4. The Strategy (part 3)
“Apa? Menginap?” Viona terkejut. Dia tengah berada di rumah Lisa memenuhi undangan bosnya itu tadi siang.
“Iya, kenapa? Kau ada acara lain?”
“E…. tidak..”
Lisa mengeluarkan setumpukan kertas dari dalam tasnya,”Banyak yang musti kita benahi di Instalasi, kita tidak mungkin menyelesaikannya tanpa kau menginap di sini.”
“Tapi apa tidak merepotkan,” Viona mulai membantu Lisa menata kertas-kertas itu di atas meja. Lisa mengibaskan tangan,”Ah, santai saja, lagi pula aku di sini cuma sendiri.”
“Kalau Pak Andre datang bagaimana?”
“Andre sedang ke Batam.”
Viona manggut-manggut.
“Kau mulai saja dulu memeriksa kertas-kertas ini, aku mau mandi dulu, gerah rasanya, kalau kau mau makan, ada banyak makanan di kulkas, tapi kalau nasi, mungkin kau harus memasaknya dulu, beras sih ada, tapi aku kan jarang makan di rumah, jadi aku jarang menanak nasi.” perintah Lisa. Dia memang baru saja sampai dari pesta di rumah Andre. Viona mengangguk mantap lalu memperhatikan Lisa yang ngeloyor begitu saja ke kamarnya. Kini tinggal Viona sendirian di ruang tengah itu. Pandangannya mulai menyapu sekeliling ruang, dia merasa tidak sopan dengan tingkahnya itu, tapi rasa penasaran akan diri Lisa begitu menyeruak.
Ruangan itu cukup tertata dengan desain interior yang bagus, tetapi beberapa barang tampak berada tidak pada tempatnya. Pandangannya kini tertuju pada sebuah buffet besar di ruangan itu, sebuah buffet yang penuh dengan buku-buku tebal, dari posisinya yang kacau, Viona cukup mampu menyimpulkan bahwa Lisa lebih banyak menghabiskan waktu berkutat dengan membaca jika berada di rumah ini. Pandangan Viona kini tertuju di sebuah foto berbingkai yang terletak di atas meja kecil di samping buffet, dia mendekati foto itu, rupanya itu foto Lisa dan Andre, tapi Viona heran karena sikap kedua orang dalam foto itu tampak kurang akrab bahkan canggung satu sama lain. Bukankah pasangan yang akan menikah biasanya menampakkan kemesraan jika dipotret?
“Kau pasti heran karena rumahku berantakan,” Lisa memulai pembicaraan. Tanpa di sadari oleh Viona, ternyata bosnya itu sudah selesai mandi. Lisa lalu menghempaskan tubuhnya di sofa yang sedari tadi sudah direncanakan sebagai tempat untuk lembur. Viona sangat kaget dengan penampilan Lisa saat ini, penampilan Lisa sungguh jauh berbeda, lebih santai dengan kaos oblong dan celana pendek, tanpa riasan make-up di wajahnya, namun karena kulit Lisa yang putih, tanpa bersolek pun, calon menantu dinasti Kusumadiharja ini masih kelihatan cantik.
“Ah, rumah ini cukup nyaman,” Viona berusaha mengelak pendapat Lisa.
“Ada orang yang membersihkan dan menata rumah ini dua kali seminggu, sebenarnya baru kemarin orang itu kemari, tapi karena aku sangat ceroboh dengan barang-barang jadinya sekarang berantakan lagi.”
Viona tersenyum, dia duduk di depan Lisa dan mulai menekuri kertas-kertas di depan mereka. “Aku memang tidak pandai berbenah,” imbuh Lisa.”Nanti kau bisa tidur di kamar tamu, jangan kuatir, karena aku tidak pernah masuk ke kamar itu, aku jamin kamar itu masih bersih sejak kemarin, aku tahu kau pasti tidak akan nyaman tidur di kamarku, seperti yang kukatakan tadi…. Aku tidak pandai berbenah.”
“Terserah Ibu saja.”
Lisa tersenyum, “Baiklah kita mulai.”
Sesaat mereka sibuk membuka kertas-kertas diatas meja, Lisa mulai menyalakan laptopnya. “Aku sudah mulai menganalisanya melalui Managing drug cycle.” Saat Laptop telah menyala, dia segera membuka file yang dimaksud. “Kau lihat ini, kita mulai dari management support, hal yang paling krusial disini adalah financing dan human resources, tapi aku akan lebih menekankan pada human resources.”
Viona manggut-mangut,”Saya sangat setuju dengan anda, memang saya akui kita masih minim SDM, dan hal itu disebabkan financing yang kurang.”
“Tapi apakah ini bisa dijadikan alasan? Bukankah idealnya tiga puluh bed dicover oleh satu orang apoteker?”
“Iya, anda benar.”
“Oke, kita lanjutkan lagi, sekarang kita memasuki manajemen obat, kau bisa baca disini, kan.”
Viona mulai menelusuri tulisan di layar mulai dari seleksi sampai use yang menunjukkan kegagalan proses. Sekali lagi dia menyetujui analisa Lisa,”Mungkin kita harus menyampaikan hal ini pada waktu rapat pengurus?”
Lisa menggeleng,”Tidak, Viona, tidak cukup begitu saja, kita hanya akan dianggap bodoh di sana karena hanya memaparkan masalah tanpa menawarkan solusi.”
“Lalu?”
“Kita harus menyusun strategi,” jawab Lisa yakin, tangannya sampai terkepal ke atas saat berkata-kata.
“Bagaimana caranya?”
“Aish, kau ini, memangnya kau tidak pernah diajari manajemen strategic?”
Viona menggeleng.
“Kalau analisa SWOT, kamu pernah diajari?”
Kali ini Viona mengangguk.
“Nah, coba sekarang kau susun analisis SWOTnya.”
Viona mulai mengerjakan perintah Lisa, dia mulai menganalisis lingkungan eksternal dan internal dari Rumah Sakit Optima Medika, sesekali dia tersenyum dengan analisanya, bagaimana tidak? Di bagian strength, dia menulis dukungan penuh dari direktur akan pelayanan farmasi klinik dan penerapan kompetensi apoteker, hal ini sangat menggelikan mengingat dr. sapta, direktur rumah sakit itu belum tahu menahu tentang strategi tersebut, tapi karena yang punya rumah sakit ini adalah calon suami bosnya, apa salahnya kalau dia menuliskan itu, toh kendali utama tetap pada Kusumadiharja, Tbk.
“Kenapa kau senyum-senyum?” Lisa keheranan.
“Ah, tidak apa-apa.”
Lisa bangkit dari duduknya lalu berjalan kea rah dapur, “Kau mau kopi atau teh?”
“Saya tidak minum kopi, Bu!”
“Sama kalau begitu.”
Sebentar kemudian Lisa sudah kembali dengan membawa dua cangkir teh dan meletakkan salah satunya di atas meja. “Sudah selesai?”
“Sebentar lagi.”
Lisa menyruput teh hangat yang sedari tadi di pegangnya. Viona meneruskan pekerjaannya, STRENGTHS : Dukungan penuh dari direktur untuk pelayanan farmasi klinik serta penerapan kompetensi apoteker, Jumlah bed 250, Upaya efisiensi pengelolaan obat. WEAKNESS : Kemitraan profesional, SDM farmasi, Sarana prasarana, SIM dan Fasilitas IFRS, Alur organisasi dan manajemen organisasi masih tanda tanya, OPPORTUNITY: Dukungan direktur pd efisiensi item obat, Farmasi 1 pintu, Pelayanan farmasi klinik, Standar pelayanan ISO 9001, TREATH: Semakin banyak apotek baru di sekitar rumah sakit, Minimnya lulusan tenaga teknis kefarmasian Yang menguasai IT, Peraturan akreditasi makin ketat.
Setelah selesai, dia menunjukkan hasil kerjanya pada Lisa.
”Oke,” Lisa mulai berkomentar, dia meletakkan tehnya dan mulai serius dengan tulisan tangan Viona,”Kalau kau mengusulkan tiga point itu untuk strength dan opportunity….,”Lisa mencoba memahami kembali maksud tulisan Viona,” Hm…, untuk SO STRATEGIC, kita tempatkan Pembuatan anggaran dana untuk pencukupan SDM, fasilitas dan sarana-prasarana serta Penentuan program-program yang mendukung farmasi klinik dan pelayanan farmasi 1 pintu. Bagaimana?”
“Usul yang bagus.”
“Lalu WO Strategic-nya….” Lisa mulai mencorat-coret kertas kosong di depannya, membuat tabel untuk analisa SWOT dari analisa lingkungan eksternal-internal tersebut, WO STRATEGIC : Seleksi obat (dengan penegakan PFT dan formularium), Pembentukan struktur organisasi yang mengacu pada pelayanan farmasi 1 pintu, Mengembangkan system informasi yang bisa digunakan untuk informasi obat, konseling obat, pengkajian obat dan logistic, Penambahan dan pengembangan SDM farmasis (Farmasi klinik) dan beberapa tenaga teknis kefarmasian yang berwawasan IT, ST STRATEGIC : Penegakan procurement yang efektif dan efisien, Pembuatan SOP dan alur distribusi dari gudang farmasi ke unit-unit yang lain, Penetapan system distribusi yang mendukung pelayanan farmasi klinik, sedangkan WT STRATEGIC: Training karyawan baru & retraining karyawan lama tentang IT, Pembagian tugas, wewenag dan beban kerja karyawan, Penjadwalan karyawan dengan lebih baik, Menciptakan media pertemuan antar professional secara bertahap dan continue.
“Lalu apa yang kita lakukan selanjutnya, Bu Lisa?”
“Oke, itu tadi adalah beberapa strategi alternative yang didapat dari SWOT Analisis, bisa kau bantu aku dengan program excel sekarang?”
“Tentu, Bu.”
Lisa mulai memilih prioritas strategi alternative melalui penilaian bobot kesesuaian strategi alternative itu dengan visi, misi, nilai dan falsafah Instalasi Farmasi rumah sakit hingga terpilihlah Critical Success Factor berdasarkan tingkat prioritas lalu masuklah pada implementasi strategi, periodisasi pencapaian sasaran, programming And budgeting, serta key performance indicator sebagai evaluasi tak lupa action plan dan Feedback, Monitoring, dan evaluasi.
Ternyata benar perkiraan Lisa, pekerjaan itu tidak akan selesai jika Viona tidak menginap, pukul dua dini hari, mereka baru beranjak tidur dan bangun dengan agak malas pagi itu. Mandi cukup membuat badan keduanya segar walau pun wajah mereka terlihat tanda-tanda kurang tidur.
“Minumlah ini, akan membuat matamu melek,” Lisa menyodorkan segelas minuman ke Viona. Tanpa bertanya Viona langsung menyeruput minuman itu, sesaat dia batuk-batuk, lalu mulutnya menyembur-nyembur. Lisa melihat adegan itu dengan tertawa konyol.
“Teh ini pahit sekali,” kali ini dia sudah berhasil mengatasi rasa tidak nyaman di lidahnya dan matanya benar-benar melek.
“Ya, itu yang selalu aku lakukan jika mengantuk,” Lisa masih saja terkekeh.
Deburan ombak dari luar sayup-sayup terdengar. Lisa berjalan ke arah jendela, lalu berdiri mematung di sana, dari posisi itu, dia mampu melihat pemandangan laut yang terbentang.”Indah sekali,”gumamnya sembari meyeruput teh pahit di tangannya.
Viona mendekati bosnya,”Terima kasih telah mengundang saya ke sini.”
Lisa menoleh ke arahnya dan tersenyum.
“Tapi kenapa kita harus membawa pekerjaan itu kemari? Bukankah kita bisa berdiskusi di ruang anda?”
Lisa tersenyum lagi,”Aku tidak mau ada yang mensabotase rencana kita.”
“Sa…. Sa… sabotase? Maksudnya?”
“Kemarin ada seseorang yang meletakkan tape perekam di kolong meja kerjaku.”
“A….apa?”
Lisa mengangguk.
“La…lalu?”
“Lalu? Apa maksudmu dengan lalu?”
“Lalu apa yang akan anda lakukan, Bu?” tanya Viona.
“Tidak ada.”
“Tidak ada?” Viona terkejut, bagaimana mungkin Lisa setenang itu?
“Tape itu masih di tempatnya.” Lisa menhembuskan nafas, lalu memandang ke laut lepas itu, sekali lagi dia menyeruput tehnya.
“Bagaimana mungkin? Anda seharusnya membuang tape perekam itu.”
“Kalau aku melakukan hal itu, orang itu, entah siapa mereka akan berkesimpulan kalau aku mengetahui keberadaan tape itu dan mungkin akan meletakkan tape yang lain lagi di tempat yang aku tidak tahu.”
Lisa berjalan ke arah meja makan sementara Viona masih saja mematung di tempat semula, “Oh, iya Viona, aku mendengar kabar angin tak baik antara kau dan Dito….”Lisa tiba-tiba ragu dengan kalimatnya, meletakkan cangkir yang telah kosong di atas meja dan berpikir mungkin yang akan dia tanyakan ini akan membuat Viona tersinggung, “Ah, kau tak perlu menanggapi ini jika tak mau.” Lisa mengibaskan tangannya.
“Jika maksud Anda adalah kabar perselingkuhan itu, itu semua tidak benar, Dito teman kakak saya, jadi saya tahu betul watak buruknya, saya bukan perempuan bodoh.”
“Syukurlah.”
“Lalu, anda tahu siapa yang berusaha melakukan sabotase itu?” Viona masih tertarik dengan tape perekam itu.
“Tidak, kau tahu siapa kira-kira orangnya, Viona?”
Viona menggeleng, dia tengah berbohong, dia tahu benar siapa orangnya, siapa lagi jika bukan Dito dan komplotannya dan yang paling pedih lagi, Wahyu, kakaknya adalah salah satu dari komplotan itu. Sebenarnya masih banyak lagi, bahkan bagian keuangan, bagian yang sangat vital, juga terdapat komplotan itu, tapi jika dia melaporkan semua ini pada Andre atau dr. Sapta, kakaknya pasti juga akan kena, dia tidak mau itu. “Ah, Saya akan berangkat sekarang.”
“Apa? Kenapa tergesa-gesa, ini masih sangat pagi, kita bisa naik mobilku,”Lisa berusaha menahan Viona.
“Maaf, anda lupa kalau saya bawa motor.”
“Oh itu, tenang saja, kau bisa mengambilnya kapan-kapan, di sini aman, kok.”
“Tidak… saya benar-benar harus berangkat sekarang, ada yang harus segera saya kerjakan.”
Dengan tergesa Viona mangambil tasnya dan segera keluar dari rumah itu. Pandangan heran masih dialamatkan Lisa padanya saat bosnya itu mengantar sampai ke depan rumah. Aneh, semula dia beralasan motor, dan sekarang ada yang harus dikerjakan.
Viona tak perduli, dia segera mengendarai motornya ke rumah sakit, ya, ke rumah sakit, dia tahu betul yang akan dilakukannya. Dia tahu betul kalau hari ini si Brengsek itu pasti masih di ruangannya, bukankah kemarin malam si Brengsek jadwal jaga UGD? Dan ternyata benar juga, Dito masih di ruangannya. Tanpa mengetuk pintu, Viona menyerobot masuk, lalu menggebrak meja kerja Dito,”Kenapa kau lakukan itu! Kenapa memasang perekam di ruang kerja Lisa!”
Dito terkejut, dengan cepat dia berjalan ke arah pintu yang masih terbuka lebar lalu mengamati luar ruangan, setelah yakin tak ada seorang pun, dia menutup pintu. Viona menarik ujung bibir melihat hal itu,”Jadi benar kau yang melakukan?”
“Kalau iya kenapa? Kau lupa kalau kita harus membalas dendam kita?”
“Kita? Dendam kita? Kalau dendammu mungkin! Aku tidak pernah punya dendam pada keluarga Kusumadiharja, aku bisa melanjutkan kuliahku karena beasiswa dari mereka dan bekerja di rumah sakit. Aku tidak mungkin mengkhianati rumah sakit ini!”
“Kau !” Telunjuk Dito mengarah ke Viona dan menatap tajam.”Suka atau tidak, kau telah terlibat jauh dengan kami, Viona, apa kau mau aku membeberkan rahasiamu dulu?”
Viona gentar, bayang-bayang kesalahan masa lalu berkelebat. Matanya terpejam dan menggigit bibir bawahnya, takut jika Dito benar-benar melakukan ancamannya.
“Ah! Kau benar-benar busuk!” Viona lari dari ruangan itu sambil berteriak. Sementara Dito dengan senyum liciknya, memandang ke arah pintu yang terbuka lebar itu dengan tatapan puas. “Kau lupa kalau aku punya kartu As, Viona? Jangan macam-macam denganku!”
BERSAMBUNG