BEHIND THE SHINING STAR III (part 2)

Hari demi hari berlalu bagi mereka berdua, semakin kandungan Sun membesar, semakin banyak denda yang harus dibayar Sun akibat kontrak yang gagal. Seperti janjinya, Mr. Goo pun membantu keuangan putrinya. Rahasia ini diketahui oleh Mino walau pun Sun menutupnya rapat. Tanpa sepengetahuan istrinya, Mino bahkan menemui Mr. Goo untuk mengembalikan uang, alhasil Mr. Goo merasa tersinggung dan dia harus minta maaf pada mertuanya itu. “Cukup buat putriku bahagia, Mino-ssi, itu yang terpenting bagi Appa,”begitulah nasehat orang tua itu.

Sun akhirnya resmi menjadi istri saja bagi Mino, sepertinya memang dia harus melepaskan gelar keartisannya. Dia masih mengisi waktu luang dengan menulis dan melukis dan selebihnya hanya dipergunakan untuk mengurus keperluan rumah tangga saja. Terkadang dia merindukan saat-saat syuting. Mino tahu hal itu sehingga terkadang dia mengajak Sun ke lokasi agar bisa bercanda dengan rekan sesama artis.

“Apa yang kau pikirkan?” tanya Mino saat dia mendapati Sun melamun. Sun tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Seperti biasa yang mereka lakukan di Minggu pagi, adalah duduk-duduk di balkon apartemen mereka, menikmati suasana pagi sambil minum teh.

“Dia baik-baik saja, kan?” Mino memegang perut Sun. Sun mengangguk, kandungannya sudah memasuki bulan keempat. ”Miane karena tak berterus terang akan kontrak-kontrak itu.”

Mino menghembuskan nafas kuat-kuat,”Kau tahu ayahmu sangat tersinggung saat aku berusaha mengembalikan uang itu.” Sun menunduk,”Miane.”

“Bisakah lain kali kau lebih jujur? Kita suami istri sekarang!” perintah Mino. Sun mengangguk. Entah kenapa akhir-akhir ini Sun semakin menurut. Angin pagi menerpa tubuh mereka, Sun terlihat meringkuk di tempatnya. Mino langsung berdiri dan menuntun Sun memasuki apartemen. Dia menutup pintu balkon setelah mendudukkan Sun di sofa di depan TV. Perhatiannya terhadap Sun memang agak berlebihan akhir-akhir ini dan terkadang membuat Sun risih, Sun tidak suka dianggap gelas yang mudah pecah olehnya.

Mino duduk di samping  Sun, lalu mulai menyalakan televisi. Suasana ruangan itu sesaat hening, hanya terdengar suara dari televisi. Sun yang merasa bosan menyandarkan punggungnya di sofa. Matanya mencoba terpejam sementara tangannya mengelus-elus perutnya, Mino semakin mencuekkannya dengan acara televisi. “Husky….,” Sun berucap lirih. Sepertinya suaranya masih kalah dengan bunyi-bunyian dari  TV, Mino masih saja asyik menatap layar. Sun menghela nafas, kenapa akhir-akhir ini susah untuk mengajaknya? pikir Sun.

“Husky,” kali ini Sun menyenggol lengan Mino dan sukses membuat Mino menoleh ke arahnya,”Mworago?”

Sun menampakkan senyumnya yang paling manis untuk menjawab pertanyaan itu dan wajahnya yang memerah membuat Mino terkekeh,”Ada apa denganmu, Baby?”

Sun cemberut seketika, “Husky…., aku sangat merindukanmu pagi ini,” rujuk Sun manja. “Aku juga rindu, sini ku peluk!” Mino meraih tubuh Sun ke pelukannya, tapi kemudian perhatiannya terpusat ke TV lagi. Sun semakin frustasi dibuatnya,”Apa kau hanya mau menonton TV saja di waktu liburmu?”

“Hm?” Mino mulai memandang wajah istrinya.”Baiklah, aku akan memasakkan sesuatu untukmu,” ucap Mino kemudian. Sun menggeleng, dia mendekatkan bibirnya ke telinga Mino lalu berbisik,”Bercinta denganku, ya?”

Mino memandang heran. Sun tidak perduli, perlahan dia mencium bibir padat itu. Tak ada respon sama sekali. Sun tidak puas, merasa hanya mencium tembok, tangannya mulai membuka satu persatu kancing kemeja Mino. Ting tong ! Bel apartemen berbunyi. Mereka menghentikan aksi. Sun menampakkan muka sebal. Mino terkekeh melihat ekspresi istrinya, dalam hati dia bersyukur karena urung melakukan itu, dia merasa tidak tega menyentuh Sun di saat hamil, bahkan sempat kaget melihat keagresifan Sun tadi. Mino membenahi tampilan pakaiannya lalu berdiri untuk membuka pintu depan setelah mengacak-acak rambut Sun yang masih terduduk di sofa dengan mulut manyun.

“Anyeong, Sun-ssi!” sapa si tamu yang tak lain adalah manajernya. “Anyeong!” jawab Sun ketus. Mino tersenyum geli.

“Kenapa kau sadis sekali padaku?” tanya manajer itu.

“Bukan urusanmu!”

“Maafkan dia manajer, kau tahu kan orang hamil itu labil emosinya?” Mino yang sudah duduk kembali di tempatnya membela sambil mengelus sayang perut Sun. Manajer itu mengangguk. Dia segera menyodorkan amplop coklat yang sedari tadi dibawanya, “Tawaran baru untukmu, Sun.”

“Mwo?” mata Sun langsung membulat ketika menyamber file-file itu. Manajer itu manggut-manggut sambil menggaruk-garuk dagu,”Selama tiga bulan ini aku mencari job buatmu, ternyata tawaran ini datang sendiri ke manajemen.”

Sun menelusuri kata perkata dalam kertas itu,”Tidak akan ada pembayaran denda jika aku punya anak, kan?”  Terus terang Sun masih belum pulih dari kebangkrutan. Mino akhirnya mengambilalih kertas-kertas itu dan mulai membaca.

“Tentu tidak, Sun-si. Seperti yang kalian baca, kau akan menjadi MC acara talkshow seputar ibu, bayi dan balita. Sponsor tunggal acara ini adalah toko perlengkapan bayi ‘Mom & Baby Shop’, memang honornya tidak besar dan hanya ditayangkan oleh stasiun TV daerah, sih. Penayangan dua hari dalam seminggu dan kau harus syuting empat hari dalam satu minggu. Mengingat kau tidak sibuk akhir-akhir ini, aku rasa jadwal itu tidak begitu memberatkanmu.”

“Aku terima!”

Mino melirik Sun. Sejak pertama kehamilannya baru sekarang Sun seantusias ini dan Mino bahagia karenanya. “Ada partner kerja dalam proyek ini, Manajer?” sekali lagi Sun mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

“Ne, ada dr. Kang sebagai narasumbaer.”

“Dr. Kang spesialis Obgyn?”

“Ne, dan dokter Su sebagai spesialis anak, seperti yang kubilang tadi, ini sesuai dengan tema talkshow.”

“Itu bagus, Baby. Kau bisa menimba ilmu dari mereka nantinya,” Mino menepuk-nepuk punggung tangan Sun. Sun mengulum senyum. Dia membisikkan sesuatu pada Mino yang membuat wajah suaminya itu langsung memerah seperti tomat. Manajer jadi cengoh melihat perubahan wajah itu.

“Aku terima, Manajer. Kapan tanda tangan kontraknya?”  Sun sudah tidak sabar agar tamunya itu segera pergi. Kenapa, ya? Mino jadi gugup dan menundukkan pandangan ke file-file itu lagi.

“Kira-kira besok pagi, jam sembilan dan kau juga bisa langsung bertemu dengan dr. Kang dan dr. Su.” Manajer itu meminta kembali file-file itu dari tangan Mino.”Baiklah, aku pulang sekarang. Jangan lupa besok, Sun-si.”

“Ne,” jawaban Sun mengantarkan kepergian manajernya. Mino langsung ngeloyor ke dapur setelah mengunci pintu depan. Sun langsung protes,”Husky….”

“Mworago?” Mino sudah sibuk mengeluarkan bahan-bahan untuk kimbab dari dalam kulkas. Sun menghampirinya dan memasukkan semuanya dalam kulkas, lagi? Mino jadi  garuk-garuk kepala.

“Aku belum lapar, Husky. Kita lanjutkan lagi yang tadi, ya?”

Mino mendelik dengan wajah kepiting rebusnya,”Baby…., aku kasihan dengan anak kita, kau tidak memikirkan dia?”

“Aku kan sudah bilang tidak apa-apa. Aku sudah mengkonsultasikan dengan dr. Kang.”

“Tapi aku-nya yang tidak tega,” tegas Mino. Sun mulai ngambek. Dia memasuki kamar dan membanting pintunya keras-keras. Mino menghela nafas. Akhir-akhir ini gairah Sun tidak bisa dibendung, dan mungkin ini yang paling puncak jika sampai ngambek begitu. Memang selama tiga bulan terakhir Mino menahan diri untuk tidak menyentuhnya, takut terjadi apa-apa pada kandungannya. Apa benar semuanya aman jika melakukannya di saat ini? Mino jadi bertanya-tanya. Bunyi HP membuyarkan lamunannya, dengan segera dia mengangkat dan memperhatikan perkataan lawan bicaranya di telephone. Lengkungan senyum mulai terbentuk di wajahnya,”Sudah saya bilang kalau saya tertarik, lakukan saja apa yang diperlukan, saya ingin semuanya siap sebelum istriku melahirkan.”

Mino menutup telephon dengan perasaan lega. Kini tinggal bagaimana caranya menenangkan wanita hamil yang sedang ngambek di dalam kamar. Mino terkekeh lalu menghampiri Sun di kamarnya. Tampak Sun sedang berbaring di ranjang dengan bantal menutupi wajahnya.

“Baby… , kita makan di luar, yuk! Ada restoran baru yang direkomendasikan Bumie.”

Sun tidak bergeming. Mino mendekati Sun, lalu duduk di tepi ranjang,”Atau kita ke rumah Appamu? Ku dengar Noona juga ada di sana siang ini.”

“Baby, kau tidur?” Mino mengangkat bantal dari Sun dan terlihat wajah Sun yang begitu sedih dengan kedua mata yang membengkak. Mino jadi serba salah,”Baby, kau kenapa? Apa yang sakit?”

Tangisan Sun semakin menjadi saja, Mino pun semakin bingung. Sun bangkit dari tidur sambil memegangi perutnya,”Hu hu hu, Aku tahu kalau aku… aku tidak menarik lagi, karena itu kau menolakku!…. Huh u hu…..!”

Aish, kok jadi begini? Bukan begitu maksudnya, Mino jadi pusing dengan jalan pikiran Sun.

“Kau… kau lebih sayang pada anak ini daripadaku!”

Bagus! Sejak kapan ada Ibu yang cemburu pada anaknya yang sedang dikandung? Mino jadi bingung antara geli atau prihatin melihat Sun sekarang. Mino pun memeluk Sun yang masih terisak,” Kau salah, Baby. Sampai kapan pun aku akan menyayangimu. Saranghae, istriku.”

Sun melepaskan diri dari pelukan Mino. Pandangannya mengarah pada mata Mino, berusaha mencari kepastian di sana,”Ceongmal?”

“Ne…” jawab Mino sambil tersenyum maut. Sun memanyunkan bibirnya,”Buktikan kalau begitu!”

“Mwo?”

“Buktikan sekarang, Husky,” sekali lagi Sun menantang dengan pandangan sayu. Mino menjadi serba salah. Ragu-ragu dia mendekatkan wajahnya kepada Sun. Sun menutup matanya dan bisa mendengar dengan jelas detak jantung Mino yang memburu. Detik berikutnya bibir padat itu telah menempel erat di bibir mungilnya.

—— > * < ——

Acara talkshow yang dipandu oleh Sun mendapat sambutan hangat dari public korea. Acara tersebut memang dinilai sarat dengan pendidikan terutama bagi ibu-ibu muda. Rating terus melonjak dan Sun yang juga didaulat menjadi duta dari sponsor tunggal acara ini, Mom & Baby Shop, mulai menampakkan sinar bintangnya kembali, selain itu dia juga bisa menghemat uang untuk membeli perlengkapan bayi karena toko itu mensuplai semua kebutuhan calon bayinya. Hal ini sempat membuahkan protes dari Mino karena apartemen mereka jadi semakin penuh saja, terlebih-lebih Mino memang sudah mempersiapkan semua perlengkapan bayi jauh sebelum toko itu mensuplay.

Sinar Sun semakin terang saat acara itu diambil alih stasiun televisi nasional, sponsor lain terus berdatangan mendukung, honor Sun meroket, dan puncaknya adalah saat kehamilannya masuk sembilan bulan, dia memenangkan penghargaan insan pertelevisian kategori pembawa acara terbaik. Sun menghadiri acara penghargaan itu dengan perut yang sangat buncit walau gaun hitamnya berusaha memberi kesan langsing di tubuhnya. Dia agak kerepotan saat berjalan ke panggung untuk menerima kemenangannya hingga harus dipapah oleh Mino. Berjuta-juta mata menyaksikan kemesraan mereka berdua dengan haru, mereka memuji segala perhatian Mino pada istrinya yang sedang mengandung.

Selepas dari acara, pasangan suami-istri itu pun pulang. Sun masih saja menimang-nimang sayang piala kemenangannya saat mereka di dalam lift, sesekali dia menggerak-gerakkan benda itu di depan Mino. Mino tersenyum melihat tingkah istrinya. Sun memang sedang memamerkan keberhasilan di depannya. Perhatian Mino akhirnya buyar saat HPnya berbunyi,”Yoboseyo?”

Sun agak mencondongkan telinganya, dia juga ingin mendengar  percakapan Mino, tapi tak satu pun yang berhasil dia tangkap. Mino terkekeh dibuatnya walau telinganya masih mendengarkan kata-kata di telephon. “Oke, gomawo jika semua telah siap. Besok kami ke sana,” kalimat itu mengakhiri percakapan telephone.

“Mwo? Kami?” tanya Sun heran. Mino tertawa, dia merangkul Sun sementara lift sudah menginjak ke lantai yang mereka tuju,”Ayo segera masuk, Baby.”

Mino segera membuka pintu. Dan….”SURPRISE!!!!” teriakan dari dalam terdengar sangat meriah. Sun terkejut, rupanya Mr. Goo, B-lady, dan Mrs. Lee sudah menyiapkan pesta kejutan untuknya. “Chukae, Sunny!” Mr. Goo mengacungkan jempol ke arahnya.

“Appa…, gomawo,” Sun menghambur ke pelukan ayahnya. Mino jadi ngeri melihat Sun, “Hati-hati, Baby. Kau membuatku jantungan dengan lari-lari seperti itu!” Mr. Goo hanya tertawa dengan tingkah mereka.

“Hai, kau hanya merindukan Appa?” B-lady protes. Sun melepas pelukan ayahnya lalu beralih memeluk B-lady,”Oemma, Bogosipho…”

“Sudah, sudah, sekarang ayo kita makan, jangan sampai masakan itu terlanjur dingin,” sela Mrs. Lee.

“Kacha!” seru Sun bersemangat, dia memang yang paling lapar sekarang ini, janin di perutnya sudah menendang-nendang dari tadi. Sebentar saja mereka sudah duduk mengelilingi meja makan. Tanpa menunggu lama, Sun mulai lahap. “Ini untukmu, Sunny,” Mr. Goo menyodorkan kimchi ke mulut Sun. dan segera dilahap oleh Sun. B-lady mencubit lengan suaminya keras.

“Arch! Apa salahku?” teriak Mr. Goo kesakitan. Semua menoleh ke arahnya.

“Kau pikir Sun masih kecil hingga kau perlakukan seperti itu? Dia istri orang sekarang!” jawab B-lady.

“Bo? Memang apa salahnya, dia masih tetap gadis kecil bagiku,” Mr. Goo masih tidak terima.

“Oemma… ,  tidak apa-apa, aku senang dimanja Appa.”

Mrs Lee tersenyum,”Mino, kau pasti tidak perhatian pada istrimu hingga dia jadi seperti ini.”

“Mwo?” kali ini Mino jadi gelagapan, emang apa hubungannya coba? Sudah dari sononya Sun selalu manja kalau di depan Ayahnya kok aku yang disalahkan, dalam hati dia protes.

“Appa, Oemma, malam ini menginap di sini, ya? Aku ingin tidur bertiga sama kalian seperti dulu.”

Mino jadi tersedak mendengar permintaan Sun. Susah payah dia melancarkan kerongkongannya dengan air. Tidur bertiga? Yang benar saja? Lalu aku? Aish…!

“Jangan begitu, Sunny. Kau seorang istri sekarang, Sudah pasti kau harus tidur dengan Mino-ssi.”

Tepat sekali jawabanmu, Appa mertua. Aku bisa insomnia jika tidur tanpa istri mungilku. Mino merasa lega.

“Tapi Appa dan Oemma tetap harus menginap, Sun masih rindu.”

“Kabulkan saja permintaannya Tuan Goo. Mungkin Sun memang sangat merindukan kalian,” kali ini Mrs. Lee yang meminta. “Ne,” Mr. Goo mengangguk. Sun meloncat-loncat di kursinya sambil bertepuk tangan. “Baby!” Mino yang kawatir mendelik ke arahnya.

—— > * < ——

Sun terbangun dari tidurnya. Perutnya tiba-tiba melilit. Di sampingnya, Mino terlelap. Sun segera memindahkan tangan Mino dari tubuhnya lalu berjalan menuju kamar mandi. Agak tertatih Sun berjalan, dia agak menegakkan tubuhnya, tangan kirinya menyangga perut sedang tangan kanannya memijat-mijat tulang belakangnya. Entah kenapa serasa ngilu di bagian itu. Sun agak mengaduh saat tendangan kuat dilakukan bayi di dalam kandungannya. Rasa ngilu di bagian punggungnya semakin menjadi saja, seakan mau patah bagian itu. Sun mengatur pernafasannya. Keringat dingin mulai membasahi seluruh tubuhnya. Kedua kakinya semakin gemetaran hingga akhirnya dia bersimpuh di salah satu pojok dinding kamar mandi. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat menahan sakit,”Min… Min-a…”pangil Sun lemah. Suara itu terlalu pelan, Mino yang terlalu lelap tidak mendengarnya.

Sun merangkak menggapai botol sabun cair, rasa nyeri semakin melebar di rahim. Dia bisa merasakan kepala bayinya semakin menekan kebawah. Saat botol itu sampai di dekatnya, dia berusaha meraih botol itu tapi malang karena botol beling itu akhirnya jatuh dan menimbulkan bunyi pecahan yang nyaring. Mino terbangun mendengar bunyi benda yang pecah dan setengah sadar dia menuju ke sumber suara.” Baby!!!” pekik Mino.

“Min…, Min… Huft… Huft… dia akan… lahir… huft…”

“Ada apa?” Mr. Goo dan B-lady yang mendengar teriakan Mino menghambur ke kamar mandi. B-lady mendekati putrinya,”Siapkan mobil, Goo!” perintah B-lady. Mr. Goo segera melakukan perintah istrinya.  Mino  mulai mengangkat tubuh Sun untuk dibawa ke dalam mobil.

“Tunggu..!” cegah Sun diantara sesak nafasnya,”Tas itu…. Tas pink…. Di …. Huft huft…,” Sun menunjuk arah lemari. B-lady segera mengambil tas yang dimaksud. Mino menggendong Sun menuju mobil yang dipersiapkan Mr. Goo di depan gedung apartemen.

Mobil keluarga Goo akhirnya melaju. B-lady duduk di samping suaminya yang sedang mengemudi, melihat ke kursi belakang dengan cemas. Di situ tampak putrinya yang berjuang menahan rasa sakit dan menantunya yang berusaha menenangkan walau tampangnya terlihat panik. Sun menggenggam erat tangan kokoh Mino untuk melawan rasa sakit di sekujur rahim dan pinggangnya, sementara nafasnya tersenggal-senggal, dia berusaha agar tidak mengejan, dia yakin ini belum saatnya. Kepala bayi itu serasa makin mendesak ke bawah saja.  Hingga akhirnya darah segar keluar dari rahimnya dan merembes keluar piyama putihnya. Mino semakin  panik,” Percepat mobilnya, Aboji!”

B-lady gelisah. Mino mencium kening Sun dalam, “Tahan, Baby. Tahan….”

Mobil itu berhenti di sebuah rumah sakit terdekat. B-Lady segera memanggil suster untuk menolong Sun. Dalam sekejap Sun sudah terbaring di ruang bersalin dan Mino masih setia di sampingnya. Para tenaga medis dengan sigap membuka semua bajunya, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut. Salah seorang suster tampak mengamati bagian bawah tubuhnya. Darah segar sudah mengalir dari rahim Sun. Suster itu terkejut, dia mendekati dokter yang masih memeriksa tanda-tanda vital Sun lalu berbisik,”Pembukaan sempurna, dok.”

Dokter mengangguk. Suster itu kembali ke bagian bawah tubuh Sun, dia membuat sedikit sayatan di situ. Sementara Sun masih sibuk mengatur jalan nafasnya, posisi tangan kanannya masih menggenggam tangan Mino, sesekali dia meremas tangan kokoh itu jika rasa sakit tak tertahankan. Dokter itu berbisik kepadanya, “Anda sangat cerdas, Nyonya Lee. Sekarang lah saatnya. Ikuti aba-aba saya.”

Mino melongo mendengar ucapan dokter. Sun mengangguk tanda mengerti.

“Tarik nafas.”

Sun menarik nafasnya pelan-pelan.

“Dorong!”

Seiring aba-aba itu, Sun mulai mengejan. Dia mengerang kesakitan dan tangan kanannya semakin meremas telapak tangan Mino. Mino bisa ikut merasakan kesakitan Sun lewat tangannya yang tergenggan erat oleh Sun.

“Jangan menjerit, Nyonya. Itu akan membuat nafasmu pendek!” cegah dokter itu. Sun mengangguk, masih mengatur nafasnya. Mino memejamkan mata, dia tak tega melihat Sun. Baby, berjuanglah, aku mohon selamatkan anak istriku, Tuhan…..

“Baik, kita coba lagi, Tarik nafas…. Dorong !”

Sun mendorong lagi, kali ini tanpa erangan. Diantara tarikan nafas dan dorongan yang dilakukan, Sun mengatur nafasnya. Hal itu dia lakukan terus hingga akhirnya bayi merah berhasil keluar dan tangisnya yang keras memenuhi ruangan. Suster yang bertugas di bawah Sun segera memotong ari-ari bayi itu dan menyerahkannya pada dokter. Sementara suster lain mengambil alih dengan segera membersihkan bagian bawah Sun. Dokter membersihkan tubuh bayi, mengikat tali pusatnya dan meneteskan larutan  di mata sang bayi lalu menempatkannya di antara perut dan dada Sun dalam posisi menelungkup.

Sun menangis haru.  Kesakitan yang barusan dialami lenyap sudah saat makhluk mungil itu berada di atasnya.  Dia bisa merasakan jantung bayinya berdetak, bersahutan dengan detak jantungnya. Mino yang tidak mempercayai pemandangan indah di depannya tertawa bahagia, sementara air mata keluar dari kedua pelupuk matanya. Bayi itu berhenti menangis saat suhu hangat tubuh sang ibu sudah menjalar ke tubuh kecilnya. Dia berusaha mencari puting Sun dengan mulutnya. Kepalanya bergerak-gerak, sementara mulut mungil itu menjilat-jilat dada Sun. Saat bayi mungil itu menemukan puting susu Sun, dia mulai menghisap ASI Sun. Mino terkesima. “Ajaib, bukan?” tanya dokter itu.

“Ne,” jawab Mino. Matanya belum lepas dari sang bayi.

“ASI yang keluar pertama kali banyak mengandung Colustrum yang baik untuk system imun, dan itu hanya didapat sesaat bayi lahir. Dan anehnya bayi yang baru lahir bisa menemukan puting susu ibunya dengan cepat tanpa diarahkan, suhu tubuh  ibu adalah penghangat tepat yang bisa menghentikan tangisnya,” jelas dokter itu panjang lebar. “Untuk sementara biarkan dia menyusu, Tuan Lee. Sampai dia melepaskan putingnya.”

Mino mengangguk. Dokter itu menutupkan selimut di dada Sun lalu melanjutkan tugasnya lagi. Mino mencium kening Sun lalu membisikkan doa-doa di telinga bayi mungil itu.

——– > * < ———

Pagi ini Sun sudah bisa pulang dari rumah sakit. Sun keluar dari pintu belakang rumah sakit karena press sudah berjejal di depan. Mino bahkan harus memakai mobil baru Kakaknya untuk menjemput Sun. Dia ingin melindungi bayi mungilnya dari paparan press. Putriku bukan  bahan konsumsi media, begitu pikirnya. Dia mengendarai mobil itu dengan hati-hati, bukan takut mobil pinjaman itu tergores, tapi ingin membuat dua penumpangnya yang tersayang merasa nyaman di dalam mobil. Pangkuan Sun kini tidak kosong lagi. Di situ putrinya terbaring, dalam balutan selimut pink yang sudah lama dipersiapkan Mino di tas pink dalam almari yang ditunjuk saat merasa mulas. Bayi didekapannya bergerak-gerak. Waktunya menyusu sekarang, tangisan keras pun terdengar. Cepat-cepat Sun membuka kemejanya dan mulai menyusui. Mino yang sedang mengemudi melirik kepadanya. Sun memandangi bayinya, sambil sesekali membelai sayang pipi montoknya,” Min-a, kau sudah mempersiapkan nama untuk putri kita?”

Mino tersenyum, “Tentu, dari dulu aku ingin anak perempuan, dan sudah pasti ku persiapkan nama itu sudah lama.”

“Kenapa tidak mengatakan padaku dari dulu?”

“Kau-nya yang tidak tanya,” Mino mencolek dagu Sun. “Hye Na, namanya Lee Hye Na.”

“Lee Hye Na?”

“Ne. Kau setuju?”

“Tentu, nama itu terdengar manis.” Sun menutupi dadanya dengan syal tipis, Hye Na menyusu di dalamnya. Dia tidak mau konsentrasi mengemudi Mino kabur karena terus meliriknya. Dia mulai menyusuri pemandangan luar dan baru menyadari kalau Mino melewati jalan yang tidak biasanya,”Kita mau ke mana, Min-a?”

“Ikut saja,” kini pandangan Mino sudah lurus lagi ke depan. Mobil itu mulai memasuki kawasan elit baru di luar Seoul. Sun semakin heran, tampak di matanya beberapa rumah mewah yang asri  dan Mino menghentikan mobilnya di depan salah satu rumah itu. Mino segera turun dan membukakan pintu di samping Sun,”Turunlah, Baby.”

Sun keluar dari mobil dengan pelan, di gendongannya Hye Na masih menyusu. Sun memandang takjub bangunan di depannya. Sebuah rumah bernuansa hangat dengan halaman yang luas. Rumput di halaman itu sepertinya baru ditanam kemarin sehingga belum merata. Tampak dua bibit pohon palm di kiri kanan jalan masuk rumah itu. Sun memandang wajah Mino dengan penuh tanya.

“Kita masuk sekarang, Baby. Udara luar kurang bagus buat Hye Na.”

Sun mengangguk. Mino memapah Sun untuk memasuki rumah itu. Sun semakin takjub. Matanya yang bulat melebar seketika melihat aksen interior rumah itu yang begitu nyaman dan tampak kekeluargaan, selama di apartemen Mino, dia tidak mendapati aksen itu, yang ada hanya aksen bujangan khas Mino. Sun semakin bertanya-tanya siapa yang memilih warna krem manis buat dinding rumah itu. “Min-a, rumah siapa ini?”

Mino makin menuntun Sun ke ruang keluarga.”Rumah orang-orang dalam foto itu,” Mino menunjuk foto besar yang tergantung di salah satu sisi ruangan itu. Sun melangkah semakin mendekati foto yang dimaksud. Foto pernikahan mereka yang selama ini tergantung di ruang tengah apartemen Mino sudah terpampang di depannya. Sun berbalik ke arah Mino,”De?”

“Ya, ini rumah Kita,” Mino memeluk Sun lembut, takut menggangu Hye Na yang masih menyusu. “Ceongmal?” Sun bertanya dengan mata berbinar. Mino mengangguk,”Hye Na membutuhkan lingkungan yang bagus dan aku rasa apartemen sudah tidak cocok lagi untuk keluarga kita. Sebenarnya rumah ini sudah siap di hari kau menerima penghargaan, aku berencana menunjukkan padamu keesokan harinya, tapi ternyata Hye Na keburu lahir.”

Sun tersenyum. Dia mulai mengerti maksud perkataan  suaminya di lift tempo hari. Mino mencolek dagunya,”Kenapa kau tidak meloncat-loncat, bukankah kau selalu meloncat jika senang?”

“Malu, Min-a,” Sun menunduk dengan wajah semerah tomat,”Aku seorang oemma sekarang.”

“Kenapa musti malu, Sunny!” Mr. Goo muncul tiba-tiba, diikuti B-lady dan Ibu Mino.

“Kalian?” Sun berseru nyaring. Mungkin dia tidak meloncat tapi masih berteriak jika merasa senang. Mino tersenyum geli. “Sini biar ku gendong dia,” pinta Mrs. Lee, tangannya terbuka menyambut Hye Na. “Tapi dia sedang menyusu,” Sun membuka syal di dadanya, di dalam rupanya Hye Na sudah tertidur pulas tanpa dia sadari. Akhirnya Sun menyerahkan Hye Na ke tangan ibu mertuanya dan merapikan tampilan kemejanya.

“Ha! Kau gendong dia selagi tidur, nanti waktu bangun giliran aku yang main dengannya,” celoteh Mr. Goo.

“Ah, crewet, kau. Cepat selesaikan masakanmu, jangan sampai gosong,” B-lady menghalau suaminya kembali ke dapur. Mrs. Lee membawa Hye Na ke kamar bayi di samping kamar Mino dan Sun.

“Oemma mau kemana?” tanya Sun pada B-lady.

“Kau tidak lihat pakaian Oemma? Tentu saja berkebun. Oemma akan menanam mawar di halaman belakang, di samping kolam renang. Kalian istirahat saja di kamar!”

Sun cemberut mengantarkan kepergian Oemmanya,”Rumah ini juga punya kolam renang?” tanyanya pada Mino yang masih berdiri di sampingnya.

“Tentu.”

“Tapi kan kau kurang bisa berenang?”

Mino tertawa terbahak,” Sudah pasti aku bisa lebih banyak berlatih jika di rumah ada kolam renang. Ayo kita lihat kamar kita,” ajak Mino. Sun mengangguk. Mino menggandeng tangannya menuju kamar dan Sun semakin terkesima dengan interior di dalam kamar itu. Mino sengaja menampilkan kembali nuansa kamar Sun di Penthouse-nya dulu yang sudah lama ditinggalkan karena pindah ke apartemen Mino. Semua hal di kamar itu mengingatkannya pada penthousenya. Ranjang itu, meja kecil di sisi kanan dan kiri ranjang, lampu knop, sofa di depan ranjang, almari dinding yang besar,  wall paper pink serta fitur  pintu yang menghubungkan ruangan itu dengan kamar mandi mewah di sebelahnya.

“Kau suka, Baby?” tanya Mino sembari melingkarkan lengannya ke pinggang Sun. Sun mengibaskan tangan Mino dari pinggangnya. “Waeyo?” tanya Mino heran.

“Tunggu program dietku berhasil baru kau boleh melingkarkan lenganmu ke pinggangku.”

Mino ngakak mendengar jawaban Sun. Dia akhirnya memeluk istrinya yang sedang manyun itu,”Kau ada-ada saja, Baby. Aku justru akan melarangmu berdiet, kau masih menyusui, kau harus terus makan makanan yang bergizi.”

“Aku tidak mau tampil jelek di depanmu,” Sun masih saja memprotes. Mino jadi gemas dan akhirnya mencium bibir mungil yang masih manyun itu dengan mesra. Dia mempererat pelukannya kini dagunya berada di atas salah satu pundak Sun,”Kau tetap cantik bagiku, Sunny. Kaulah segalanya bagiku. Sudah ku bilang selamanya ku tak akan melepasmu, Sunny.”

Sun melepaskan diri dari pelukan Mino. “Apa kau bilang tadi?”

“Selamanya tak melepasmu?”

“Kata terakhir?”

“Sunny?”

“Kya! Lee Min Ho… jangan kau panggil aku seperti itu!”

“Aku ingin seperti Appamu yang memanggil Oemmamu dengan panggilan sayang. Masa tetap memanggilmu Cho ding atau Baby di depan Hye Na?” protes Mino panjang lebar.

“Kau boleh memanggilku apa saja, asal jangan Sunny, panggilan itu khusus buat Appa saja.”

“Lalu aku harus memanggilmu apa?”

“Apa saja asal jangan Sunny!” teriak Sun. Mino menutup telinga,”Baik, baik, bagaimana kalau Sunshine?”

Sun mengangguk mantap.”Aku adalah Sunshine bagi Lee Min Hoo. Yiheee!” teriak Sun narsis. Mino ngakak, sekali lagi mereka berpelukan erat. Sementara Mrs. Lee memandangi wajah malaikat Hye Na yang terlelap sambil mendendangkan lagu-lagu dan doa lembut. Mr. Goo masih sibuk dengan masakannya, dan B-Lady mulai menyirami tanah gembur yang sudah mengandung benih mawar yang baru saja dia tanam. Aura kebahagiaan memenuhi suasana rumah itu, juga hati orang-orang di dalamnya. Semoga kedamaian selamanya ada di kehidupan mereka, dan tentu saja bagi kita semua yang membaca kisah ini.

 

———-THE END———-

 

 

BEHIND THE SHINING STAR III (part 1)

(Cerita ini hanya fiksi belaka, kejadian ya syukur, gak kejadian juga gak papa, tapi mudah-mudahan terkabul. Maksa. com)

——-Enjoy This Story!——-

 

“Huek!” Suara dari dalam kamar mandi mulai mengusik tidur Mino. Setengah sadar dia menoleh ke sampingnya. Kosong! Emang harusnya ada siapa? “Huek!” kali ini suara itu sukses membuat Mino sadar sepenuhnya. Dia mulai bangkit dan berjalan ke arah kamar mandi, “Baby, kau di dalam?”

“Ne…,” jawaban dari dalam kamar mandi. Mino mencoba membuka pintu di depannya, ternyata dikunci dari dalam. ”Kau kenapa?” tanyanya sambil masih memutar-mutar ganggang pintu.

“Mual, Min-a.”

Mino mendengus sebal,”Kenapa pintunya musti dikunci?” pikirnya.

“Huek!” suara itu terdengar lagi, bahkan  membuat Mino merasa ngilu juga di perutnya, dengan kesal dia menggedor-gedor  pintu, ”Buka pintunya, Baby. Jangan membuatku panik!”

Pintu itu terbuka setelah terdengar suara aliran air menyiram kloset dan keluarlah wanita mungil yang selama sembilan bulan ini sudah resmi menjadi istrinya. Ya, Hye Sun, wanita yang berarti segalanya baginya itu telah menjadi istrinya. Hal yang sangat membahagiakan untuk seorang Mino. Tapi sepertinya keadaan istrinya itu kurang baik sekarang, wajahnya tampak pucat. “Gwencana?” Mino bertanya sambil memandangi wajah Sun, kedua tangannya sampai memegang pundak Sun kiri dan kanan untuk mendapat kepastian.

“Ne, gwencana,”jawab Sun sambil berusaha melepaskan pegangan tangan Mino dari pundaknya. Dia malah berjalan melewati Mino.  “Mau kemana, Baby?”

“Menyiapkan sarapan, hari ini kan giliranku masak!”

“Antwe! Biar aku saja, kau tidur saja lagi.”

“Tapi…

“Tidak ada tapi, lain kali saja kau memasaknya,” cegah Mino sambil membimbing Sun kembali berbaring ke ranjang. Dia menyelimuti dan segera keluar dari kamar setelah mengecup kening istrinya itu.

Mino segera ke dapur, dia berhenti sebentar saat melewati foto pernikahan yang terpampang di ruang keluarga, tampak olehnya gambar saat mereka menikah. Dia dengan setelan jas warna putih yang serasi dengan gaun berpotongan sederhana yang dikenakan Sun. Pernikahan  mereka memang sederhana dan terkesan buru-buru, hanya dilakukan di kantor catatan sipil, tapi itu saja sudah membuatnya sangat bahagia. Kalau saja dulu dia tidak konyol, melakukan percobaan bunuh diri, mungkin saat ini Sun belum menjadi istrinya. Dia meraba-raba pergelangan tangan kirinya, bekas jahitan itu masih ada. Dia tersenyum, inilah tanda pengikatnya dengan Sun selain cincin pernikahan.

Di dapur, Mino segera menyiapkan segala sesuatunya. Dia memang tidak begitu pintar  memasak, jika gilirannya memasak, dia akan memasak seadanya yang dia bisa, jangan ditanya jika giliran Sun, semua makanan yang terhidang pasti istimewa, agak tidak adil memang, tapi itu sudah kesepakatan mereka yang sama-sama sibuk. Jika salah satunya memasak, yang lain giliran mencuci peralatan dapurnya. Dan seperti hari ini, Mino memutuskan membuat omlet telur dan roti panggang. Mino mengolesi beberapa helai roti tawar dengan mentega, lalu memasukkannya ke mesin pemanggang roti, sambil menanti roti itu matang dia mengkocok telur, suara kocokan itu membuatnya tidak konsen, angannya malah melayang ke kejadian satu bulan yang lalu. Saat itu dia sedang menikmati waktu break di lokasi syuting, ketika tiba-tiba seorang gadis cilik menarik-narik jasnya.

“Mworago?” tanya Mino pada anak kecil itu. Anak itu tidak menjawab, malah cekikikan di depan Mino, matanya yang bulat dan lebar mengerjap-ngerjap seiring anggukkan kepalanya, dan kedua tangan mungil itu berusaha menutupi mulut saat tertawa. Mino terkesima hingga akhirnya dia berjongkok agar wajahnya bisa sejajar dengan wajah anak itu. Dia berusaha mengingat,  mirip siapakah anak ini?

Gadis kecil itu mendekatkan bibirnya ke telinga Mino lalu berbisik,”Kenapa Ajhusi selalu menuruti perintah appa?”

Mino tersenyum,”Karena ayahmu sutradara dan aku aktornya,” jawab Mino asal.

“Hai! Yuri! Jangan ganggu Mino-ssi!” sang sutradara sekaligus ayah anak itu memperingatkan. Setengah berlari dia menghampiri mereka berdua,”Miane, Mino-ssi, dia tidak mengganggumu, kan?”

“Tidak,” jawab Mino masih berjongkok sambil memandangi Yuri.

“Lalu kenapa kau memandanginya seperti itu?” tanya sutradara itu lagi. Yuri masih saja cekikikan, mungkin dia merasa malu diperhatikan Mino seperti itu, tampak dari mukanya yang memerah tapi berusaha menutupinya dengan tawanya. Mino semakin terkesima dibuatnya.

“Oh, Aku tahu sekarang!” tebak sang sutradara,”Kau pasti melihat tingkah Yuri mirip dengan Sun-ssi, kan?”

“B….Bo?” Mino gelagapan,”Kau… kau benar, tadi aku berusaha mengingat mirip siapa dia, ha ha ha ha, ternyata mirip istri sendiri.” Mino berdiri dan mulai menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.”Tapi… tapi bagaimana bisa?”

“Ha… itu karena wabah BOF beberapa tahun yang lalu, istriku yang lagi mengandung Yuri tergila-gila pada Geum Jandi, setelah lahir tak tahunya wajah dan tingkah laku Yuri sangat mirip dengan Sun. Aku saja juga heran.”

Mino manggut-manggut, tiba-tiba terlintas sesuatu di benaknya,”Sutradara, boleh ya, aku bawa Yuri pulang? Aku mau tunjukkan dia ke Sun.”

“Enak saja! Emangnya anakku itu mainan? Kenapa kalian tidak buat sendiri?”

“Mwo? Buat sendiri?”

“Ne! Kalian kan sudah delapan bulan menikah, buat anak yang mirip dengan Sun, jangan bawa-bawa Yuri segala!”

Mino terkekeh kecil mengingat perkataan sutradara itu, ada-ada saja.

“Eh hem, rotinya sudah matang, tuh!” Sun yang sudah berdiri di depannya membuyarkan lamunannya.

“Baby? Kau sudah cantik? Tapi bukankah kau seharusnya tidur saja?” Mino sumringah melihat keadaan Sun sekarang, sangat berubah seratus delapan puluh derajat dari waktu bangun tidur tadi.

“Ne. Aku merasa kalau akan lebih segar setelah mandi. Sini biar aku yang buat omlet!” Sun mengambil alih adonan omlet dari tangan Mino. “Kau duduk-duduk saja di ruang makan!”

“Ne…”Mino menuruti perintah Sun. Dia segera ngeloyor, duduk di depan meja makan lalu mulai membuka Koran pagi, hal pertama yang dia baca adalah bursa saham, Mino memang menginvestasikan sebagian uangnya untuk  saham dan obligasi, walau pun dia tidak bisa mengurusnya sendiri, ada pialang kepercayaan yang membantunya. Dunia entertainment tidak selamanya bersinar di pihaknya, dia harus mempersiapkan segala sesuatunya sebelum sinar itu meredup, bisa dibilang saham-saham, deposito dan obligasi itu adalah payung, ya… sedia payung sebelum hujan, karena masih banyak rencana yang ingin dia lakukan bersama Sun. Dia tidak mau kalah dengan Sun, istrinya itu sudah mengawali bisnisnya terlebih dahulu, bahkan mulai dari sebelum mereka menikah, dan galeri café  yang didirikan Sun telah berkembang.

Sun meletakkan sepiring roti omlet di depan suaminya yang terbengong itu,”Melamun lagi… kenapa sih akhir-akhir ini kau sering melamun?”

Mino kaget, meja di depannya sudah siap dengan hidangan, ternyata sudah lama dia melamun. Sun menuangkan susu ke gelasnya, dan hal itu praktis membuat Mino ngakak, ”Kau menyuruhku minum susu, Baby?”

“Ne, memangnya kenapa?” tanya Sun menantang.

“Kau anggap aku anak kecil, ha ha ha!”

Sun menghela nafas. Dia mengibaskan napkin di depan Mino lalu meletakkannya di pangkuan suaminya itu,”Nikmati saja yang tersedia, ini cukup membuatmu kenyang sampai makan siang.”

“Kau mau membuatku gemuk, ya?”

Sun mendelik,”Tidak! Aku hanya tak mau kau makan snack sembarangan di lokasi syuting!” Sun menuangkan orange juice di gelasnya sendiri. “Bo! Kenapa kau  malah minum jus? Tidak adil!” protes Mino.

“Aku mual, Min-a! Kalau minum susu nanti tambah mual!”

“Ah…! Sini kau!” Mino menarik tubuh Sun hingga tubuh mungil itu mendarat di pangkuannya. Sun sudah pasti meronta tapi Mino malah mempererat pelukannya. Diciuminya tengkuk Sun sambil menggelitikki pinggangnya hingga membuat Sun geli dan cekikikan.

“Hm…Baby.” panggil Mino setelah puas menggelitiki Sun.”Kalau nanti kita punya anak, kira-kira seperti apa ya?”

“Mwo? Anak?” Sun yang masih duduk di pangkuan Mino memandang wajahnya.

“Ne! Aku ingin anak perempuan yang putih dan bermata lebar mirip sepertimu,” jawab Mino. Sekali lagi dia mempererat pelukannya,”Kau sendiri? Kau ingin anak seperti apa, Baby?”

“Aku? Aku ingin punya anak laki-laki yang mirip Brad Pit, dengan rambut pirang, mata biru dan lesung pipit, dia pasti akan tampan nantinya, he he he.” Jawaban itu sukses membuat Mino kesal,”Mana mungkin! Kau orang korea, aku juga korea, memangnya kau mau selingkuh sama Brad Pit? Awas kalau kau berani!”

Sun tertawa melihat ekspresi Mino, tentu saja dengan tangan yang menutupi bibir,”Iya, iya… aku ingin punya anak laki-laki yang jangkung, tampan, berhidung mancung dan senyuman yang menawan sepertimu.” Sun segera mengunci wajah Mino dan mencium bibirnya, Mino yang kaget akhirnya agak mengendorkan pelukannya dan hal ini tidak disia-siakan Sun untuk bangkit dari pangkuan Mino dan duduk di kursinya sendiri.

“Yah… yah… kau curang!”

Sun tertawa geli,”Segera makan! Kita tidak punya waktu lagi. Kau sendiri belum mandi, kan?” Mino mendengus, bibirnya tampak maju beberapa senti. Dengan malas dia mulai melahap hidangan di depannya. Sun tambah geli melihat tingkahnya. Tapi tiba-tiba sesuatu melintas di pikiran Sun, dan kata-kata Mino barusan mengenai anak, makin membuat Sun merasa tidak nafsu makan, alhasil roti omlet di piringnya itu hanya di acak-acak saja, “Hm.., Min-a.”

“Ne?” Mino sudah menghabiskan sarapannya.

“Apa kau benar-benar menginginkan anak di saat-saat ini?”

“Tentu saja, Baby. Kita kan sudah sembilan bulan menikah, anak adalah hadiah terindah bagiku, Baby,” jawab Mino antusias. Sun hanya tersenyum kecut. Sebulan terakhir ini Mino memang sering mengoceh tentang anak, dan Sun sudah sebulan pula berhenti mengkonsumsi pil kontrasepsi karena perintahnya, tapi entah kenapa masih ada ganjalan di benak Sun dan dia tidak berani mengatakannya pada Mino.

Ganjalan-ganjalan itu masih di pikirkan Sun di lokasi pemotretan, alhasil gayanya menjadi sangat kaku, pandangan matanya sering kali kosong, fotrografer mulai frustasi karena harus mencari anggel yang pas. Dia harus memotret berkali-kali, bahkan mengarahkan gaya Sun, tentu saja hal itu membuatnya heran mengingat Sun tidak pernah membutuhkan pengarah gaya di pemotretan-pemotretan sebelumnya. Dan akhirnya manajer Sun turun tangan membela artisnya itu,”Fotografer, jangan terlalu keras pada Sun.”

Fotografer itu mendengus. Manajer menoleh ke arah Sun yang kali ini sedang mengkipas-kipaskan tangan karena kepanasan.”Kau sudah memotretnya lebih dari tiga puluh kali, dan ku lihat kau hanya butuh lima foto saja di kostum itu, kenapa tidak kau pilih saja mana yang paling cocok dan agak memperindahnya dengan photoshop?”

“Oke, akan ku lakukan, kita istirahat dulu, lalu kita lanjutkan ke kostum berikutnya.”

“Sip! Istirahat dulu, Sun-ssi!” teriak manajer ke arah Sun. Sun mengacungkan jempolnya lalu pergi ke kamar riasnya. Manajer itu mengekor di belakang.

“Kenapa kau tidak konsentrasi pagi ini?” tanya manajer saat mereka sudah berada di kamar rias dan Sun sudah merebahkan diri di sofa, meluruskan punggung.

“Sudahlah, Ajhuma, bacakan saja agendaku hari ini!” perintah Sun.

“Araso! Pemotretan akan berakhir jam dua belas, setelah itu kau ke rumah appamu untuk memasak sampai jam dua, jam dua sampai jam tiga, kau mengisi acara di sebuah radio swasta, jam tiga sampai jam lima, ada FM terkait dirimu sebagai endorstment merk notebook…

“Ajhuma…,” potong Sun.”Apa yang terjadi jika aku membuat kontrak-kontrak itu batal?”

Manajer terkejut,”Tentu saja kau harus membayar ganti rugi seperti yang tertera di kontrak. Tunggu!” Manajer itu menghentikan omongannya. Dia mengira-ira kerugian yang harus dibayar artisnya tapi juga bertanya-tanya apa maksud pertanyaan Sun,”O…o…No! Jangan berbuat yang aneh-aneh, Sun-ssi. Kau sudah hampir bangkrut karena ganti rugi kontrak yang batal ketika menikah dulu. Apa pun itu, tunda dulu, atau kau benar-benar bangkrut.”

Penjelasan manajernya itu membuat Sun semakin serba salah. Ketika Sun menikahi Mino dulu, beberapa kontrak yang ada di tangannya otomatis batal dan harus membayar ganti rugi karena persyaratan di dalamnya adalah tidak menikah selama menjalani kontrak. Dan memang dia hampir bangkrut pada waktu itu jika tidak ada pendapatan dari Manolin. Mino juga mengalami hal itu walau tidak separah dirinya. Dan jika dia berbuat sesuatu lagi sekarang, tentu saja dia akan kehilangan lebih banyak lagi, padahal tabungannya sudah habis, yang ada hanya keuntungan dari Manolin, dan dia sudah berjanji untuk memakainya demi perkembangan Manolin, bukan untuk yang lain. Mino memang memberinya uang, bahkan menyerahkan seluruh pendapatan padanya untuk diaturnya, tapi dia enggan juga menggunakan uang itu. Itu uang untuk kepentingan bersama, bukan uang pribadi.

Sun masih saja memikirkan penjelasan manajernya saat memasak untuk appanya. Seperti yang sudah dibacakan oleh manajernya tadi, hari ini dia harus memasak karena oemmanya ada acara di desa Jeju. Jadilah sekarang Sun di sini, memasak sambil sesekali melamun.

“Hm… Hm..”Mr. Goo yang baru tiba berusaha menyadarkan lamunan Sun. Sun terkaget,”Appa? Sudah pulang?”

“Ne!” jawab Mr. Goo riang,”Jangan melamun saja, untung masakanmu tidak gosong.”

Sun terkekeh,”Appa makan saja sekarang, makanan sudah ku siapkan di ruang makan, Sun mau menyelesaikan Sup ini dulu.”

“Hm, Appa makan di sini saja, biar bisa sekalian ngobrol denganmu.”

“Ceongmal? Kalau begitu biar Sun bawa kemari lagi makanannya.”

“Anyi! Biar Appa saja, kau awasi saja masakanmu,” Mr. Goo menjitak kening Sun lembut.

“Maaf, kau jadi repot, Sunny,” kata Mr. Goo setelah duduk manis di bartable dapur dan mulai menyantap makan siangnya.

“Ah, tidak apa-apa,” Sun mengibaskan tangannya. Mr. Goo menyendok sup panas yang baru dihidangkan Sun, lalu menyeruputnya perlahan,”Hm, sedap sekali! Kau buat banyak, kan? Bawalah buat Mino.”

Sun menampakkan lesung pipitnya,”Tentu, Appa.”

“Suamimu itu, bagaimana kabarnya? Sibuk apa dia sekarang?”

“Masih seperti biasanya, Appa,” jawab Sun riang. Mr. Goo berdecak kagum, ”Bilang padanya untuk berkunjung jika tidak sibuk!” Sun mengangguk.

“Kau sendiri? Apa sudah isi, Sunny?”

Sun menggeleng,”Ah, kenapa pagi ini semua menanyakan itu?”

“Ceongmal? Jadi Mino juga menyinggung itu?” Mr. Goo bertanya dengan mata membelalak. Sun mengangguk. Mr. Goo terbahak dibuatnya,”Rupanya Mino sudah sangat menginginkan anak darimu, Sunny!”

Sun tersenyum agak dipaksakan. Dia semakin teringat dengan ganjalan hatinya itu, “Appa…”

“Ne?” Mr. Goo berhenti tertawa saat mendengar panggilan Sun. Sun mulai meremas-remas tangannya, dia ragu antara mengutarakan niatnya atau tidak.” Apa…. Apa… Apa Appa punya uang?”

“Mwo? Uang? Sudah pasti ada, memangnya kau butuh uang?”

“Bukan begitu, Appa, maksud, Sun… Jika suatu saat Sun butuh uang, bisakah Sun meminjamnya dari Appa?”

“Minjam? Jangan kau bilang minjam, tentu saja Appa akan memberikan uang itu secara cuma-cuma, Sunny!”

Sun semakin gusar dan hal itu mampu ditangkap oleh Appanya. “Memangnya kau butuh berapa?” tanya Mr. Goo lembut.

“Banyak…. Sepertinya sangat banyak, Appa.”

“Kontrak-kontrak itu lagi?” tebak Mr. Goo. Sun mengangguk.

“Itukah sebabnya kau menunda kehamilan?” tanya Mr. Goo bijak. Sekali lagi Sun mengangguk, kedua tangannya masih saja saling meremas. Mr. Goo menghela nafas, diraihnya tangan Sun agar tidak saling meremas lagi, lalu ditepuk pelan-pelan,”Kau tenang saja, Appa akan bantu sebisa Appa.”

“Jinja?” Sun menanggapinya dengan riang, ganjalan itu seakan lenyap sudah. Mr. Goo tersenyum mengiyakan,”Sunny… bukankah ini saatnya kau keluar dari dunia entertainment? Kau sudah menikah sekarang, cobalah untuk percayakan hidupmu pada Mino.”

Sun melongo mendengar kalimat Appanya, bisakah? Bisakah dia melakukannya? Sun yang sudah mandiri sejak remaja, menghasilkan uang dari hasil kerjanya sendiri, tiba-tiba harus menyerahkan dirinya, mempercayakan hidup sepenuhnya pada Mino, suaminya? Dan apakah egonya mau menerima hal itu? Sun hanya mengangguk, sementara hatinya masih ragu,”Appa..?”

“Waeyo, Sunny?”

“Jangan ceritakan ini pada Mino, ya…. Please!”

Mr. Goo mencubit hidung Sun,”Apa pun maumu, Sunny. Apa pun.”

——— > *< ———

Siang ini terasa terik, udara musim panas di Seoul memang tak kalah ekstrim. Ibu kota sekaligus pusat bisnis di korea selatan ini memang selalu sibuk dengan suasana yang kurang bersahabat, apalagi untuk Sun yang kembali merasa mual setelah mencium bau kopi yang dia buat untuk Mr. Goo.

Dokter Lu masih sibuk dengan catatan kesehatan Sun, sementara pasien di depannya yang tak lain adalah Sun menunggu dengan penuh tanya. Dokter keturunan Cina itu tersenyum, sesaat tampak manggut-manggut. Sun jadi tambah heran dibuatnya. Beberapa menit yang lalu dia musti menjalani test laboratorium singkat, dan petugas-petugas itu hanya membutuhkan urinnya. Sun curiga, benarkah? Mengingat waktu datang bulannya yang tidak mudah dipegang, dia menepis anggapan itu, bahkan berharap hal itu tidak terjadi.

“Sepertinya saya perlu merujuk anda ke doker kandungan, Nyonya Lee.”

“Maksud anda?”

“Selamat, anda mengandung.” Dr. Lu mengulurkan tangannya. Sun bengong sejenak. Dokter muda itu agak menggerakkan tangan yang terulur untuk menarik respon Sun. “Gamsahamnida,” Sun akhirnya membalas jabat tangan itu.

“Apakah semuanya baik-baik saja, Dokter? Saya agak kawatir karena telah mengkonsumsi Morning after pill selama ini.”

“Oh, obat itu tidak menjadi masalah, Nyonya. Yang saya kawatirkan adalah kebiasaan anda meminum minuman beralkohol, dan sepertinya anda bangga dengan hal itu. Sedapat mungkin hindari minuman itu selama mengandung,” dokter itu menghela nafas,”Untung saja istri saya orang Indonesia, jadi dia tidak bermasalah dengan alkohol.”

Sun jadi geli mendengar curhatan dokter Lu. Istri dr. Lu memang orang Indonesia, mereka bertemu saat dr. Lu jadi relawan pasca gempa Jogja tahun 2006. Bisa dibilang hikmah cinta dibalik bencana. Sun pernah ingin mengangkat kisah ini di filmnya, tapi dr. Lu jelas-jelas tak mau jadi narasumber, alhasil urung juga niat itu.

“Ah, jangan berpikir tentang film itu lagi, Nyonya Lee,” tepat sekali tebakanmu dr. Lu. Memang Sun ingin merayumu lagi akan rencana film itu,”He he he, Mianhamnida, Dokter. Berapa usia kandungan saya ?”

“Kira-kira satu bulan, itulah kenapa saya akan merujuk anda ke bagian obsgyn agar lebih bisa memastikan. Sudah berapa lama anda merasa mual-mual?”

“Baru tadi pagi.”

“Berapa lama anda berhenti mengkonsumsi tablet kontrasepsi?”

“Kira-kira satu bulan lebih.”

“Hm, berarti benar perkiraan saya,” Dokter Lu berpikir sejenak. Dia menuliskan sesuatu di selembar kertas lalu menyerahkan kertas itu pada Sun.”Ini surat rujukan untuk anda, Nyonya Lee. Anda bisa langsung ke Dr. Kang sekarang.”

Hasil pemeriksaan Dr. Kang ternyata sama, Sun positif hamil dan umur kandungannya tiga minggu. Sun terlihat bingung saat harus menunggu obat di apotek. Sesekali tampak dia mengelus-elus perutnya. Di satu sisi dia bahagia akan kehamilannya, tapi di sisi lain angka-angka itu semakin mencekik leher saja jika mengingatnya. Sun menghembuskan nafas kuat-kuat,”Sepertinya aku harus siap bangkrut sekarang.” Dia mulai merogoh tasnya. Hal yang akan dia lakukan adalah menghubungi suaminya, tapi dia agak ragu akan hal itu, hingga dia memutuskan untuk mengirim pesan singkat, “HUSKY, AKU HAMIL”

“Yuhuuu…!” Mino menari-nari tak jelas saat menerima kabar itu. Dia yang memang lagi kosong menunggu giliran syuting langsung tak bisa menahan diri, akibatnya sutradara marah-marah setelah meneriakkan kata,”Cut!”

“Miane. Miane,” Mino membungkukkan badan demi meminta maaf. Dia segera menuju ruang pribadinya lalu menelphon Sun,”Baby, kau di mana?”

“Aku menunggu di klinik rumah sakit.”

“Perlu ku jemput?”

“Anyi, aku sedang menunggu jemputan manajemen.”

Mino tersenyum di balik telephon, ingin rasanya dia memeluk Sun saat ini,”Nanti malam kau langsung tidur saja, Baby. Jangan tunggu aku, kau harus banyak istirahat sekarang.”

“Ne, aku pergi dulu, sudah dijemput.”

“Baik-baik dengan anakku ya, Baby..”

“Ne..,” Sun mengakhiri pembicaraan lalu memasuki mobil van di depannya. Manajernya memandang heran. Sun membuang muka, dia memilih menikmati view luar saat mobil itu melaju. Sementara Mino masih di ruang pribadinya. Kali ini manajernya datang untuk mengantar makan siang,”Kenapa kau senyum-senyum sendiri?”

Senyum Mino jadi tambah lebar, dia segera membuka bungkusan nasi di depannya,”Sun sudah makan belum, ya?” tiba-tiba Mino memikirkan hal itu. Dia lupa menyuruh istrinya itu makan siang di telephone tadi,”Manajer, jam berapa aku bisa pulang ke apartemen?”

“Kira-kira jam sebelas malam, kenapa?”

Mino memajukan bibirnya, dia sudah tak sabar bertemu Sun dan mengelus perutnya.

“IPO melonjak,”kata manajer itu setelah menekuri koran di depannya. Mino menoleh ke arahnya,”Kapan mereka membagikan devident?”

“Kira-kira awal tahun depan, kenapa?”

“Aku ada rencana dengan uang itu, tapi tidak begitu yakin, harus kudiskusikan dengan Sun dulu.” Mino mulai melahap makan siangnya setelah mengingatkan Sun untuk makan siang lewat SMS.

——- < * > ——

Waktu telah menunjuk pukul dua belas malam, saat Mino sampai di apartemennya. Didapatinya Sun sudah tidur di ranjang mereka. Mino memandang wajah pulas itu lekat-lekat, lalu duduk di samping Sun. Digapainya tangan Sun, mencium buku-buku jari lentik itu lalu pandangan matanya terarah pada perut Sun. Mino tersenyum.  Tangan kanannya beralih ke perut Sun sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Sun, lalu dia menundukkan wajahnya dan mencium perut itu lembut. Perlakuan tersebut membuat Sun terbangun,”Sudah pulang?”

“Miane mengganggu tidurmu, Baby,” sesal Mino.

“Gwencana, mau kubuatkan teh hangat?”

“Tidak perlu, aku sudah banyak minum tadi,” Dia mencium kening Sun.”Gomawo, Baby. Ini adalah hadiah terindah bagiku.”

Sun tersenyum. Mino mengecup bibir yang tersenyum itu dengan lembut, “Sekarang kau kembali tidur, ya… Jangan perdulikan lagi suamimu ini. Aku bisa mengurus diri sendiri,” bisiknya di telinga Sun. Sun menutup kembali matanya untuk menuruti perintah Mino padahal pikirannya masih tertuju pada angka-angka itu. “Appa…., aku benar-benar membutuhkan uang itu sekarang….,” bisik hati Sun.

 

Bersambung part 2

Stop Kekerasan!

(Tulisan ini aku buat pada tanggal 23 Agustus 1994, yup… Aku masih kecil waktu itu, gak tahu waktu itu ada moment perang apa, lo gak salah moment perang teluk kali, ya… tapi coba dibandingin ma kondisi Indonesia saat ini, ironis banget, mpe miris aku liat beritanya, mungkin tulisan inilah yang mampu merefleksikan keadaan mereka)

Jalan-jalan penuh kekerasan, tak peduli dunia tlah hampa. Panas oleh matahari yang mengangah, hidup yang serasa hampa tanpa kasih, hidup akan sepi tanpa sayang, udara semakin berasap.

Tangis mereka makin menjadi. Mata-mata bening tanpa dosa memandangi mayat ayah atau ibunya, namun mereka hanya diam.

Mereka tak tahu Ibunya tak kan bangun, mengira ayahnya terlelap dalam tidur. mereka tak kan dapat mengerti walau pun beribu orang menangisi dan memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka terlalu muda untuk menyadari.

Bibir mereka terkatup, tidak berkata namun juga tidak diam.

Inikah dunia? Siapkah kita hadir di dalamnya?

Mayat-mayat bergelimpangan. Tak ada liang tuk berkubur, tak ada kubur tuk diziarahi. Angin berdesir, bau darah tercium, bau bangkai busuk terbang. Mereka tetap duduk bersimpuh dengan bibir terkatup. Tidak berkata, namun juga tidak diam.

PRAHARA CLEOPATRA

CERPEN HADIAH IDUL FITRI UNTUK  ORANG-ORANG YANG KUCINTAI

Pagi yang indah, udara yang segar, suasana menyenangkan yang membuat kedua anak itu riang, bercanda, berkejaran, dan di sana, tak seberapa jauh dari mereka, seorang pria berdiri. Wajah yang bijaksana, sosok tubuh yang tegap, merentangkan ke dua tangannya di muka dan dengan senyum simpatik menyambut diriku yang segera berlari ke arahnya.

Stop!!!…. Stop dreaming, Cleo. Time to get up, now! Ya, ya, aku tahu semua itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini. Rudi, pria yang selama ini ku harapkan jadi sosok dalam mimpi itu, ternyata lebih memilih sepupuku. Sekarang, bagaimana bisa aku tetap memimpikan semua itu?

“Wah sudah bangun, rupanya.”

Nena, teman kuliah yang kuajak ke Jakarta untuk pernikahan Rudi, terkejut melihatku yang tak seperti biasanya karena bangun sebelum alarm berbunyi.

“Jam berapa sekarang?” tanyaku.

“Jam setengah tiga. Wudhu sana!”

Aku segera berwudhu dan mempersiapkan diri untuk sholat tahajud. Keheningan sepertiga malam terakhir menambah khusuk sholat ini. Sesaat kupasrahkan diri di hadapan Ilahi. Dzikir yang mampu menenangkan hati yang bergejolak dan doa yang selalu menjadi hiburanku serta lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang serasa bagai simphoni di telingaku.

Adzan subuh tak jua terdengar. Kuamati suasana sekeliling. Sepi… Beberap orang tidur berdesakan di ruang tengah. Barang-barang perlengkapan pernikahan terlihat terbengkalai di beberapa tempat. Mereka sangat capek dengan kesibukan ini. Kualihkan pandangan  ke pintu kamar Shinta. Pintu kamar itu masih tertutup. Sudah empat hari dia menjalani masa pingitan. Tradisi yang aneh… .

Shinta, saudara sepupuku yang lebih dipilih Rudi sebagai calon istrinya. Semua itu membuatku kecewa. Aku yang lebih dulu tertarik pada Rudi. Seharusnya dulu aku tidak memperkenalkan mereka. Dasar bodoh !

Adzan subuh menyadarkan lamunan. Segera kupenuhi panggilan itu dan melupakan masalah sejenak.

Kesibukan pun berlanjut. Terus terang, aku tidak betah di sini. Rasa iri dan patah hati pada calon pengantin… .

“Hai, kok bengong?” suara dari belakang mengagetkanku. Shinta!

“Kamu kok berani keluar kamar?” tanyaku.

“Suntuk di kamar terus. Eh, kamu lihat Rudi, gak?”

“Rudi? Bukannya kalian tidak boleh ketemu sampai acara pernikahan besok?”

“Aku tahu, tapi…

“Udah deh. Jangan bikin perkara.”

“Tapi, Cleo.”

“Udah sana masuk kamar!”

Shinta menuruti perintahku dengan bibir manyun. Aku muak dengan keadaan ini dimana harus pura-pura baik pada Shinta hanya karena dia sepupuku. Aku tahu, apalah aku dibandingkan Shinta. Kami memang sama-sama cucu nenek dan kakek tapi tetap saja berbeda nasib. Paman Hanafi, Ayah Shinta yang cukup berada, mampu memberikan apa saja untuknya. Sedangkan aku? Mungkin itu yang membuat Rudi berpaling dariku.

“Kau tahu? Semua itu tidak benar,” seorang pria yang tidak kukenal menyelutuk tiba-tiba. Aneh, seolah dia tahu jalan pikiranku. Ku lihat wajah pria itu. Cukup tampan, tapi di mana aku mengenalnya?

“Kau tahu? Jika seseorang telah memutuskan siapakah yang akan mendampinginya, segala sesuatu seperti kecantikan, kekayaan, kedudukan dan status tidak akan masuk hitungan,” lelaki itu menguliahiku dengan kata-kata yang menurutku penuh teori. Mana ada di jaman sekarang yang sarat materialisme masih berlaku hal semacam itu?

“Aku rasa kau sudah terlalu jauh mencampuri urusanku !” Aku bersikap ketus. Dia memang tidak sopan mengingat kami tidak saling kenal.

“Maaf, namaku Levy,” dia menjulurkan tangan. Sekali lagi dia mampu menebak yang ada di benakku. Tak ada yang bisa kulakukan selain membalas niatnya berkenalan.

“Dari mana kamu tahu tentangku?” tanyaku setelah kami cukup akrab.

“Hanya menebak.”

“Menebak?”
“Dari sikapmu.”

“Sikapku? Memangnya sikapku tidak wajar? Atau… terlihat munafik?”

“Tidak,” dia mengibaskan tangannya.”Entahlah, aku cuma tahu. Itu saja.”

Levy segera meninggalkanku setelah menjawab. Aku semakin tidak mengerti. Seseorang bisa tahu isi hati orang lain hanya dengan melihat sikapnya? Ah, mana mungkin?

Akhirnya tiba juga saat itu, saat Shinta dan Rudi menjalani ijab Kabul dan aku yang tidak mampu melihat kebahagiaan mereka. Aku memutuskan untuk keluar dari ruangan yang penuh sesak dengan tamu undangan. Aku menuju ke samping rumah karena di sana terlihat Levy berdiri termenung.

“Assalamu’alaikum,” salamku padanya.

“Walaikumsalam.”

“Aku keluar rumah karena jenuh dengan banyaknya orang di sana,”kataku memulai pembicaraan.”Aku rasa aku butuh udara segar.”

“Jangan munafik. Aku tahu kau keluar karena tidak tahan dengan pernikahan mereka,” Levy menyindir. “Kau lihat rumput ini?”

Levy menunjuk pada rumput yang terbentang di bawah kami.”Kau tahu apa warnanya?”

“Hijau!” jawabku.

“Apa warna rumput di halaman rumahmu di Jogja?”

“Hijau juga?”

“Aku rasa kau sudah tahu maksud pertanyaanku.”

Aku mengangguk. Aku melepaskan sepatu dan menginjakkan kaki telanjang di atas rumput. Rasa dingin menjalar di telapak kaki. Kulihat beberapa tamu memasuki rumah… . Au! Sebuah duri menusuk telapak kakiku. Aku meringis kesakitan. Levi terkejut.

“Tidak, Aku tidak apa-apa, kok. Cuma duri,”kataku sambil memijit-mijit bagian kaki yang terkena duri lalu kukeluarkan duri itu dan mencoba berdiri kembali.

“Sebenarnya kau sudah tahu, kan resikonya sebelum memutuskan untuk mencopot sepatu dan berjalan dengan kaki telanjang di atas rumput?”

Aku mengangguk,”Aku hanya ingin merasakan dinginnya rumput ini di kakiku.”

“Pernahkah kau berpikir bahwa Shinta menikahi Rudi juga dengan resiko?”

“Resiko? Memangnya resiko apa yang harus ditempuh oleh gadis yang menikahi Rudi?”

“Semua pilihan dalam hidup ini penuh resiko, Cleo. Hanya saja kita memutuskan untuk memilih karena manfaatnya yang lebih besar dari rsikonya tapi semua itu tidak membuat resiko itu hilang, bukan?”

“Ah, aku pusing kalau ngobrol sama kamu. Kamu sok filsafat banget, sih? Apa kamu kuliah jurusan filsafat”

“Tidak, Aku sedang menempuh S2 farmasi.”

Aku heran. Cowok semuda itu sudah S2? Wah, salut deh! Tapi cara bicaranya kok seperti ini? Apa dia salah jurusan?

“Kenapa kau tidak ambil saja sisi positif dari kejadian ini.”

“Sisi positif yang bagaimana?”

“Setidaknya bukan kamu yang ada di tempat Shinta dengan kepala pusing menahan berat dari sanggul, make up maupun kebaya yang melilit erat di tubuh.”

Aku tertawa mendengar kalimat Levy. Aku mulai berpikir bahwa dia adalah penghibur yang baik.

Pertemuanku dan Levy memang terbilang aneh. Dia tiba-tiba mendekatiku saat broken heart karena Rudi, menebak semua jalan pikiranku, membuatku berpikir tentang rumput dan resiko setiap pilihan, serta mengambil sisi positif dari suatu masalah.

“Ah, kau terlalu beranggapan baik padanya,” kata Nena setiap kali ku curhat tentang Levy. “Bisa saja dia sok bijak untuk mendekatimu yang lagi broken.”

“Jangan berpikiran jelek!” aku berusaha menampik pendapat Nena meski dalam hati setuju. “Tapi… sepertinya wajah Levy tidak begitu asing? Entahlah… sepertinya kami pernah bertemu sebelumnya.”

“Di mana? Di kehidupan yang lalu?”

“Uh, ngaco!” Kami tertawa berdua.

Seiring waktu berlalu, aku semakin mengenal Levy. Ternyata dia mengambil S2 di kampusku. Kampus yang paling ngetop di kota gudeg. Terkadang kulihat dia di perpustakaan. Dia selalu menyapa setiap kami bertemu tapi kami sepertinya sama-sama tahu dan tidak saling mengganggu jika terlihat sibuk satu sama lain. Sering juga kutemukan dia sholat di masjid kampus. Dia selalu berlama-lama dengan rutinitas yang satu itu. Aku merinding setiap melihatnya begitu khusuk dengan dzikir dan doanya, seolah pasrah dengan maut yang siap menjemput.

Hari ini aku ke perpustakaan untuk mengusir rasa jenuh. Sekedar menuliskan angan dan mimpiku ke buku harian. Tentu saja tentang dua orang anak yang berlari riang di lapangan berumput hijau dan seorang pria yang berdiri tak jauh dari mereka. Dengan senyum yang hangat, mengulurkan tangan tuk menyambutku yang segera berlari ke arahnya.

“Sedang menulis apa?”

Levy mengagetkanku. Aku tidak menyadari kehadirannya karena terlalu asyik. Dia segera duduk di depanku. Kusodorkan buku harian padanya. Sesaat dia membaca.

“Bagus,” dia mulai berkomentar.”Kamu bakat jadi penulis.”

“Itu bukan bahan tulisan.”

“Lalu?”

Aku tersenyum, tidak mungkin kuakui bahwa itulah impianku selama ini.

“Kehidupan yang sederhana. Kehidupan macam inikah yang kau harapkan, Cleo?”

“Aku mulai tidak percaya semua itu.”

“Kenapa?”

“Kehidupan semacam itu hanya terjadi jika kita punya uang.”

“Begitukah anggapanmu tentang hidup?”

“Ya!” aku menjawab penuh semangat.

“Lalu bagaimana dengan cinta? Semua itu pasti terwujud bila ada cinta.”

“Hah?” aku tertawa lirih, “Levy… aku rasa kau terlalu banyak nonton film roman picisan. Di jaman sekarang, masih adakah cinta sesederhana itu?”

“Aku yakin masih ada.”

Kali ini tertawaku agak keras hingga sekelilingku memperingatkan keadaanku yang sedang berada di area tenang. Cowok di depanku ini terlalu optimis dengan keyakinannya.

“Di jaman ini tidak ada cinta buta, Levy. Seorang gadis dari keluarga kaya tidak mungkin melirik pemuda miskin, pemuda cerdas tak mungkin jatuh hati pada gadis idiot.”

Levy terdiam, aku semakin yakin dengan argumenku,”Kau tahu kisah cinta Cleopatra dan Mark Anthony?” tanyaku.

Levy mengangguk.

“Jika saja Cleopatra tidak cantik dan bukan ratu Mesir, apa mungkin Mark Anthony tergila-gila padanya dan memberontak terhadap Romawi?”

Levy tersenyum. Dengan pelan dia bicara,”Kalau pun waktu itu Cleopatra tidak cantik dan kaya, Mark Anthony akan tetap memberontak pada Romawi karean memang begitulah takdirnya. Kenapa sih kau tidak mencari contoh lain?”

Kalimat Levy terdengar menngelikan dan akhirnya ku terbengong melihat tingkahnya yang meninggalkanku begitu saja. Mungkin dia bosan dengan obrolan ini. Ku teruskan saja curhatku di buku harian.

“Bacalah buku ini!”

Levy datang lagi dan menyodorkan sebuah buku padaku. Taman orang-orang yang jatuh cinta dan memendam rindu, judul buku itu. Kemudian dia berlalu lagi. Dasar aneh!

Buku yang tebal. Kewalahan juga aku membacanya. Bukannya semakin jelas, aku semakin tidak mengerti. Menurutku buku itu menjelaskan makna cinta dengan begitu rumit. Serumit itukah cinta? Obrolan tentang cinta pun terus berlanjut. Aku bersikeras dengan pendapatku demikian juga Levy. Orang lain pasti akan mual dan muntah jika mendengar perdebatan kami. Seperti biasa tidak ada yang mau mengalah hingga kesibukanku PKL dan kesibukannya dengan tesis membuat perdebatan ini terputus.”

Setahun berlalu, Paman Hanafi mengabarkan bahwa Shinta sudah melahirkan bayi laki-laki. Wajah Shinta begitu sumringah saat aku datang menjenguk bayinya yang montok dan lucu. Rudi tidak terlihat di sana.

“Di mana Rudi?” tanyaku pada Shinta yang tengah menyusui. Aneh, wajah Shinta mendadak sayu. Tante Rubi segera menarikku keluar kamar.

“Kamu jangan tanya-tanya tentang Rudi lagi,” kata Tante Rubi.

“Lho, memangnya kenapa?”

“Pernikahan mereka kurang harmonis. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi dan selalu diakhiri dengan Rudi yang memukul Shinta.”

Deg! Tiba-tiba anganku melayang pada Levy, kata-katanya tentang rumput dan resiko setiap pilihan terngiang lagi di telingaku.

“Ngomong-omong, bagaimana persahabatanmu dengan Toni?” tante Rubi membuyarkan lamunanku.

“Toni?”

“Iya! Toni Syahlevy.”

“Toni… Syah… Levy?…. Levy?!”

“Iya, dia itu anak Pak Johan, tetangga kita waktu di Malang dulu. Waktu kalian masih kecil, Toni itu suka mengganggumu sampai kau menangis, kan?”

Kata-kata tante Rubi mampu menjawab pertanyaan yang selama ini mengganjal di hati. Pantas saja aku merasa wajah levy tidak asing. Sosok bocah laki-laki yang selalu menarik rambutku hingga ku menjerit kesakitan, berkelabat di anganku. Semuanya semakin jelas. Sungguh aku menikmati persahabatanku dengannya tapi bukan karena aku naksir atau karena dia tertarik padaku. Aku tahu tidak ada persahabatan antara pria dan wanita. Tapi entahlah?

“Aku akan pergi jauh,”kata Levy di sekian kalinya kami bertemu.

“Kemana?” tanyaku.

“Ke tempat di mana rasa ikhlas menjadi raja, ketulusan sebagai permaisuri dan kemanusiaan adalah hukum yang berlaku. Tempat di mana pamrih terpinggirkan, ambisi terpelanting, kejujuran diunggulkan.”

“Memangnya ada tempat seperti itu?”

“Bukankah semua kitab suci di muka bumi ini menjanjikan tempat itu? Banyak nama yang diberikan, seperti nirwana, sorga… atau… heaven.”

“Jangan bilang kalau kau akan…

“Kenapa? Bukankah semua orang akan kesana? Hanya waktu dan caranya yang berbeda.”

Aku tidak suka dengan tingkah Levy. “Kau membuatku takut. Kenapa kau mengungkap kematian dengan kata-kata indah?”

“Good bye, Cleo… .”

“Levy?” aku memanggilnya pelan tapi dia tidak peduli. Dia berpaling, meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan yang tak terjawab. Kenapa harus kematian?

Gundukan tanah bernisan di depanku masih berwarna merah. Jasad Levy terbaring tenang di dalamnya. HIV-Aids menggerogoti tubuh itu sebelumnya. Perkataan orang-orang tentang Levy yang mengidap penyakit itu karena tranfusi darah mampu menangkis pikiran buruk di otakku tentang sebab-musabab Levy terkena penyakit mematikan itu. Aku merasa kerdil di depan batu nisan itu. Levy yang begitu optimis dengan hidup dan cinta walau pun umurnya tidak panjang. Sungguh beda denganku yang selalu menyalahkan nasib, menyia-nyiakan cinta yang selama ini berada di sekelilingku hanya untuk sebuah cinta yang tak mungkin ku miliki.

Tanpa ku sadari, dia telah menjadikanku obyek dakwah, tentu saja dengan kata-katanya yang sukar dicerna. “Good bye, Cleo,” kalimat terakhir yang dia ucapkan saat perpisahan itu. Begitu singkat, tak serumit kalimat-kalimat yang selalu dia katakan tentang cinta dan hidup. Begitu singkat, sesingkat kehidupan yang di jalaninya.

Namun kehidupan tetap berlanjut bagiku. Mimpi itu pun masih menghiasi setiap tidur, tentang dua orang anak yang berlarian riang di lapangan rumput dan seorang pria yang berdiri tak jauh dari mereka. Dengan tersenyum, direntangkanlah tangannya ke muka untuk menyambutku yang segera berlari ke arahnya.

Aku Yang Sekarat

Ku lihat beberapa kerut di wajah. Entah sudah berapa produk kosmetik yang kugunakan untuk menghilangkan atau sekedar menyamarkannya. Namun usia tak dapat ku manipulasi. Dan rambut ini terlihat memutih, tulang belulang pun tak mau kompromi untuk diajak berjalan jauh hingga ku berakhir di atas ranjang ini.

Beberapa waktu lalu, seseorang menjenguk. Gadis yang cantik, mengingatkan masa mudaku dulu. Mereka bilang dia cucuku. Apa benar dia cucuku? Ku pandang wajah cantik itu lama, namun tak satu pun ingatan terbersit.

Di antara rasa sakitku, diantara kelemahanku, diantara kepikunanku, dimana masa mudaku? masa kayaku, masa sehatku, masa lapangku. Datang, kumohon datanglah kalian. Hiburlah aku dengan kenangan indah. Bicaralah hingga hilang rasa takutku, walau ku tahu semua hanyalah untaian kata yang tak dapat merubah keadaan.

Mereka datang, namun tak seperti yang kuharap. Mereka mengingatkan pada dosa-dosa yang telah ku perbuat. Deretan panjang coreng-moreng hidupku. Hingga ku berpikir, “Ya Tuhan, termasuk golongan yang manakah aku ini? Apakah termasuk umatmu yang dapat menikmati tidur panjangnya di alam kubur dengan tenang hingga hari kebangkitan tiba? Ataukah nantinya tubuh  ini terbakar di sana? Terhimpit di antara batu-batu bumi, terkoyak, mengarungi kegelapan abadi yang lebih gelap dari malam gulita?”

Mereka tidak menghiburku, Tuhan, mereka membuatku takut. Mengingat segala yang telah ku perbuat. Aku sudah memohon pada mereka, Tuhan. Begitu jahatkah, mereka? Melihatku dengan pandangan sinis dan berkata, “Kami sudah memberimu kesempatan, Fulan. Banyak sekali kesempatan. Apalah daya kami. Kami hanyalah masa yang datang jika waktunya tiba, dan pergi jika memang telah berlalu, bukan salah kami jika kau salah mengartikan kesempatan yang telah diberikan . Masa kami sangat pendek dan masa yang kini kau alami sudah memaksa untuk masuk. Sejujurnya kami kecewa. Maafkan kami yang tak bisa membantu.”

Mereka pergi,Tuhan. Mereka pergi setelah meninggalkan rasa bersalah yang teramat sangat di diriku. Mereka pergi begitu saja hingga tinggal kesunyian yang menyengat dan ketakutan yang membunuhku perlahan. Kalian kejam! Kalian jahat! Kalian…..

Tolong, tolong jangan pergi. Temani aku di kesempatan ini. Tolonglah, kumohon. Siapa pun kalian, hampirilah aku yang sekarat ini.

Tolong, kumohon…., kumohon… .