan obatnya dapat dilakukan dengan menyampaikan pernyataan sebagai berikut:

“ Sekedar untuk meyakinkan saya supaya tidak ada yang kelupaan, silakan diulangi bagaimana Anda menggunakan obat Anda”.

Salah satu ciri khas konseling adalah lebih dari satu kali pertemuan. Pertemuan-pertemuan selanjutnya dalam konseling dapat dimanfaatkan Apoteker dalam memonitoring kondisi pasien. Pemantauan terhadap kondisi pasien dapat dilakukan Apoteker pada saat pertemuan konsultasi rutin atau pada saat pasien menebus obat, atau dengan melakukan komunikasi melalui telepon atau internet. Pemantauan kondisi pasien sangat diperlukan untuk menyesuaikan jenis dan dosis terapi obat yang digunakan. Apoteker harus mendorong pasien untuk melaporkan keluhan ataupun gangguan kesehatan yang dirasakannya sesegera mungkin.

Penyuluhan tentang pencegahan dan penanggulangan penyakit flu burung dan flu babi perlu dilaksanakan secara berkelanjutan mengingat sebagian besar penyebab penyakit flu burung dan flu babi adalah karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam melindungi diri mereka terhadap penyakit-penyakit virus tersebut. Penyuluhan dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Penyuluhan langsung dapat dilakukan secara perorangan maupun kelompok; sedangkan penyuluhan tidak langsung dapat dilakukan melalui penyampaian pesan-pesan penting dalam bentuk brosur, leaflet atau tulisan dan gambar di dalam media cetak atau elektronik.

Apoteker diharapkan dapat memberikan penyuluhan secara personal dengan pasien penyakit flu burung dan flu babi. Penyuluhan secara personal dapat meningkatkan upaya pencegahan penularan maupun ketertularan serta kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatannya manakala terserang. Hendaknya Apoteker memastikan bahwa pasien tahu tentang penyakit yang dideritanya, pentingnya kepatuhan terhadap pengobatan yang disarankan serta akibat dari ketidakpatuhan atau kelalaian dalam menjalankan terapi pengobatannya. Keluarga pasien harus diberi pengertian bahwa penyakit flu burung dan flu babi dapat menimbulkan komplikasi lebih lanjut seperti kematian apabila tidak ditangani dengan baik. Keluarga harus segera melapor bila ada dugaan ketertularan atau gejala influenza karena flu burung dan flu babi.

Terima kasih buat Isnenia, Dyah Fani dan M. Sridhotulloh yang telah membantu dalam penyusunan materi ini pada tugas Perilaku penggunaan sediaan Farmasi yang diampu oleh Bp. Riswoko

PRAHARA CLEOPATRA

CERPEN HADIAH IDUL FITRI UNTUK  ORANG-ORANG YANG KUCINTAI

Pagi yang indah, udara yang segar, suasana menyenangkan yang membuat kedua anak itu riang, bercanda, berkejaran, dan di sana, tak seberapa jauh dari mereka, seorang pria berdiri. Wajah yang bijaksana, sosok tubuh yang tegap, merentangkan ke dua tangannya di muka dan dengan senyum simpatik menyambut diriku yang segera berlari ke arahnya.

Stop!!!…. Stop dreaming, Cleo. Time to get up, now! Ya, ya, aku tahu semua itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini. Rudi, pria yang selama ini ku harapkan jadi sosok dalam mimpi itu, ternyata lebih memilih sepupuku. Sekarang, bagaimana bisa aku tetap memimpikan semua itu?

“Wah sudah bangun, rupanya.”

Nena, teman kuliah yang kuajak ke Jakarta untuk pernikahan Rudi, terkejut melihatku yang tak seperti biasanya karena bangun sebelum alarm berbunyi.

“Jam berapa sekarang?” tanyaku.

“Jam setengah tiga. Wudhu sana!”

Aku segera berwudhu dan mempersiapkan diri untuk sholat tahajud. Keheningan sepertiga malam terakhir menambah khusuk sholat ini. Sesaat kupasrahkan diri di hadapan Ilahi. Dzikir yang mampu menenangkan hati yang bergejolak dan doa yang selalu menjadi hiburanku serta lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang serasa bagai simphoni di telingaku.

Adzan subuh tak jua terdengar. Kuamati suasana sekeliling. Sepi… Beberap orang tidur berdesakan di ruang tengah. Barang-barang perlengkapan pernikahan terlihat terbengkalai di beberapa tempat. Mereka sangat capek dengan kesibukan ini. Kualihkan pandangan  ke pintu kamar Shinta. Pintu kamar itu masih tertutup. Sudah empat hari dia menjalani masa pingitan. Tradisi yang aneh… .

Shinta, saudara sepupuku yang lebih dipilih Rudi sebagai calon istrinya. Semua itu membuatku kecewa. Aku yang lebih dulu tertarik pada Rudi. Seharusnya dulu aku tidak memperkenalkan mereka. Dasar bodoh !

Adzan subuh menyadarkan lamunan. Segera kupenuhi panggilan itu dan melupakan masalah sejenak.

Kesibukan pun berlanjut. Terus terang, aku tidak betah di sini. Rasa iri dan patah hati pada calon pengantin… .

“Hai, kok bengong?” suara dari belakang mengagetkanku. Shinta!

“Kamu kok berani keluar kamar?” tanyaku.

“Suntuk di kamar terus. Eh, kamu lihat Rudi, gak?”

“Rudi? Bukannya kalian tidak boleh ketemu sampai acara pernikahan besok?”

“Aku tahu, tapi…

“Udah deh. Jangan bikin perkara.”

“Tapi, Cleo.”

“Udah sana masuk kamar!”

Shinta menuruti perintahku dengan bibir manyun. Aku muak dengan keadaan ini dimana harus pura-pura baik pada Shinta hanya karena dia sepupuku. Aku tahu, apalah aku dibandingkan Shinta. Kami memang sama-sama cucu nenek dan kakek tapi tetap saja berbeda nasib. Paman Hanafi, Ayah Shinta yang cukup berada, mampu memberikan apa saja untuknya. Sedangkan aku? Mungkin itu yang membuat Rudi berpaling dariku.

“Kau tahu? Semua itu tidak benar,” seorang pria yang tidak kukenal menyelutuk tiba-tiba. Aneh, seolah dia tahu jalan pikiranku. Ku lihat wajah pria itu. Cukup tampan, tapi di mana aku mengenalnya?

“Kau tahu? Jika seseorang telah memutuskan siapakah yang akan mendampinginya, segala sesuatu seperti kecantikan, kekayaan, kedudukan dan status tidak akan masuk hitungan,” lelaki itu menguliahiku dengan kata-kata yang menurutku penuh teori. Mana ada di jaman sekarang yang sarat materialisme masih berlaku hal semacam itu?

“Aku rasa kau sudah terlalu jauh mencampuri urusanku !” Aku bersikap ketus. Dia memang tidak sopan mengingat kami tidak saling kenal.

“Maaf, namaku Levy,” dia menjulurkan tangan. Sekali lagi dia mampu menebak yang ada di benakku. Tak ada yang bisa kulakukan selain membalas niatnya berkenalan.

“Dari mana kamu tahu tentangku?” tanyaku setelah kami cukup akrab.

“Hanya menebak.”

“Menebak?”
“Dari sikapmu.”

“Sikapku? Memangnya sikapku tidak wajar? Atau… terlihat munafik?”

“Tidak,” dia mengibaskan tangannya.”Entahlah, aku cuma tahu. Itu saja.”

Levy segera meninggalkanku setelah menjawab. Aku semakin tidak mengerti. Seseorang bisa tahu isi hati orang lain hanya dengan melihat sikapnya? Ah, mana mungkin?

Akhirnya tiba juga saat itu, saat Shinta dan Rudi menjalani ijab Kabul dan aku yang tidak mampu melihat kebahagiaan mereka. Aku memutuskan untuk keluar dari ruangan yang penuh sesak dengan tamu undangan. Aku menuju ke samping rumah karena di sana terlihat Levy berdiri termenung.

“Assalamu’alaikum,” salamku padanya.

“Walaikumsalam.”

“Aku keluar rumah karena jenuh dengan banyaknya orang di sana,”kataku memulai pembicaraan.”Aku rasa aku butuh udara segar.”

“Jangan munafik. Aku tahu kau keluar karena tidak tahan dengan pernikahan mereka,” Levy menyindir. “Kau lihat rumput ini?”

Levy menunjuk pada rumput yang terbentang di bawah kami.”Kau tahu apa warnanya?”

“Hijau!” jawabku.

“Apa warna rumput di halaman rumahmu di Jogja?”

“Hijau juga?”

“Aku rasa kau sudah tahu maksud pertanyaanku.”

Aku mengangguk. Aku melepaskan sepatu dan menginjakkan kaki telanjang di atas rumput. Rasa dingin menjalar di telapak kaki. Kulihat beberapa tamu memasuki rumah… . Au! Sebuah duri menusuk telapak kakiku. Aku meringis kesakitan. Levi terkejut.

“Tidak, Aku tidak apa-apa, kok. Cuma duri,”kataku sambil memijit-mijit bagian kaki yang terkena duri lalu kukeluarkan duri itu dan mencoba berdiri kembali.

“Sebenarnya kau sudah tahu, kan resikonya sebelum memutuskan untuk mencopot sepatu dan berjalan dengan kaki telanjang di atas rumput?”

Aku mengangguk,”Aku hanya ingin merasakan dinginnya rumput ini di kakiku.”

“Pernahkah kau berpikir bahwa Shinta menikahi Rudi juga dengan resiko?”

“Resiko? Memangnya resiko apa yang harus ditempuh oleh gadis yang menikahi Rudi?”

“Semua pilihan dalam hidup ini penuh resiko, Cleo. Hanya saja kita memutuskan untuk memilih karena manfaatnya yang lebih besar dari rsikonya tapi semua itu tidak membuat resiko itu hilang, bukan?”

“Ah, aku pusing kalau ngobrol sama kamu. Kamu sok filsafat banget, sih? Apa kamu kuliah jurusan filsafat”

“Tidak, Aku sedang menempuh S2 farmasi.”

Aku heran. Cowok semuda itu sudah S2? Wah, salut deh! Tapi cara bicaranya kok seperti ini? Apa dia salah jurusan?

“Kenapa kau tidak ambil saja sisi positif dari kejadian ini.”

“Sisi positif yang bagaimana?”

“Setidaknya bukan kamu yang ada di tempat Shinta dengan kepala pusing menahan berat dari sanggul, make up maupun kebaya yang melilit erat di tubuh.”

Aku tertawa mendengar kalimat Levy. Aku mulai berpikir bahwa dia adalah penghibur yang baik.

Pertemuanku dan Levy memang terbilang aneh. Dia tiba-tiba mendekatiku saat broken heart karena Rudi, menebak semua jalan pikiranku, membuatku berpikir tentang rumput dan resiko setiap pilihan, serta mengambil sisi positif dari suatu masalah.

“Ah, kau terlalu beranggapan baik padanya,” kata Nena setiap kali ku curhat tentang Levy. “Bisa saja dia sok bijak untuk mendekatimu yang lagi broken.”

“Jangan berpikiran jelek!” aku berusaha menampik pendapat Nena meski dalam hati setuju. “Tapi… sepertinya wajah Levy tidak begitu asing? Entahlah… sepertinya kami pernah bertemu sebelumnya.”

“Di mana? Di kehidupan yang lalu?”

“Uh, ngaco!” Kami tertawa berdua.

Seiring waktu berlalu, aku semakin mengenal Levy. Ternyata dia mengambil S2 di kampusku. Kampus yang paling ngetop di kota gudeg. Terkadang kulihat dia di perpustakaan. Dia selalu menyapa setiap kami bertemu tapi kami sepertinya sama-sama tahu dan tidak saling mengganggu jika terlihat sibuk satu sama lain. Sering juga kutemukan dia sholat di masjid kampus. Dia selalu berlama-lama dengan rutinitas yang satu itu. Aku merinding setiap melihatnya begitu khusuk dengan dzikir dan doanya, seolah pasrah dengan maut yang siap menjemput.

Hari ini aku ke perpustakaan untuk mengusir rasa jenuh. Sekedar menuliskan angan dan mimpiku ke buku harian. Tentu saja tentang dua orang anak yang berlari riang di lapangan berumput hijau dan seorang pria yang berdiri tak jauh dari mereka. Dengan senyum yang hangat, mengulurkan tangan tuk menyambutku yang segera berlari ke arahnya.

“Sedang menulis apa?”

Levy mengagetkanku. Aku tidak menyadari kehadirannya karena terlalu asyik. Dia segera duduk di depanku. Kusodorkan buku harian padanya. Sesaat dia membaca.

“Bagus,” dia mulai berkomentar.”Kamu bakat jadi penulis.”

“Itu bukan bahan tulisan.”

“Lalu?”

Aku tersenyum, tidak mungkin kuakui bahwa itulah impianku selama ini.

“Kehidupan yang sederhana. Kehidupan macam inikah yang kau harapkan, Cleo?”

“Aku mulai tidak percaya semua itu.”

“Kenapa?”

“Kehidupan semacam itu hanya terjadi jika kita punya uang.”

“Begitukah anggapanmu tentang hidup?”

“Ya!” aku menjawab penuh semangat.

“Lalu bagaimana dengan cinta? Semua itu pasti terwujud bila ada cinta.”

“Hah?” aku tertawa lirih, “Levy… aku rasa kau terlalu banyak nonton film roman picisan. Di jaman sekarang, masih adakah cinta sesederhana itu?”

“Aku yakin masih ada.”

Kali ini tertawaku agak keras hingga sekelilingku memperingatkan keadaanku yang sedang berada di area tenang. Cowok di depanku ini terlalu optimis dengan keyakinannya.

“Di jaman ini tidak ada cinta buta, Levy. Seorang gadis dari keluarga kaya tidak mungkin melirik pemuda miskin, pemuda cerdas tak mungkin jatuh hati pada gadis idiot.”

Levy terdiam, aku semakin yakin dengan argumenku,”Kau tahu kisah cinta Cleopatra dan Mark Anthony?” tanyaku.

Levy mengangguk.

“Jika saja Cleopatra tidak cantik dan bukan ratu Mesir, apa mungkin Mark Anthony tergila-gila padanya dan memberontak terhadap Romawi?”

Levy tersenyum. Dengan pelan dia bicara,”Kalau pun waktu itu Cleopatra tidak cantik dan kaya, Mark Anthony akan tetap memberontak pada Romawi karean memang begitulah takdirnya. Kenapa sih kau tidak mencari contoh lain?”

Kalimat Levy terdengar menngelikan dan akhirnya ku terbengong melihat tingkahnya yang meninggalkanku begitu saja. Mungkin dia bosan dengan obrolan ini. Ku teruskan saja curhatku di buku harian.

“Bacalah buku ini!”

Levy datang lagi dan menyodorkan sebuah buku padaku. Taman orang-orang yang jatuh cinta dan memendam rindu, judul buku itu. Kemudian dia berlalu lagi. Dasar aneh!

Buku yang tebal. Kewalahan juga aku membacanya. Bukannya semakin jelas, aku semakin tidak mengerti. Menurutku buku itu menjelaskan makna cinta dengan begitu rumit. Serumit itukah cinta? Obrolan tentang cinta pun terus berlanjut. Aku bersikeras dengan pendapatku demikian juga Levy. Orang lain pasti akan mual dan muntah jika mendengar perdebatan kami. Seperti biasa tidak ada yang mau mengalah hingga kesibukanku PKL dan kesibukannya dengan tesis membuat perdebatan ini terputus.”

Setahun berlalu, Paman Hanafi mengabarkan bahwa Shinta sudah melahirkan bayi laki-laki. Wajah Shinta begitu sumringah saat aku datang menjenguk bayinya yang montok dan lucu. Rudi tidak terlihat di sana.

“Di mana Rudi?” tanyaku pada Shinta yang tengah menyusui. Aneh, wajah Shinta mendadak sayu. Tante Rubi segera menarikku keluar kamar.

“Kamu jangan tanya-tanya tentang Rudi lagi,” kata Tante Rubi.

“Lho, memangnya kenapa?”

“Pernikahan mereka kurang harmonis. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi dan selalu diakhiri dengan Rudi yang memukul Shinta.”

Deg! Tiba-tiba anganku melayang pada Levy, kata-katanya tentang rumput dan resiko setiap pilihan terngiang lagi di telingaku.

“Ngomong-omong, bagaimana persahabatanmu dengan Toni?” tante Rubi membuyarkan lamunanku.

“Toni?”

“Iya! Toni Syahlevy.”

“Toni… Syah… Levy?…. Levy?!”

“Iya, dia itu anak Pak Johan, tetangga kita waktu di Malang dulu. Waktu kalian masih kecil, Toni itu suka mengganggumu sampai kau menangis, kan?”

Kata-kata tante Rubi mampu menjawab pertanyaan yang selama ini mengganjal di hati. Pantas saja aku merasa wajah levy tidak asing. Sosok bocah laki-laki yang selalu menarik rambutku hingga ku menjerit kesakitan, berkelabat di anganku. Semuanya semakin jelas. Sungguh aku menikmati persahabatanku dengannya tapi bukan karena aku naksir atau karena dia tertarik padaku. Aku tahu tidak ada persahabatan antara pria dan wanita. Tapi entahlah?

“Aku akan pergi jauh,”kata Levy di sekian kalinya kami bertemu.

“Kemana?” tanyaku.

“Ke tempat di mana rasa ikhlas menjadi raja, ketulusan sebagai permaisuri dan kemanusiaan adalah hukum yang berlaku. Tempat di mana pamrih terpinggirkan, ambisi terpelanting, kejujuran diunggulkan.”

“Memangnya ada tempat seperti itu?”

“Bukankah semua kitab suci di muka bumi ini menjanjikan tempat itu? Banyak nama yang diberikan, seperti nirwana, sorga… atau… heaven.”

“Jangan bilang kalau kau akan…

“Kenapa? Bukankah semua orang akan kesana? Hanya waktu dan caranya yang berbeda.”

Aku tidak suka dengan tingkah Levy. “Kau membuatku takut. Kenapa kau mengungkap kematian dengan kata-kata indah?”

“Good bye, Cleo… .”

“Levy?” aku memanggilnya pelan tapi dia tidak peduli. Dia berpaling, meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan yang tak terjawab. Kenapa harus kematian?

Gundukan tanah bernisan di depanku masih berwarna merah. Jasad Levy terbaring tenang di dalamnya. HIV-Aids menggerogoti tubuh itu sebelumnya. Perkataan orang-orang tentang Levy yang mengidap penyakit itu karena tranfusi darah mampu menangkis pikiran buruk di otakku tentang sebab-musabab Levy terkena penyakit mematikan itu. Aku merasa kerdil di depan batu nisan itu. Levy yang begitu optimis dengan hidup dan cinta walau pun umurnya tidak panjang. Sungguh beda denganku yang selalu menyalahkan nasib, menyia-nyiakan cinta yang selama ini berada di sekelilingku hanya untuk sebuah cinta yang tak mungkin ku miliki.

Tanpa ku sadari, dia telah menjadikanku obyek dakwah, tentu saja dengan kata-katanya yang sukar dicerna. “Good bye, Cleo,” kalimat terakhir yang dia ucapkan saat perpisahan itu. Begitu singkat, tak serumit kalimat-kalimat yang selalu dia katakan tentang cinta dan hidup. Begitu singkat, sesingkat kehidupan yang di jalaninya.

Namun kehidupan tetap berlanjut bagiku. Mimpi itu pun masih menghiasi setiap tidur, tentang dua orang anak yang berlarian riang di lapangan rumput dan seorang pria yang berdiri tak jauh dari mereka. Dengan tersenyum, direntangkanlah tangannya ke muka untuk menyambutku yang segera berlari ke arahnya.