THE HOSPITAL

4. The Strategy (part 3)

“Apa? Menginap?” Viona terkejut. Dia tengah berada di rumah Lisa memenuhi undangan bosnya itu tadi siang.

“Iya, kenapa? Kau ada acara lain?”

“E…. tidak..”

Lisa mengeluarkan setumpukan kertas dari dalam tasnya,”Banyak yang musti kita benahi di Instalasi, kita tidak mungkin menyelesaikannya tanpa kau menginap di sini.”

“Tapi apa tidak merepotkan,” Viona mulai membantu Lisa menata kertas-kertas itu di atas meja. Lisa mengibaskan tangan,”Ah, santai saja, lagi pula aku di sini cuma sendiri.”

“Kalau Pak Andre datang bagaimana?”

“Andre sedang ke Batam.”

Viona manggut-manggut.

“Kau mulai saja dulu memeriksa kertas-kertas ini, aku mau mandi dulu, gerah rasanya, kalau kau mau makan, ada banyak makanan di kulkas, tapi kalau nasi, mungkin kau harus memasaknya dulu, beras sih ada, tapi aku kan jarang makan di rumah, jadi aku jarang menanak nasi.” perintah Lisa. Dia memang baru saja sampai dari pesta di rumah Andre. Viona mengangguk mantap lalu memperhatikan Lisa yang ngeloyor begitu saja ke kamarnya. Kini tinggal Viona sendirian di ruang tengah itu. Pandangannya mulai menyapu sekeliling ruang, dia merasa tidak sopan dengan tingkahnya itu, tapi rasa penasaran akan diri Lisa begitu menyeruak.

Ruangan itu cukup tertata dengan desain interior yang bagus, tetapi beberapa barang tampak berada tidak pada tempatnya. Pandangannya kini tertuju pada sebuah buffet besar di ruangan itu, sebuah buffet yang penuh dengan buku-buku tebal, dari posisinya yang kacau, Viona cukup mampu menyimpulkan bahwa Lisa lebih banyak menghabiskan waktu berkutat dengan membaca jika berada di rumah ini. Pandangan Viona kini tertuju di sebuah foto berbingkai yang terletak di atas meja kecil di samping buffet, dia mendekati foto itu, rupanya itu foto Lisa dan Andre, tapi Viona heran karena sikap kedua orang dalam foto itu tampak kurang akrab bahkan canggung satu sama lain. Bukankah pasangan yang akan menikah biasanya menampakkan kemesraan jika dipotret?

“Kau pasti heran karena rumahku berantakan,” Lisa memulai pembicaraan. Tanpa di sadari oleh Viona, ternyata bosnya itu sudah selesai mandi. Lisa lalu menghempaskan tubuhnya di sofa yang sedari tadi sudah direncanakan sebagai tempat untuk lembur. Viona sangat kaget dengan penampilan Lisa saat ini, penampilan Lisa sungguh jauh berbeda, lebih santai dengan kaos oblong dan celana pendek, tanpa riasan make-up di wajahnya, namun karena kulit Lisa yang putih, tanpa bersolek pun, calon menantu dinasti Kusumadiharja ini masih kelihatan cantik.

“Ah, rumah ini cukup nyaman,” Viona berusaha mengelak pendapat Lisa.

“Ada orang yang membersihkan dan menata rumah ini dua kali seminggu, sebenarnya baru kemarin orang itu kemari, tapi karena aku sangat ceroboh dengan barang-barang jadinya sekarang berantakan lagi.”

Viona tersenyum, dia duduk di depan Lisa dan mulai menekuri kertas-kertas di depan mereka. “Aku memang tidak pandai berbenah,” imbuh Lisa.”Nanti kau bisa tidur di kamar tamu, jangan kuatir, karena aku tidak pernah masuk ke kamar itu, aku jamin kamar itu masih bersih sejak kemarin, aku tahu kau pasti tidak akan nyaman tidur di kamarku, seperti yang kukatakan tadi…. Aku tidak pandai berbenah.”

“Terserah Ibu saja.”

Lisa tersenyum, “Baiklah kita mulai.”

Sesaat mereka sibuk membuka kertas-kertas diatas meja, Lisa mulai menyalakan laptopnya. “Aku sudah mulai menganalisanya melalui Managing drug cycle.” Saat Laptop telah menyala, dia segera membuka file yang dimaksud. “Kau lihat ini, kita mulai dari management support, hal yang paling krusial disini adalah financing dan human resources, tapi aku akan lebih menekankan pada human resources.

Viona manggut-mangut,”Saya sangat setuju dengan anda, memang saya akui kita masih minim SDM, dan hal itu disebabkan financing yang kurang.”

“Tapi apakah ini bisa dijadikan alasan? Bukankah idealnya tiga puluh bed dicover oleh satu orang apoteker?”

“Iya, anda benar.”

“Oke, kita lanjutkan lagi, sekarang kita memasuki manajemen obat, kau bisa baca disini, kan.”

Viona mulai menelusuri tulisan di layar mulai dari seleksi sampai use yang menunjukkan kegagalan proses. Sekali lagi dia menyetujui analisa Lisa,”Mungkin kita harus menyampaikan hal ini pada waktu rapat pengurus?”

Lisa menggeleng,”Tidak, Viona, tidak cukup begitu saja, kita hanya akan dianggap bodoh di sana karena hanya memaparkan masalah tanpa menawarkan solusi.”

“Lalu?”

“Kita harus menyusun strategi,” jawab Lisa yakin, tangannya sampai terkepal ke atas saat berkata-kata.

“Bagaimana caranya?”

“Aish, kau ini, memangnya kau tidak pernah diajari manajemen strategic?”

Viona menggeleng.

“Kalau analisa SWOT, kamu pernah diajari?”

Kali ini Viona mengangguk.

“Nah, coba sekarang kau susun analisis SWOTnya.”

Viona mulai mengerjakan perintah Lisa, dia mulai menganalisis lingkungan eksternal dan internal dari Rumah Sakit Optima Medika, sesekali dia tersenyum dengan analisanya, bagaimana tidak? Di bagian strength, dia menulis dukungan penuh dari direktur akan pelayanan farmasi klinik dan penerapan kompetensi apoteker, hal ini sangat menggelikan mengingat dr. sapta, direktur rumah sakit itu belum tahu menahu tentang strategi tersebut, tapi karena yang punya rumah sakit ini adalah calon suami bosnya, apa salahnya kalau dia menuliskan itu, toh kendali utama tetap pada Kusumadiharja, Tbk.

“Kenapa kau senyum-senyum?” Lisa keheranan.

“Ah, tidak apa-apa.”

Lisa bangkit dari duduknya lalu berjalan kea rah dapur, “Kau mau kopi atau teh?”

“Saya tidak minum kopi, Bu!”

“Sama kalau begitu.”

Sebentar kemudian Lisa sudah kembali dengan membawa dua cangkir teh dan meletakkan salah satunya  di atas meja. “Sudah selesai?”

“Sebentar lagi.”

Lisa menyruput teh hangat yang sedari tadi di pegangnya. Viona meneruskan pekerjaannya, STRENGTHS : Dukungan penuh dari direktur untuk pelayanan farmasi klinik serta penerapan kompetensi apoteker, Jumlah bed 250, Upaya efisiensi pengelolaan obat. WEAKNESS : Kemitraan profesional, SDM farmasi, Sarana prasarana, SIM dan Fasilitas IFRS, Alur organisasi dan manajemen organisasi masih tanda tanya, OPPORTUNITY: Dukungan direktur pd efisiensi item obat, Farmasi 1 pintu, Pelayanan farmasi klinik, Standar pelayanan ISO 9001, TREATH: Semakin banyak apotek baru di sekitar rumah sakit, Minimnya lulusan tenaga teknis kefarmasian Yang menguasai  IT, Peraturan akreditasi makin ketat.

Setelah selesai, dia menunjukkan hasil kerjanya pada Lisa.

”Oke,” Lisa mulai berkomentar, dia meletakkan tehnya dan mulai serius dengan tulisan tangan Viona,”Kalau kau mengusulkan tiga point itu untuk strength dan opportunity….,”Lisa mencoba memahami kembali maksud tulisan Viona,” Hm…, untuk SO STRATEGIC, kita tempatkan Pembuatan anggaran dana untuk pencukupan SDM, fasilitas dan sarana-prasarana serta Penentuan program-program yang mendukung farmasi klinik dan pelayanan farmasi 1 pintu. Bagaimana?”

“Usul yang bagus.”

“Lalu WO Strategic-nya….” Lisa mulai mencorat-coret kertas kosong di depannya, membuat tabel untuk analisa SWOT dari analisa lingkungan eksternal-internal tersebut, WO STRATEGIC : Seleksi obat (dengan penegakan PFT dan formularium), Pembentukan struktur organisasi yang mengacu pada pelayanan farmasi 1 pintu, Mengembangkan system informasi yang bisa digunakan untuk informasi obat, konseling obat, pengkajian obat dan logistic, Penambahan dan pengembangan SDM farmasis (Farmasi klinik) dan beberapa tenaga teknis kefarmasian yang berwawasan IT, ST STRATEGIC : Penegakan  procurement yang efektif dan efisien, Pembuatan SOP dan alur distribusi dari gudang farmasi ke unit-unit yang lain, Penetapan system distribusi yang mendukung pelayanan farmasi klinik, sedangkan WT STRATEGIC: Training karyawan baru & retraining karyawan lama tentang IT, Pembagian tugas, wewenag dan beban kerja karyawan, Penjadwalan karyawan dengan lebih baik, Menciptakan media pertemuan antar professional secara bertahap dan continue.

“Lalu apa yang kita lakukan selanjutnya, Bu Lisa?”

“Oke, itu tadi adalah beberapa strategi alternative yang didapat dari SWOT Analisis, bisa kau bantu aku dengan program excel sekarang?”

“Tentu, Bu.”

Lisa mulai memilih prioritas strategi alternative melalui penilaian bobot kesesuaian strategi alternative itu dengan visi, misi, nilai dan falsafah Instalasi Farmasi rumah sakit hingga terpilihlah Critical Success Factor berdasarkan tingkat prioritas lalu masuklah pada implementasi strategi, periodisasi pencapaian sasaran, programming And budgeting, serta key performance indicator sebagai evaluasi tak lupa action plan dan Feedback, Monitoring, dan evaluasi.

Ternyata benar perkiraan Lisa, pekerjaan itu tidak akan selesai jika Viona tidak menginap, pukul dua dini hari, mereka baru beranjak tidur dan bangun dengan agak malas pagi itu. Mandi cukup membuat badan keduanya segar walau pun wajah mereka terlihat tanda-tanda kurang tidur.

“Minumlah ini, akan membuat matamu melek,” Lisa menyodorkan segelas minuman ke  Viona. Tanpa bertanya Viona langsung menyeruput minuman itu, sesaat dia batuk-batuk, lalu mulutnya menyembur-nyembur. Lisa melihat adegan itu dengan tertawa konyol.

“Teh ini pahit sekali,” kali ini dia sudah berhasil mengatasi rasa tidak nyaman di lidahnya dan matanya benar-benar melek.

“Ya, itu yang selalu aku lakukan jika mengantuk,” Lisa masih saja terkekeh.

Deburan ombak dari luar sayup-sayup terdengar. Lisa berjalan ke arah jendela, lalu berdiri mematung di sana, dari posisi itu, dia mampu melihat pemandangan laut yang terbentang.”Indah sekali,”gumamnya sembari meyeruput teh pahit di tangannya.

Viona mendekati bosnya,”Terima kasih telah mengundang saya ke sini.”

Lisa menoleh ke arahnya dan tersenyum.

“Tapi kenapa kita harus membawa pekerjaan itu kemari? Bukankah kita bisa berdiskusi di ruang anda?”

Lisa tersenyum lagi,”Aku tidak mau ada yang mensabotase rencana kita.”

“Sa…. Sa… sabotase? Maksudnya?”

“Kemarin ada seseorang yang meletakkan tape perekam di kolong meja kerjaku.”

“A….apa?”

Lisa mengangguk.

“La…lalu?”

“Lalu? Apa maksudmu dengan lalu?”

“Lalu apa yang akan anda lakukan, Bu?” tanya Viona.

“Tidak ada.”

“Tidak ada?” Viona terkejut, bagaimana mungkin Lisa setenang itu?

“Tape itu masih di tempatnya.” Lisa menhembuskan nafas, lalu memandang ke laut lepas itu, sekali lagi dia menyeruput tehnya.

“Bagaimana mungkin? Anda seharusnya membuang tape perekam itu.”

“Kalau aku melakukan hal itu, orang itu, entah siapa mereka akan berkesimpulan kalau aku mengetahui keberadaan tape itu dan mungkin akan meletakkan tape yang lain lagi di tempat yang aku tidak tahu.”

Lisa berjalan ke arah meja makan sementara Viona masih saja mematung di tempat semula, “Oh, iya Viona, aku mendengar kabar angin tak baik antara kau dan Dito….”Lisa tiba-tiba ragu dengan kalimatnya, meletakkan cangkir yang telah kosong di atas meja dan  berpikir mungkin yang akan dia tanyakan ini akan membuat Viona tersinggung, “Ah, kau tak perlu menanggapi ini jika tak mau.” Lisa mengibaskan tangannya.

“Jika maksud Anda adalah kabar perselingkuhan itu, itu semua tidak benar, Dito teman kakak saya, jadi saya tahu betul watak buruknya, saya bukan perempuan bodoh.”

“Syukurlah.”

“Lalu, anda tahu siapa yang berusaha melakukan sabotase itu?” Viona masih tertarik dengan tape perekam itu.

“Tidak, kau tahu siapa kira-kira orangnya, Viona?”

Viona menggeleng, dia tengah berbohong, dia tahu benar siapa orangnya, siapa lagi jika bukan Dito dan komplotannya dan yang paling pedih lagi, Wahyu, kakaknya adalah salah satu dari komplotan itu. Sebenarnya masih banyak lagi, bahkan bagian keuangan, bagian yang sangat vital, juga terdapat komplotan itu, tapi jika dia melaporkan semua ini pada Andre atau  dr. Sapta, kakaknya pasti juga akan kena, dia tidak mau itu. “Ah, Saya akan berangkat sekarang.”

“Apa? Kenapa tergesa-gesa, ini masih sangat pagi, kita bisa naik mobilku,”Lisa berusaha menahan Viona.

“Maaf, anda lupa kalau saya bawa motor.”

“Oh  itu, tenang saja, kau bisa mengambilnya kapan-kapan, di sini aman, kok.”

“Tidak… saya benar-benar harus berangkat sekarang, ada yang harus segera saya kerjakan.”

Dengan tergesa Viona mangambil tasnya dan segera keluar dari rumah itu. Pandangan heran masih dialamatkan Lisa padanya saat bosnya itu mengantar sampai ke depan rumah. Aneh, semula dia beralasan motor, dan sekarang ada yang harus dikerjakan.

Viona tak perduli, dia segera mengendarai motornya  ke rumah sakit, ya, ke rumah sakit, dia tahu betul yang akan dilakukannya. Dia tahu betul kalau hari ini si Brengsek itu pasti masih di ruangannya, bukankah kemarin malam si Brengsek jadwal jaga UGD? Dan ternyata benar juga, Dito masih di ruangannya. Tanpa mengetuk pintu, Viona menyerobot masuk, lalu menggebrak meja kerja Dito,”Kenapa kau lakukan itu! Kenapa memasang perekam di ruang kerja Lisa!”

Dito terkejut, dengan cepat dia berjalan ke arah pintu yang masih terbuka lebar lalu mengamati luar ruangan, setelah yakin tak ada seorang pun, dia menutup pintu. Viona menarik ujung bibir melihat hal itu,”Jadi benar kau yang melakukan?”

“Kalau iya kenapa? Kau lupa kalau kita harus membalas dendam kita?”

“Kita? Dendam kita? Kalau dendammu mungkin! Aku tidak pernah punya dendam pada keluarga Kusumadiharja, aku bisa melanjutkan kuliahku karena beasiswa dari mereka dan bekerja di rumah sakit. Aku tidak mungkin mengkhianati rumah sakit ini!”

“Kau !” Telunjuk Dito mengarah ke Viona dan menatap tajam.”Suka atau tidak, kau telah terlibat jauh dengan kami, Viona, apa kau mau aku membeberkan rahasiamu dulu?”

Viona gentar, bayang-bayang kesalahan masa lalu berkelebat. Matanya terpejam dan menggigit bibir bawahnya, takut jika Dito benar-benar melakukan ancamannya.

“Ah! Kau benar-benar busuk!” Viona lari dari ruangan itu sambil berteriak. Sementara Dito dengan senyum liciknya, memandang ke arah pintu yang terbuka lebar itu dengan tatapan puas. “Kau lupa kalau aku punya kartu As, Viona? Jangan macam-macam denganku!”

BERSAMBUNG

THE HOSPITAL

4. The Strategy (Part 1)

Batam yang sibuk, membuat beberapa pengusaha menaruh minat pada kota ini, kota kecil yang menjanjikan. Begitu juga bagi Andre dan keputusannya untuk ikut meramaikan bisnis di kota ini. Kini dia sedang berdiri di dalam ruang rapat,  menghadap ke arah dinding kaca hingga nampak di depannya suasana luas kesibukan kota yang terlihat jelas dari ruangan yang terletak di lantai lima itu. Penandatanganan atau lebih tepat disebut pengambilalihan telah dilakukan tiga puluh menit yang lalu, masih tampak di angan Andre mimik para petinggi perusahaan yang dia ambil alih, tatapan mata para karyawan terhadap dirinya seakan bertanya,”Hai, apa yang akan dilakukan oleh bos baru ini?” atau sekedar rasa memelas,”Tolong, jangan pecat kami.”

Andre menghela nafas. Kini dia mengerti kenapa Lisa sangat tidak menyukai akuisisi, bisa dibilang seperti penjajahan. Dia mulai berpikir apa yang akan dia lakukan terhadap perusahaan barunya ini. Akankah dia bertindak sebagai broker atau tetap menjalankan saja dengan usaha perampingan dan pendanaan yang minim, lalu bagaimana dengan tatapan memelas itu, tatapan yang seakan berkata, “Tolong, jangan pecat kami.”

Di saat pikirannya yang kalut itu, dia mengingat Lisa, kata-kata Lisa yang tidak menyukai akuisisi dan lebih memilih aliansi strategic dan merger lalu dia mengira-ira apa yang tengah dilakukan gadisnya itu sekarang. Ya, itulah satu-satunya hiburan yang selalu menyertainya di jam-jam sibuk, diantara kerja kerasnya mempertahankan dinasti Kusumadiharja, dengan mengingat-ingat segala hal yang akan direncanakannya dengan gadisnya itu, gadis yang sangat dicintainya, sebuah pernikahan! Dan kini Andre tersenyum simpul dalam lamunannya. Andai saja semuanya berbeda, andai saja dia bukan pewaris dari Kusumadiharja, dia lebih ingin menghabiskan banyak waktu dengan Lisa.

Angannya kembali menuju ke masa awal perkenalannya dengan Lisa. Masa ketika dirinya masih berstatus sebagai mahasiswa Magister Manajemen UGM. Gadis itu begitu cuek dan Andre tak habis pikir kalau ternyata ada orang yang lebih cuek dari dirinya. Gadis itu selalu menggunakan pakaian seenaknya, berbicara dengan suara keras dan tertawa lepas. Tapi dia suka dengan tingkahnya itu. Dia suka saat suara Lisa lebih mendominasi dari pada suara teman-temannya, seperti gelas kaca, ya… gelas kaca bening yang begitu jujur menampilkan apa saja yang ada di hatinya tanpa sedikit pun yang ditutupi.

Andre begitu penasaran pada waktu itu hingga menyuruh orang untuk menyelidiki siapa Lisa, dan jawabannya seperti yang telah dia duga. Lisa tidak sedang bersama seseorang dan tidak ada pria yang sedang menunggunya. Andre melonjak kegirangan saat menerima kabar itu dan berjanji dalam hati akan lebih memperhatikan Lisa lagi. Mungkin perhatian Andre begitu berlebihan hari itu, saat dia dan Lisa menghadiri workshop di Fakultas kedokteran. Andre begitu perhatian hingga mengambilkan kotak snack untuk Lisa.

“Tak seperti biasanya?” pikir Lisa dalam hati.

“Kau mau tambah minumnya?” tanya Andre dengan manis. Lisa mengangguk. Andre segera menuju stand minuman dan Lisa melongo begitu mendapati Andre kembali dengan segelas minuman di tangannya.

“Apa kau mau buah?” tanya Andre lagi.

“Kalau tidak merepotkan,” jawab Lisa sambil memakan snack, lagi-lagi Andre segera berlalu dan kembali dengan sepiring buah ditangannya. Lisa pun sukses dibuat keheranan oleh Andre. Dia mulai batuk-batuk, Andre menepuk-nepuk punggungnya sambil menyodorkan minuman.

“Hari ini kau aneh sekali,” protes Lisa setelah berhasil mengatasi tersedaknya.

“Aneh bagaimana?”

“Ya aneh, tidak seperti biasanya,” jawab Lisa seenaknya,”Biasanya kalau orang bertingkah tidak seperti biasanya, biasanya orang itu akan mati.”

Lisa terbahak sambil menutupi mulutnya dan Andre memandangnya dengan muka merah padam, sungguh tidak bisa dimaafkan karena Lisa mendoakan kematiannya. Dengan geram Andre nyelonong pergi dari Lisa yang masih saja tertawa memegangi perutnya. Langkah pertamanya memberikan perhatian pada Lisa gagal total, ternyata gadis itu memang tidak mempunyai sisi romantis sama sekali, benar-benar menjengkelkan.

Begitulah Lisa, sangat tidak berperasaan, terlalu banyak bercanda, tapi akhirnya saat itu datang juga, dan anehnya datang di tempat yang sama sekali tidak terbayangkan oleh mereka yaitu di masjid agung kampus. Andre sangat mengingatnya, pada hari itu dia menghadiri pengajian di masjid itu, tema dari pengajian itu adalah “Pacaran sesudah menikah”. Semua pasti tahu tema itu bercerita tentang taaruf dan pernikahan dan tiba-tiba forum dikejutkan oleh pertanyaan konyol seorang peserta wanita,”Bagaimana dengan fantasi seks sebelum menikah? Apakah itu berdosa?”

Sontak semua orang heboh, arena akhwat dan ikhwan yang terpisah oleh hijab tinggi dan membentang membuat para ikhwan penasaran karena tidak bisa melihat siapa wanita yang dengan polosnya menanyakan hal itu, tapi Andre tahu siapa wanita itu. Siapa lagi kalau bukan cewek bertubuh kecil tapi bersuara keras. Dia heran juga karena Lisa ternyata tertarik dengan acara semacam ini.

Para akhwat memandang Lisa tajam, sangat tidak sopan, kira-kira begitulah arti tatapan mereka. “Kenapa? Alah, gak usah muna,deh…,” protes Lisa. Andre geleng-geleng kepala sambil mengira-ira ekspresi wajah gadis itu di ujung sana.

Ternyata tebakan Andre itu tidak meleset, gadis itu memang benar Lisa. Kini Lisa tengah bermain ayunan di taman bermain yang ada di dekat masjid itu. Acara pengajian sudah selesai sejak tadi. Dengan agak ragu, Andre mendekati gadis itu. Bagaimana tidak? Gadis itu sekarang menggunakan gamis dan jilbab sangat bertolak belakang dengan penampilan yang selalu ditunjukkannya selama ini.

“Oh, berarti benar kalau cewek tadi kamu,” sapa Andre setelah sampai di depan Lisa. Lisa menoleh sebentar, lalu melanjutkan bermain ayunan.

“Pertanyaan macam apa itu tadi? Masa hal itu ditanyakan cewek?” cerca Andre lagi. Lisa hanya senyum-senyum. Lisa masih mengingat kejadian di workshop tempo dulu dimana Andre yang marah karena omongannya ngeloyor pergi begitu saja. Memang Lisa sangat risih dengan perhatian Andre waktu itu, dia tidak biasa diperhatikan semacam itu, Ayahnya selalu melatihnya untuk mandiri setelah Ibunya meninggal, sehingga dia tidak bergantung pada perhatian orang lain. Tapi perhatian yang diberikan oleh Andre memang berbeda, dia mengakui itu, Lisa juga tahu maksud dari perhatian yang Andre berikan, dia bukannya orang yang tidak berperasaan.

Lisa tiba-tiba menghentikan aktifitasnya dengan ayunan. Dia memiringkan wajahnya demi melihat ekspresi wajah Andre yang membelakangi sinar matahari, memang membuat pandangan mata Lisa serasa silau. Saat tubuh Andre menutupi cahaya menyilaukan itu, Lisa bersuara,”Kau mau jadi calon suamiku?”

Serta-merta wajah Andre memerah dibuatnya. Mimpi apa dia semalam? Seharusnya dialah yang menyatakan cinta, melamar atau apalah istilahnya tapi kenyataannya cewek bertubuh mungil ini yang duluan, di tempat yang sungguh jauh dari romantis dan di jam setengah dua siang, saat matahari terik-teriknya tapi bukankah hal ini yang dia inginkan tak peduli siapa yang memulai, dimana dan jam berapa.

“Mau tidak?” ulang Lisa. Kali ini Lisa sudah berdiri di depan Andre. Andre jadi linglung,”E….e…., Aku…aku belum siap untuk menikah.”

“Hei, aku memintamu menjadi calon suamiku, bukan menikahiku besok!” seloroh Lisa sambil berlalu.

“Tunggu!” cegah Andre. Lisa membalikkan badannya dan Andre sekali lagi berjalan mendekat,”Kau tidak mengharapkan ku menjawabnya sekarang, kan? Di film-film biasanya mereka meminta waktu satu atau dua hari untuk menjawab pertanyaan itu.”

Lisa mengibaskan tangannya,”Ah, terserah kaulah, tapi jangan salahkan aku jika besok ku berubah pikiran!”

Berubah pikiran? Bagaimana jika Lisa berubah pikiran? Andre jadi ngeri, dia tergagap waktu gadis itu hendak meninggalkannya lagi, dia berlari dan menghadang langkah Lisa. Kedua tangannya segera memegang pundak Lisa saat gadis itu berada di depannya dan dia mulai mengatur nafas,”Iya, iya, Aku mau jadi calon suamimu.”

Lisa tersenyum menang,”Nah, gitu dong.”

Lisa meneruskan langkahnya lagi.

”Cuma begitu?” tanya Andre.

“Cuma begitu apanya?”

“Kau hanya menanyakan itu?”

“Lalu kau maunya apa?”

Aish, cewek ini bodoh atau apa,sih? pikir Andre. Sepertinya Andre memang harus sabar pada Lisa. Gadis itu memang agak tidak jelas, semenit yang lalu dia memaksa Andre menjadi calon suaminya dan sekarang mau pergi dari Andre begitu saja, sangat tidak romantis, pikir Andre lagi. “Kau mau pergi kemana? Aku bisa mengantarmu?” tanya Andre mengalihkan perhatian.

“Pulang ke kos,” jawab Lisa.

“Oh, aku antar, ya?”

Lisa mengangguk dan itulah awal dari masa-masa Andre bersama Lisa. Andre jadi geli mengingat peristiwa itu, sementara kesibukan Batam masih terpampang di depannya. Seorang laki-laki paruh baya mendekati Andre, rupanya itu adalah Andika, penasehat keuangannya,”Saya tidak tahu kalau anda masih di sini, Pak Andre.”

Andre masih tetap memperhatikan view yang membentang di bawahnya,”Ya, kau sudah meneliti keuangan di perusahaan ini?”

“Iya, banyak kebocoran.”

“Pastikan kau tempatkan orang kepercayaan kita di sini, angkat orang yang benar-benar handal, jika perlu seorang workhaholik yang masih idealis.”

“Baik, Pak Andre.”

Andre menuju notebooknya yang sedari tadi tergeletak di atas meja rapat. Saat dia akan membereskan notebook itu…

“Maaf, Pak Andre, mungkin yang saya tanyakan ini agak lancang.”

Andre menoleh ke arah akuntan itu,”Ada apa?”

“Bagaimana dengan Optima Medika? Bukankah lebih baik jika kita segera melepaskannya selagi bisa?”

Andre terkejut, memang sudah lama Andika mengingatkannya tentang Optima Medika yang hampir bangkrut, dan saran dari akuntan itu agar segera menjual saja rumah sakit itu sebelum terlalu banyak menyusahkan keuangan PT. Kusumadiharja Tbk.”Pak Andika, anda tahu sejarah berdirinya rumah sakit itu, bukan?”

“Tentu, Pak Andre, rumah sakit itu didirikan sebagai pelayanan kesehatan karyawan PT.Kusumadiharja, Tbk tapi kita tidak bisa terus-terusan mempertahankan ‘dog’ itu hanya akan memperlama penderitaannya.”

Andre tersenyum, “Dog? Cow? Star? Lalu Question Mark? Lalu siapa yang Cow? Siapa ?” Dia menggelengkan kepala, “Anda anggap Kusumadiharja, Tbk itu sapi perah, Pak akuntan?”

“Bukan begitu maksud saya, Pak Andre.”

“Kau ingin aku menggunakan strategi apa? Niche?” tantang Andre.”Salah satu tanggungjawab industri adalah moral responsibilities. Anggap saja keputusanku untuk mempertahankan rumah sakit itu adalah bentuk tanggungjawab moral Kusumadiharja, Tbk.”

Andika memahami pendirian bosnya dan Andre pun segera berlalu dari ruangan itu.

—-><#BERSAMBUNG#><—-

REVIEW OF BLUE OCEAN STRATEGY, W. CHAN KIM,ET AL, CHAPTER 2

CAPTER 2

Analytical Tools and Frameworks

For strategists, the critical question is, How do you break out of this red ocean of bloody competition to make the competition irrelevant? How do you open up and capture a blue ocean of uncontested market space? To address these questions, we turn to the strategy canvas, an analytic framework that is central to value innovation and the creation of blue oceans.

The strategy canvas is both a diagnostic and an action framework for building a compelling blue ocean strategy. It serves two purposes. First, it captures the current state of play in the known market space. This allows you to understand where the competition is currently investing, the factors the industry currently competes on in products, service, and delivery, and what customers receive from the existing competitive offerings on the market.

To fundamentally shift the strategy canvas of an industry, you must begin by reorienting your strategic focus from competitors to alternatives, and from customers to noncustomers of the industry. To pursue both value and cost, you should resist the old logic of benchmarking competitors in the existing field and choosing between differentiation and cost leadership. As you shift your strategic focus from current competition to alternatives and noncustomers, you gain insight into how to redefine the problem the industry focuses on and thereby reconstruct buyer value elements that reside across industry boundaries. To achieve this, it turned to the second basic analytic underlying blue oceans: the four actions framework.

The Four Actions Framework

To reconstruct buyer value elements in crafting a new value curve, we have developed the four actions framework there are four key questions to challenge an industry’s strategic logic and business model:

• Which of the factors that the industry takes for granted should be eliminated?

• Which factors should be reduced well below the industry’s standard?

• Which factors should be raised well above the industry’s standard?

• Which factors should be created that the industry has never offered?

There is a third tool that is key to creation of blue oceans. It is a supplementary analytic to the four actions framework called the eliminate-reduce-raise-create grid, By driving companies to fill in the grid with the actions of eliminating and reducing as well as raising and creating, the grid gives companies four immediate benefits:

• It pushes them to simultaneously pursue differentiation and low costs to break the value-cost trade-off.

• It immediately flags companies that are focused only on raising and creating and thereby lifting their cost structure and often overengineering products and services—a common plight in many companies.

• It is easily understood by managers at any level, creating a high level of engagement in its application.

• Because completing the grid is a challenging task, it drives companies to robustly scrutinize every factor the industry competes on, making them discover the range of implicit assumptions they make unconsciously in competing.

When expressed through a value curve, then, an effective blue ocean strategy likehas three complementary qualities: focus, divergence, and a compelling tagline. Without these qualities, a company’s strategy will likely be muddled, undifferentiated, and hard to communicate with a high cost structure

Reading the Value Curves

The strategy canvas enables companies to see the future in the present. To achieve this, companies must understand how to read value curves. Embedded in the value curves of an industry is a wealth of strategic knowledge on the current status and future of a business.

A Blue Ocean Strategy

The first question the value curves answer is whether a business deserves to be a winner. When a company’s value curve, or its competitors’, meets the three criteria that define a good blue ocean strategy—focus, divergence, and a compelling tagline that speaks to the market—the company is on the right track.

A Company Caught in the Red Ocean

When a company’s value curve converges with its competitors, it signals that a company is likely caught within the red ocean of bloody competition.

Overdelivery Without Payback

When a company’s value curve on the strategy canvas is shown to deliver high levels across all factors, the question is, Does the company’s market share and profitability reflect these investments? If not, the strategy canvas signals that the company may be oversupplying its customers, offering too much of those elements that add incremental value to buyers. To value-innovate, the company must decide which factors to eliminate and reduce—and not only those to raise and create—to construct a divergent value curve.

An Incoherent Strategy

When a company’s value curve looks like a bowl of spaghetti—a zigzag with no rhyme or reason, where the offering can be described as “low-high-low-low-high-low-high”—it signals that the company doesn’t have a coherent strategy. Its strategy is likely based on independent substrategies. Are there strategic contradictions? These are areas where a company is offering a high level on one competing factor while ignoring others that support that factor.

An Internally Driven Company

In drawing the strategy canvas, how does a company label the industry’s competing factors?The kind of language used in the strategy canvas gives insight as to whether a company’s strategic vision is built on an “outside-in” perspective, driven by the demand side, or an “inside-out” perspective that is operationally driven. Analyzing the language of the strategy canvas helps a company understand how far it is from creating industry demand.