THE HOSPITAL

4. The Strategy (part 3)

“Apa? Menginap?” Viona terkejut. Dia tengah berada di rumah Lisa memenuhi undangan bosnya itu tadi siang.

“Iya, kenapa? Kau ada acara lain?”

“E…. tidak..”

Lisa mengeluarkan setumpukan kertas dari dalam tasnya,”Banyak yang musti kita benahi di Instalasi, kita tidak mungkin menyelesaikannya tanpa kau menginap di sini.”

“Tapi apa tidak merepotkan,” Viona mulai membantu Lisa menata kertas-kertas itu di atas meja. Lisa mengibaskan tangan,”Ah, santai saja, lagi pula aku di sini cuma sendiri.”

“Kalau Pak Andre datang bagaimana?”

“Andre sedang ke Batam.”

Viona manggut-manggut.

“Kau mulai saja dulu memeriksa kertas-kertas ini, aku mau mandi dulu, gerah rasanya, kalau kau mau makan, ada banyak makanan di kulkas, tapi kalau nasi, mungkin kau harus memasaknya dulu, beras sih ada, tapi aku kan jarang makan di rumah, jadi aku jarang menanak nasi.” perintah Lisa. Dia memang baru saja sampai dari pesta di rumah Andre. Viona mengangguk mantap lalu memperhatikan Lisa yang ngeloyor begitu saja ke kamarnya. Kini tinggal Viona sendirian di ruang tengah itu. Pandangannya mulai menyapu sekeliling ruang, dia merasa tidak sopan dengan tingkahnya itu, tapi rasa penasaran akan diri Lisa begitu menyeruak.

Ruangan itu cukup tertata dengan desain interior yang bagus, tetapi beberapa barang tampak berada tidak pada tempatnya. Pandangannya kini tertuju pada sebuah buffet besar di ruangan itu, sebuah buffet yang penuh dengan buku-buku tebal, dari posisinya yang kacau, Viona cukup mampu menyimpulkan bahwa Lisa lebih banyak menghabiskan waktu berkutat dengan membaca jika berada di rumah ini. Pandangan Viona kini tertuju di sebuah foto berbingkai yang terletak di atas meja kecil di samping buffet, dia mendekati foto itu, rupanya itu foto Lisa dan Andre, tapi Viona heran karena sikap kedua orang dalam foto itu tampak kurang akrab bahkan canggung satu sama lain. Bukankah pasangan yang akan menikah biasanya menampakkan kemesraan jika dipotret?

“Kau pasti heran karena rumahku berantakan,” Lisa memulai pembicaraan. Tanpa di sadari oleh Viona, ternyata bosnya itu sudah selesai mandi. Lisa lalu menghempaskan tubuhnya di sofa yang sedari tadi sudah direncanakan sebagai tempat untuk lembur. Viona sangat kaget dengan penampilan Lisa saat ini, penampilan Lisa sungguh jauh berbeda, lebih santai dengan kaos oblong dan celana pendek, tanpa riasan make-up di wajahnya, namun karena kulit Lisa yang putih, tanpa bersolek pun, calon menantu dinasti Kusumadiharja ini masih kelihatan cantik.

“Ah, rumah ini cukup nyaman,” Viona berusaha mengelak pendapat Lisa.

“Ada orang yang membersihkan dan menata rumah ini dua kali seminggu, sebenarnya baru kemarin orang itu kemari, tapi karena aku sangat ceroboh dengan barang-barang jadinya sekarang berantakan lagi.”

Viona tersenyum, dia duduk di depan Lisa dan mulai menekuri kertas-kertas di depan mereka. “Aku memang tidak pandai berbenah,” imbuh Lisa.”Nanti kau bisa tidur di kamar tamu, jangan kuatir, karena aku tidak pernah masuk ke kamar itu, aku jamin kamar itu masih bersih sejak kemarin, aku tahu kau pasti tidak akan nyaman tidur di kamarku, seperti yang kukatakan tadi…. Aku tidak pandai berbenah.”

“Terserah Ibu saja.”

Lisa tersenyum, “Baiklah kita mulai.”

Sesaat mereka sibuk membuka kertas-kertas diatas meja, Lisa mulai menyalakan laptopnya. “Aku sudah mulai menganalisanya melalui Managing drug cycle.” Saat Laptop telah menyala, dia segera membuka file yang dimaksud. “Kau lihat ini, kita mulai dari management support, hal yang paling krusial disini adalah financing dan human resources, tapi aku akan lebih menekankan pada human resources.

Viona manggut-mangut,”Saya sangat setuju dengan anda, memang saya akui kita masih minim SDM, dan hal itu disebabkan financing yang kurang.”

“Tapi apakah ini bisa dijadikan alasan? Bukankah idealnya tiga puluh bed dicover oleh satu orang apoteker?”

“Iya, anda benar.”

“Oke, kita lanjutkan lagi, sekarang kita memasuki manajemen obat, kau bisa baca disini, kan.”

Viona mulai menelusuri tulisan di layar mulai dari seleksi sampai use yang menunjukkan kegagalan proses. Sekali lagi dia menyetujui analisa Lisa,”Mungkin kita harus menyampaikan hal ini pada waktu rapat pengurus?”

Lisa menggeleng,”Tidak, Viona, tidak cukup begitu saja, kita hanya akan dianggap bodoh di sana karena hanya memaparkan masalah tanpa menawarkan solusi.”

“Lalu?”

“Kita harus menyusun strategi,” jawab Lisa yakin, tangannya sampai terkepal ke atas saat berkata-kata.

“Bagaimana caranya?”

“Aish, kau ini, memangnya kau tidak pernah diajari manajemen strategic?”

Viona menggeleng.

“Kalau analisa SWOT, kamu pernah diajari?”

Kali ini Viona mengangguk.

“Nah, coba sekarang kau susun analisis SWOTnya.”

Viona mulai mengerjakan perintah Lisa, dia mulai menganalisis lingkungan eksternal dan internal dari Rumah Sakit Optima Medika, sesekali dia tersenyum dengan analisanya, bagaimana tidak? Di bagian strength, dia menulis dukungan penuh dari direktur akan pelayanan farmasi klinik dan penerapan kompetensi apoteker, hal ini sangat menggelikan mengingat dr. sapta, direktur rumah sakit itu belum tahu menahu tentang strategi tersebut, tapi karena yang punya rumah sakit ini adalah calon suami bosnya, apa salahnya kalau dia menuliskan itu, toh kendali utama tetap pada Kusumadiharja, Tbk.

“Kenapa kau senyum-senyum?” Lisa keheranan.

“Ah, tidak apa-apa.”

Lisa bangkit dari duduknya lalu berjalan kea rah dapur, “Kau mau kopi atau teh?”

“Saya tidak minum kopi, Bu!”

“Sama kalau begitu.”

Sebentar kemudian Lisa sudah kembali dengan membawa dua cangkir teh dan meletakkan salah satunya  di atas meja. “Sudah selesai?”

“Sebentar lagi.”

Lisa menyruput teh hangat yang sedari tadi di pegangnya. Viona meneruskan pekerjaannya, STRENGTHS : Dukungan penuh dari direktur untuk pelayanan farmasi klinik serta penerapan kompetensi apoteker, Jumlah bed 250, Upaya efisiensi pengelolaan obat. WEAKNESS : Kemitraan profesional, SDM farmasi, Sarana prasarana, SIM dan Fasilitas IFRS, Alur organisasi dan manajemen organisasi masih tanda tanya, OPPORTUNITY: Dukungan direktur pd efisiensi item obat, Farmasi 1 pintu, Pelayanan farmasi klinik, Standar pelayanan ISO 9001, TREATH: Semakin banyak apotek baru di sekitar rumah sakit, Minimnya lulusan tenaga teknis kefarmasian Yang menguasai  IT, Peraturan akreditasi makin ketat.

Setelah selesai, dia menunjukkan hasil kerjanya pada Lisa.

”Oke,” Lisa mulai berkomentar, dia meletakkan tehnya dan mulai serius dengan tulisan tangan Viona,”Kalau kau mengusulkan tiga point itu untuk strength dan opportunity….,”Lisa mencoba memahami kembali maksud tulisan Viona,” Hm…, untuk SO STRATEGIC, kita tempatkan Pembuatan anggaran dana untuk pencukupan SDM, fasilitas dan sarana-prasarana serta Penentuan program-program yang mendukung farmasi klinik dan pelayanan farmasi 1 pintu. Bagaimana?”

“Usul yang bagus.”

“Lalu WO Strategic-nya….” Lisa mulai mencorat-coret kertas kosong di depannya, membuat tabel untuk analisa SWOT dari analisa lingkungan eksternal-internal tersebut, WO STRATEGIC : Seleksi obat (dengan penegakan PFT dan formularium), Pembentukan struktur organisasi yang mengacu pada pelayanan farmasi 1 pintu, Mengembangkan system informasi yang bisa digunakan untuk informasi obat, konseling obat, pengkajian obat dan logistic, Penambahan dan pengembangan SDM farmasis (Farmasi klinik) dan beberapa tenaga teknis kefarmasian yang berwawasan IT, ST STRATEGIC : Penegakan  procurement yang efektif dan efisien, Pembuatan SOP dan alur distribusi dari gudang farmasi ke unit-unit yang lain, Penetapan system distribusi yang mendukung pelayanan farmasi klinik, sedangkan WT STRATEGIC: Training karyawan baru & retraining karyawan lama tentang IT, Pembagian tugas, wewenag dan beban kerja karyawan, Penjadwalan karyawan dengan lebih baik, Menciptakan media pertemuan antar professional secara bertahap dan continue.

“Lalu apa yang kita lakukan selanjutnya, Bu Lisa?”

“Oke, itu tadi adalah beberapa strategi alternative yang didapat dari SWOT Analisis, bisa kau bantu aku dengan program excel sekarang?”

“Tentu, Bu.”

Lisa mulai memilih prioritas strategi alternative melalui penilaian bobot kesesuaian strategi alternative itu dengan visi, misi, nilai dan falsafah Instalasi Farmasi rumah sakit hingga terpilihlah Critical Success Factor berdasarkan tingkat prioritas lalu masuklah pada implementasi strategi, periodisasi pencapaian sasaran, programming And budgeting, serta key performance indicator sebagai evaluasi tak lupa action plan dan Feedback, Monitoring, dan evaluasi.

Ternyata benar perkiraan Lisa, pekerjaan itu tidak akan selesai jika Viona tidak menginap, pukul dua dini hari, mereka baru beranjak tidur dan bangun dengan agak malas pagi itu. Mandi cukup membuat badan keduanya segar walau pun wajah mereka terlihat tanda-tanda kurang tidur.

“Minumlah ini, akan membuat matamu melek,” Lisa menyodorkan segelas minuman ke  Viona. Tanpa bertanya Viona langsung menyeruput minuman itu, sesaat dia batuk-batuk, lalu mulutnya menyembur-nyembur. Lisa melihat adegan itu dengan tertawa konyol.

“Teh ini pahit sekali,” kali ini dia sudah berhasil mengatasi rasa tidak nyaman di lidahnya dan matanya benar-benar melek.

“Ya, itu yang selalu aku lakukan jika mengantuk,” Lisa masih saja terkekeh.

Deburan ombak dari luar sayup-sayup terdengar. Lisa berjalan ke arah jendela, lalu berdiri mematung di sana, dari posisi itu, dia mampu melihat pemandangan laut yang terbentang.”Indah sekali,”gumamnya sembari meyeruput teh pahit di tangannya.

Viona mendekati bosnya,”Terima kasih telah mengundang saya ke sini.”

Lisa menoleh ke arahnya dan tersenyum.

“Tapi kenapa kita harus membawa pekerjaan itu kemari? Bukankah kita bisa berdiskusi di ruang anda?”

Lisa tersenyum lagi,”Aku tidak mau ada yang mensabotase rencana kita.”

“Sa…. Sa… sabotase? Maksudnya?”

“Kemarin ada seseorang yang meletakkan tape perekam di kolong meja kerjaku.”

“A….apa?”

Lisa mengangguk.

“La…lalu?”

“Lalu? Apa maksudmu dengan lalu?”

“Lalu apa yang akan anda lakukan, Bu?” tanya Viona.

“Tidak ada.”

“Tidak ada?” Viona terkejut, bagaimana mungkin Lisa setenang itu?

“Tape itu masih di tempatnya.” Lisa menhembuskan nafas, lalu memandang ke laut lepas itu, sekali lagi dia menyeruput tehnya.

“Bagaimana mungkin? Anda seharusnya membuang tape perekam itu.”

“Kalau aku melakukan hal itu, orang itu, entah siapa mereka akan berkesimpulan kalau aku mengetahui keberadaan tape itu dan mungkin akan meletakkan tape yang lain lagi di tempat yang aku tidak tahu.”

Lisa berjalan ke arah meja makan sementara Viona masih saja mematung di tempat semula, “Oh, iya Viona, aku mendengar kabar angin tak baik antara kau dan Dito….”Lisa tiba-tiba ragu dengan kalimatnya, meletakkan cangkir yang telah kosong di atas meja dan  berpikir mungkin yang akan dia tanyakan ini akan membuat Viona tersinggung, “Ah, kau tak perlu menanggapi ini jika tak mau.” Lisa mengibaskan tangannya.

“Jika maksud Anda adalah kabar perselingkuhan itu, itu semua tidak benar, Dito teman kakak saya, jadi saya tahu betul watak buruknya, saya bukan perempuan bodoh.”

“Syukurlah.”

“Lalu, anda tahu siapa yang berusaha melakukan sabotase itu?” Viona masih tertarik dengan tape perekam itu.

“Tidak, kau tahu siapa kira-kira orangnya, Viona?”

Viona menggeleng, dia tengah berbohong, dia tahu benar siapa orangnya, siapa lagi jika bukan Dito dan komplotannya dan yang paling pedih lagi, Wahyu, kakaknya adalah salah satu dari komplotan itu. Sebenarnya masih banyak lagi, bahkan bagian keuangan, bagian yang sangat vital, juga terdapat komplotan itu, tapi jika dia melaporkan semua ini pada Andre atau  dr. Sapta, kakaknya pasti juga akan kena, dia tidak mau itu. “Ah, Saya akan berangkat sekarang.”

“Apa? Kenapa tergesa-gesa, ini masih sangat pagi, kita bisa naik mobilku,”Lisa berusaha menahan Viona.

“Maaf, anda lupa kalau saya bawa motor.”

“Oh  itu, tenang saja, kau bisa mengambilnya kapan-kapan, di sini aman, kok.”

“Tidak… saya benar-benar harus berangkat sekarang, ada yang harus segera saya kerjakan.”

Dengan tergesa Viona mangambil tasnya dan segera keluar dari rumah itu. Pandangan heran masih dialamatkan Lisa padanya saat bosnya itu mengantar sampai ke depan rumah. Aneh, semula dia beralasan motor, dan sekarang ada yang harus dikerjakan.

Viona tak perduli, dia segera mengendarai motornya  ke rumah sakit, ya, ke rumah sakit, dia tahu betul yang akan dilakukannya. Dia tahu betul kalau hari ini si Brengsek itu pasti masih di ruangannya, bukankah kemarin malam si Brengsek jadwal jaga UGD? Dan ternyata benar juga, Dito masih di ruangannya. Tanpa mengetuk pintu, Viona menyerobot masuk, lalu menggebrak meja kerja Dito,”Kenapa kau lakukan itu! Kenapa memasang perekam di ruang kerja Lisa!”

Dito terkejut, dengan cepat dia berjalan ke arah pintu yang masih terbuka lebar lalu mengamati luar ruangan, setelah yakin tak ada seorang pun, dia menutup pintu. Viona menarik ujung bibir melihat hal itu,”Jadi benar kau yang melakukan?”

“Kalau iya kenapa? Kau lupa kalau kita harus membalas dendam kita?”

“Kita? Dendam kita? Kalau dendammu mungkin! Aku tidak pernah punya dendam pada keluarga Kusumadiharja, aku bisa melanjutkan kuliahku karena beasiswa dari mereka dan bekerja di rumah sakit. Aku tidak mungkin mengkhianati rumah sakit ini!”

“Kau !” Telunjuk Dito mengarah ke Viona dan menatap tajam.”Suka atau tidak, kau telah terlibat jauh dengan kami, Viona, apa kau mau aku membeberkan rahasiamu dulu?”

Viona gentar, bayang-bayang kesalahan masa lalu berkelebat. Matanya terpejam dan menggigit bibir bawahnya, takut jika Dito benar-benar melakukan ancamannya.

“Ah! Kau benar-benar busuk!” Viona lari dari ruangan itu sambil berteriak. Sementara Dito dengan senyum liciknya, memandang ke arah pintu yang terbuka lebar itu dengan tatapan puas. “Kau lupa kalau aku punya kartu As, Viona? Jangan macam-macam denganku!”

BERSAMBUNG

THE HOSPITAL

4. The Strategy (Part 2)

Di kediaman Kusumadiharja sedang berlangsung arisan keluarga, di setiap acara pasti ada bintang pesta, dan sekarang ini yang menjadi bintang pesta adalah Lisa karena Ratih sibuk memperkenalkan calon menantunya itu pada sanak keluarganya. Lisa jadi sangat tidak enak hati pada Ratih, tahu begini dia tadi pulang dulu untuk berganti baju, bukannya datang dengan masih memakai baju kerja berwarna ungu muda yang sempat jadi bahan olokan Bondan tadi siang, tapi hal itu dilakukannya karena kesibukan instalasi farmasi, dia bahkan hampir lupa dengan acara itu.

Arisan, perlu digarisbawahi, arisan atau ditulis dengan huruf capital, ARISAN adalah kegiatan yang sangat dibenci oleh Lisa. Kalau Lisa disuruh memilih antara kerja lembur atau arisan, dia pasti memilih kerja lembur. Dia tidak pernah betah di acara yang satu itu, jadilah dia sekarang cuma bengong-bengong melihat keadaan sekelilingnya dimana ibu-ibu kurang kerjaan saling pamer kekayaan suaminya atau bergosip. Ratih masih saja mengajaknya berkeliling untuk berkenalan dengan para tamunya,”Nah, ini adalah Rani Santoso, dia Ibu dari Armand,” kata Ratih saat memperkenalkan Rani. Lisa pun terkaget.

“Ibu di sini juga?” tanya Lisa pada Rani.

“Jadi kalian sudah saling kenal?” Ratih terkejut dengan tingkah Rani dan Lisa.

Rani mengangguk,”Kami berkenalan tadi pagi, aku menyeberang dengan asal hingga hampir tertabrak mobil Lisa.”

“Ah, Pak Seno keterlaluan sekali, seharusnya dia lebih hati-hati, kau harus menegurnya, Lisa.”

“Ah, sudahlah, Ratih, aku juga yang salah karena tidak hati-hati.”

“Jadi Armand dan Andre bersaudara?” tanya Lisa.

“Ya, kakek Andre adalah kakak  dari nenek Armand,” Ratih menjelaskan.

”Oo..” Lisa manggut-manggut. Seorang ibu-ibu rumpi menghampiri mereka, Lisa mencoba mengingat-ingat nama Ibu gembul itu, bukankah tadi Ratih sudah memperkenalkan mereka, tapi otak Lisa serasa buntu, banyak sekali nama yang harus dia ingat sore ini.

“Kau manis sekali, nak,”puji Ibu gembul itu sambil mengayunkan kipasnya,”Wajahmu pasti lebih cantik jika kau memakai jilbab seperti Nyonya Ratih.”

Sesaat Lisa memperhatikan Ratih, Wajah calon mertuanya itu memang sangat bijaksana dengan balutan jilbabnya, entah mengapa Lisa merasa sangat sedih sekali,”Saya akan mengambil makanan dulu,” Lisa undur diri dan segera menuju meja makan.

Memakai jilbab? Bukankah hal itu sudah pernah dilakukannya waktu SMA? Ya, dia ingat sekali waktu itu, dia sangat berniat sekali waktu itu, sampai akhirnya sesuatu memporak-porandakan niatan itu, membuatnya mempertanyakan kembali niat itu. Sungguh mungkin hal ini dikarenakan imannya kurang kuat atau apa pun itu dia tidak tahu. Saat sebuah keluarga menolaknya sebagai calon menantu hanya karena jilbab yang dia kenakan, belum lagi omongan calon kakak iparnya yang dengan pedas mengatakan pada calon suaminya,”Apakah kau sudah yakin kepalanya itu normal? Bisa saja telinganya cuma ada satu, atau rambutnya gundul!” dan anehnya calon suaminya itu sangat bodoh dengan mengatakan semua keberatan keluarganya itu padanya. Tapi Lisa masih bertahan dan berusaha menenangkan dirinya kalau mungkin ini cobaan atau mungkin ini ladang dakwah baginya, tapi saat peristiwa demi peristiwa terorisme muncul, kepercayaan calon suaminya mulai luntur, hingga dia memutuskan hubungan, dan ironisnya dia memutuskan itu hanya lewat SMS!

Masih lewat SMS, saat Lisa menanyakan apa alasan hingga harus memutuskan hubungan, apakah ada wanita lain? Atau karena jilbab? Lelaki itu masih diam, dan saat Lisa terus mendesak adanya alasan yang terungkap. Pria brengsek itu mengetik,”Dari awal itu sebenarnya aku sudah ilfill sama kamu, kamu bukan tipeku, kamu memakai jilbab, kamu terlalu kurus untukku.”

Cukup! Dasar lelaki brengsek! Seminggu lebih Lisa meratapi dirinya, meratapi fisiknya hingga dia membuka buku anatomi dan fisiologi manusia, dia menghitung berapa berat badan normal untuk wanita dengan tinggi 160 centimeter, ya.. itu adalah tinggi badannya dan mendapati bahwa berat badannya yang waktu itu tergolong ideal untuk wanita setinggi itu. Yang lebih parah adalah saat dia memvonis dirinya sendiri kalau dia menderita Achilles syndrome, sungguh dia harus menjalani terapi untuk keluar dari keterpurukan itu hingga dia mengambil keputusan yang paling bodoh yaitu menanggalkan jilbab. Dia seperti ingin membuktikan bahwa yang dipikirkan oleh lelaki brengsek dan keluarganya itu salah. Kepalanya tidak cacat, rambutnya bagus, otaknya juga masih waras hingga dia tidak mungkin terlibat aksi terorisme. Dan sekarang di sinilah dia, menjadi calon menantu dinasti Kusumadiharja, setelah kegagalan cintanya dengan lelaki brengsek itu dan Armand, dia menemukan Andre, Andre yang memujanya, Andre yang mencintainya dengan tulus tak perduli latar belakang keluarganya yang broken home dan tingkah lakunya yang kadang seenaknya. Andre yang memperlakukannya seperti barang antik yang mudah pecah hingga tak berani bertindak macam-macam yang merusak kesuciannya. Apalagi yang dia harapkan sekarang? Tidak! Dia tidak ingin wanita gembul itu merusak suasana hatinya sekarang. Dia sudah sangat tidak betah dengan suasana arisan, acara yang memang sangat tidak dia sukai sejak kecil.

“Bodoh! Bodoh! Bodoh! Ini bukan saatnya mengenang masa-masa itu,” Lisa berbicara sendiri sambil memukul-mukul kepalanya.

“Onti memang bodoh memukul-mukul kepala seperti itu,” suara itu sangat cempreng dan tidak enak didengar. Lisa membuka mata dan mendapati Sasa sudah berdiri di depannya. Anak berumur enam tahun itu sudah nyegir, sejak kapan dia memperhatikanku? Pikir Lisa.

“Hai, kau di sini juga?” tanya Lisa sadis.

“Ini rumah omaku, apa aku tidak boleh di sini?” ocehan Sasa sambil berusaha meraih potongan brownies di meja makan. Kakinya menjinjit karena meja makan itu terlalu tinggi untuknya lalu dia meloncat-loncat dan Lisa masih cuek saja dengan tingkah anak kecil yang bawel itu.

“Tolong ambilkan dong, Onti,” pinta Sasa

“Ha! Kau ternyata minta tolong juga.”

“Terpaksa.”

“Apa?”

“Ambilkan!” bentak Sasa.

“Ambil sendiri!”

“Hai ternyata kalian di sini?” tanya Yana saat mendapati Lisa dan Sasa di dekat meja makan,”Apa yang kalian lakukan?”

Lisa tersenyum dan mengelus-elus kepala Sasa, dia kelihatan sangat munafik dengan tingkahnya itu, lalu dia mengambil sepotong brownies untuk diberikan pada Sasa,”Oh, enggak, Kak, Sasa Cuma minta tolong diambilkan ini.”

Sasa segera berlari setelah merebut brownies itu dari tangan Lisa.

“Wah, kalian memang benar-benar akrab, ya. Aku jadi semakin tenang menitipkan Sasa padamu.”

Lisa cengar-cengir, sekali lagi dia tidak habis pikir jika saat itu tiba, saat Sasa harus tinggal selama seminggu di rumahnya. Seorang teman lama menyapa Yana, dia akhirnya meninggalkan Lisa yang masih sibuk memilih-milih snack yang ingin dia makan. Sasa memperhatikannya dari seberang kolam renang. Lisa sadar kalau anak bawel itu memperhatikannya, Sasa bahkan mengikutinya dari belakang. Dengan risih Lisa mendelik dan mengacungkan tinjunya ke arah anak itu.

Lisa memang sangat canggung dan terkesan cuek jika di depan anak kecil. Dia masih ingat, teman-teman kuliahnya selalu merasa gemas jika melihat anak kecil yang lucu. Mereka langsung mendekat, menciumi atau menggendong jika ada anak kecil yang lucu di dekat mereka. Bahkan kadang mereka cuma sekedar berujar,”Ih.. lucunya….” Tapi lain dengan Lisa, saat teman-temannya mengerubuti anak kecil yang lucu, dia cuek-cuek saja, pandangan matanya seperti bicara,”Tau, ah.. gelap!” Ternyata ada juga salah satu temannya yang menyadari keanehannya itu, dia bahkan mengkritik Lisa habis-habisan, menjudge kalau rasa keibuannya belum muncul dan harus segera dimunculkan. Lisa tak ambil pusing dengan kritikan temannya itu, “Bodo amat, emang gue pikirin.”

Tiba-tiba Sasa mendekatinya lagi, mau apa lagi, nih anak, pikirnya.

“Kenapa onti mau menjagaku selama Papa Mama pergi?”

“Apa?”

“Bukankah Onti tidak suka padaku?”

Lisa tersenyum, Sasa melengos, “Senyuman yang tidak enak dilihat.”

“Aku memang tidak suka denganmu, tapi aku juga tidak tega kalau kau sendirian di rumah.”

“Aku bisa tinggal bersama Ongkel,” Sasa ngeyel.

“Hah? Bersama Ongkel? Yang benar saja, yang ada kamu hanya dicuekin kalau Ongkelmu itu sibuk.”

“Aku tidak apa-apa tinggal sendiri, aku kan sudah besar!”

Yiah… anak ini benar-benar ngeyel.

“Oh ya? Ambil brownis di meja makan saja musti dibantu, masih bilang sudah besar!”

Kali ini Sasa tidak bisa menjawab, mulutnya megap-megap. Lisa tersenyum puas, merasa menang di depan anak bawel itu lalu meninggalkan Sasa yang perhatiannya mulai tertuju pada mobil-mobilan yang dimainkan oleh anak Dito. “Emang gue pikirin!”

—%END OF PART%—

 

THE HOSPITAL

4. The Strategy (Part 1)

Batam yang sibuk, membuat beberapa pengusaha menaruh minat pada kota ini, kota kecil yang menjanjikan. Begitu juga bagi Andre dan keputusannya untuk ikut meramaikan bisnis di kota ini. Kini dia sedang berdiri di dalam ruang rapat,  menghadap ke arah dinding kaca hingga nampak di depannya suasana luas kesibukan kota yang terlihat jelas dari ruangan yang terletak di lantai lima itu. Penandatanganan atau lebih tepat disebut pengambilalihan telah dilakukan tiga puluh menit yang lalu, masih tampak di angan Andre mimik para petinggi perusahaan yang dia ambil alih, tatapan mata para karyawan terhadap dirinya seakan bertanya,”Hai, apa yang akan dilakukan oleh bos baru ini?” atau sekedar rasa memelas,”Tolong, jangan pecat kami.”

Andre menghela nafas. Kini dia mengerti kenapa Lisa sangat tidak menyukai akuisisi, bisa dibilang seperti penjajahan. Dia mulai berpikir apa yang akan dia lakukan terhadap perusahaan barunya ini. Akankah dia bertindak sebagai broker atau tetap menjalankan saja dengan usaha perampingan dan pendanaan yang minim, lalu bagaimana dengan tatapan memelas itu, tatapan yang seakan berkata, “Tolong, jangan pecat kami.”

Di saat pikirannya yang kalut itu, dia mengingat Lisa, kata-kata Lisa yang tidak menyukai akuisisi dan lebih memilih aliansi strategic dan merger lalu dia mengira-ira apa yang tengah dilakukan gadisnya itu sekarang. Ya, itulah satu-satunya hiburan yang selalu menyertainya di jam-jam sibuk, diantara kerja kerasnya mempertahankan dinasti Kusumadiharja, dengan mengingat-ingat segala hal yang akan direncanakannya dengan gadisnya itu, gadis yang sangat dicintainya, sebuah pernikahan! Dan kini Andre tersenyum simpul dalam lamunannya. Andai saja semuanya berbeda, andai saja dia bukan pewaris dari Kusumadiharja, dia lebih ingin menghabiskan banyak waktu dengan Lisa.

Angannya kembali menuju ke masa awal perkenalannya dengan Lisa. Masa ketika dirinya masih berstatus sebagai mahasiswa Magister Manajemen UGM. Gadis itu begitu cuek dan Andre tak habis pikir kalau ternyata ada orang yang lebih cuek dari dirinya. Gadis itu selalu menggunakan pakaian seenaknya, berbicara dengan suara keras dan tertawa lepas. Tapi dia suka dengan tingkahnya itu. Dia suka saat suara Lisa lebih mendominasi dari pada suara teman-temannya, seperti gelas kaca, ya… gelas kaca bening yang begitu jujur menampilkan apa saja yang ada di hatinya tanpa sedikit pun yang ditutupi.

Andre begitu penasaran pada waktu itu hingga menyuruh orang untuk menyelidiki siapa Lisa, dan jawabannya seperti yang telah dia duga. Lisa tidak sedang bersama seseorang dan tidak ada pria yang sedang menunggunya. Andre melonjak kegirangan saat menerima kabar itu dan berjanji dalam hati akan lebih memperhatikan Lisa lagi. Mungkin perhatian Andre begitu berlebihan hari itu, saat dia dan Lisa menghadiri workshop di Fakultas kedokteran. Andre begitu perhatian hingga mengambilkan kotak snack untuk Lisa.

“Tak seperti biasanya?” pikir Lisa dalam hati.

“Kau mau tambah minumnya?” tanya Andre dengan manis. Lisa mengangguk. Andre segera menuju stand minuman dan Lisa melongo begitu mendapati Andre kembali dengan segelas minuman di tangannya.

“Apa kau mau buah?” tanya Andre lagi.

“Kalau tidak merepotkan,” jawab Lisa sambil memakan snack, lagi-lagi Andre segera berlalu dan kembali dengan sepiring buah ditangannya. Lisa pun sukses dibuat keheranan oleh Andre. Dia mulai batuk-batuk, Andre menepuk-nepuk punggungnya sambil menyodorkan minuman.

“Hari ini kau aneh sekali,” protes Lisa setelah berhasil mengatasi tersedaknya.

“Aneh bagaimana?”

“Ya aneh, tidak seperti biasanya,” jawab Lisa seenaknya,”Biasanya kalau orang bertingkah tidak seperti biasanya, biasanya orang itu akan mati.”

Lisa terbahak sambil menutupi mulutnya dan Andre memandangnya dengan muka merah padam, sungguh tidak bisa dimaafkan karena Lisa mendoakan kematiannya. Dengan geram Andre nyelonong pergi dari Lisa yang masih saja tertawa memegangi perutnya. Langkah pertamanya memberikan perhatian pada Lisa gagal total, ternyata gadis itu memang tidak mempunyai sisi romantis sama sekali, benar-benar menjengkelkan.

Begitulah Lisa, sangat tidak berperasaan, terlalu banyak bercanda, tapi akhirnya saat itu datang juga, dan anehnya datang di tempat yang sama sekali tidak terbayangkan oleh mereka yaitu di masjid agung kampus. Andre sangat mengingatnya, pada hari itu dia menghadiri pengajian di masjid itu, tema dari pengajian itu adalah “Pacaran sesudah menikah”. Semua pasti tahu tema itu bercerita tentang taaruf dan pernikahan dan tiba-tiba forum dikejutkan oleh pertanyaan konyol seorang peserta wanita,”Bagaimana dengan fantasi seks sebelum menikah? Apakah itu berdosa?”

Sontak semua orang heboh, arena akhwat dan ikhwan yang terpisah oleh hijab tinggi dan membentang membuat para ikhwan penasaran karena tidak bisa melihat siapa wanita yang dengan polosnya menanyakan hal itu, tapi Andre tahu siapa wanita itu. Siapa lagi kalau bukan cewek bertubuh kecil tapi bersuara keras. Dia heran juga karena Lisa ternyata tertarik dengan acara semacam ini.

Para akhwat memandang Lisa tajam, sangat tidak sopan, kira-kira begitulah arti tatapan mereka. “Kenapa? Alah, gak usah muna,deh…,” protes Lisa. Andre geleng-geleng kepala sambil mengira-ira ekspresi wajah gadis itu di ujung sana.

Ternyata tebakan Andre itu tidak meleset, gadis itu memang benar Lisa. Kini Lisa tengah bermain ayunan di taman bermain yang ada di dekat masjid itu. Acara pengajian sudah selesai sejak tadi. Dengan agak ragu, Andre mendekati gadis itu. Bagaimana tidak? Gadis itu sekarang menggunakan gamis dan jilbab sangat bertolak belakang dengan penampilan yang selalu ditunjukkannya selama ini.

“Oh, berarti benar kalau cewek tadi kamu,” sapa Andre setelah sampai di depan Lisa. Lisa menoleh sebentar, lalu melanjutkan bermain ayunan.

“Pertanyaan macam apa itu tadi? Masa hal itu ditanyakan cewek?” cerca Andre lagi. Lisa hanya senyum-senyum. Lisa masih mengingat kejadian di workshop tempo dulu dimana Andre yang marah karena omongannya ngeloyor pergi begitu saja. Memang Lisa sangat risih dengan perhatian Andre waktu itu, dia tidak biasa diperhatikan semacam itu, Ayahnya selalu melatihnya untuk mandiri setelah Ibunya meninggal, sehingga dia tidak bergantung pada perhatian orang lain. Tapi perhatian yang diberikan oleh Andre memang berbeda, dia mengakui itu, Lisa juga tahu maksud dari perhatian yang Andre berikan, dia bukannya orang yang tidak berperasaan.

Lisa tiba-tiba menghentikan aktifitasnya dengan ayunan. Dia memiringkan wajahnya demi melihat ekspresi wajah Andre yang membelakangi sinar matahari, memang membuat pandangan mata Lisa serasa silau. Saat tubuh Andre menutupi cahaya menyilaukan itu, Lisa bersuara,”Kau mau jadi calon suamiku?”

Serta-merta wajah Andre memerah dibuatnya. Mimpi apa dia semalam? Seharusnya dialah yang menyatakan cinta, melamar atau apalah istilahnya tapi kenyataannya cewek bertubuh mungil ini yang duluan, di tempat yang sungguh jauh dari romantis dan di jam setengah dua siang, saat matahari terik-teriknya tapi bukankah hal ini yang dia inginkan tak peduli siapa yang memulai, dimana dan jam berapa.

“Mau tidak?” ulang Lisa. Kali ini Lisa sudah berdiri di depan Andre. Andre jadi linglung,”E….e…., Aku…aku belum siap untuk menikah.”

“Hei, aku memintamu menjadi calon suamiku, bukan menikahiku besok!” seloroh Lisa sambil berlalu.

“Tunggu!” cegah Andre. Lisa membalikkan badannya dan Andre sekali lagi berjalan mendekat,”Kau tidak mengharapkan ku menjawabnya sekarang, kan? Di film-film biasanya mereka meminta waktu satu atau dua hari untuk menjawab pertanyaan itu.”

Lisa mengibaskan tangannya,”Ah, terserah kaulah, tapi jangan salahkan aku jika besok ku berubah pikiran!”

Berubah pikiran? Bagaimana jika Lisa berubah pikiran? Andre jadi ngeri, dia tergagap waktu gadis itu hendak meninggalkannya lagi, dia berlari dan menghadang langkah Lisa. Kedua tangannya segera memegang pundak Lisa saat gadis itu berada di depannya dan dia mulai mengatur nafas,”Iya, iya, Aku mau jadi calon suamimu.”

Lisa tersenyum menang,”Nah, gitu dong.”

Lisa meneruskan langkahnya lagi.

”Cuma begitu?” tanya Andre.

“Cuma begitu apanya?”

“Kau hanya menanyakan itu?”

“Lalu kau maunya apa?”

Aish, cewek ini bodoh atau apa,sih? pikir Andre. Sepertinya Andre memang harus sabar pada Lisa. Gadis itu memang agak tidak jelas, semenit yang lalu dia memaksa Andre menjadi calon suaminya dan sekarang mau pergi dari Andre begitu saja, sangat tidak romantis, pikir Andre lagi. “Kau mau pergi kemana? Aku bisa mengantarmu?” tanya Andre mengalihkan perhatian.

“Pulang ke kos,” jawab Lisa.

“Oh, aku antar, ya?”

Lisa mengangguk dan itulah awal dari masa-masa Andre bersama Lisa. Andre jadi geli mengingat peristiwa itu, sementara kesibukan Batam masih terpampang di depannya. Seorang laki-laki paruh baya mendekati Andre, rupanya itu adalah Andika, penasehat keuangannya,”Saya tidak tahu kalau anda masih di sini, Pak Andre.”

Andre masih tetap memperhatikan view yang membentang di bawahnya,”Ya, kau sudah meneliti keuangan di perusahaan ini?”

“Iya, banyak kebocoran.”

“Pastikan kau tempatkan orang kepercayaan kita di sini, angkat orang yang benar-benar handal, jika perlu seorang workhaholik yang masih idealis.”

“Baik, Pak Andre.”

Andre menuju notebooknya yang sedari tadi tergeletak di atas meja rapat. Saat dia akan membereskan notebook itu…

“Maaf, Pak Andre, mungkin yang saya tanyakan ini agak lancang.”

Andre menoleh ke arah akuntan itu,”Ada apa?”

“Bagaimana dengan Optima Medika? Bukankah lebih baik jika kita segera melepaskannya selagi bisa?”

Andre terkejut, memang sudah lama Andika mengingatkannya tentang Optima Medika yang hampir bangkrut, dan saran dari akuntan itu agar segera menjual saja rumah sakit itu sebelum terlalu banyak menyusahkan keuangan PT. Kusumadiharja Tbk.”Pak Andika, anda tahu sejarah berdirinya rumah sakit itu, bukan?”

“Tentu, Pak Andre, rumah sakit itu didirikan sebagai pelayanan kesehatan karyawan PT.Kusumadiharja, Tbk tapi kita tidak bisa terus-terusan mempertahankan ‘dog’ itu hanya akan memperlama penderitaannya.”

Andre tersenyum, “Dog? Cow? Star? Lalu Question Mark? Lalu siapa yang Cow? Siapa ?” Dia menggelengkan kepala, “Anda anggap Kusumadiharja, Tbk itu sapi perah, Pak akuntan?”

“Bukan begitu maksud saya, Pak Andre.”

“Kau ingin aku menggunakan strategi apa? Niche?” tantang Andre.”Salah satu tanggungjawab industri adalah moral responsibilities. Anggap saja keputusanku untuk mempertahankan rumah sakit itu adalah bentuk tanggungjawab moral Kusumadiharja, Tbk.”

Andika memahami pendirian bosnya dan Andre pun segera berlalu dari ruangan itu.

—-><#BERSAMBUNG#><—-

THE HOSPITAL

3. Pharmacist on the Duty (part 6)

Lisa menghirup nafas panjang, direntangkannya kedua tangannya untuk membantu memenuhi paru-parunya dengan udara, lalu ditelungkupkannya lagi seiring dengan keluarnya udara itu dari hidung mungilnya. Kini dia tengah berada di lantai teratas  dari gedung rumah sakit, atau bisa di bilang atap beton rumah sakit. Andre  yang menunjukkan tempat ini  di hari pertamanya bekerja di rumah sakit. Ya, setelah rapat perkenalannya dengan para petinggi rumah sakit itu.

“Kau tahu, ini adalah tempat favoritku sejak kecil,” kata Andre pada waktu itu.

“Oh ya? Sudah berapa cewek yang kau ajak kemari?”  Lisa yang kini berdiri di sampingnya menanggapi.  Andre menoleh ke arahnya, “Kau sama sekali tidak romantis dengan menanyakan masalah itu sekarang,” omelnya.

Lisa cekikikan,” Oh, jadi kau bermaksud romantis.”

Andre merekuh tubuh Lisa, kini dia memeluk Lisa dari belakang dengan dagu menempel di pundak tunangannya itu. Ya, sama seperti sebelum-sebelumnya, hanya pelukan, ciuman di kening dan di pipi, tak kurang dan tak lebih dari itu.

“Setiap kali aku bercerita tentang masa kecilku, kau harus menganggapnya romantis,”perintah Andre. Kini dia kembali pada kebiasaannya, memutuskan apa yang dianggapnya benar bagi mereka bedua.

“Memangnya kenapa dengan tempat ini? Tempat ini biasa saja.”

“Aku selalu ke tempat ini setiap kali ada masalah, tidak ada yang bisa menemukanku di tempat ini, bahkan orang tuaku sendiri.”

“Hai, Tuan Andre yang terhormat, kau sudah mengajakku ke tempat ini, jadi aku pasti akan bisa menemukanmu jika kau menghilang.”

“Oh ya?” Andre tersenyum, dia mempererat pelukannya. Dia tidak perduli bahwa angin tengah mempermainkan rambut Lisa sehingga menerpa wajahnya yang masih saja menempel di dagu gadis itu. “Mungkin karena kau adalah gadisku, jadi aku menceritakan semua ini padamu.”

“Kau yakin tidak pernah mengajak cewek lain ke tempat ini?” goda Lisa.

“Huh, kenapa kau selalu menanyakan cewek lain?” Andre melepaskan pelukannya. Lisa tersenyum simpul,”Jangan marah, ayo peluk aku lagi.”

Andre berjalan ke depan, saat langkahnya sampai di bagian akhir dari dinding setinggi pusarnya itu, dia merentangkan tangannya sembari menghirup udara dalam-dalam. “Tidak ada gadis lain,” sambungnya saat Lisa telah berdiri di sampingnya.

“Andre, bolehkah jika aku juga menjadikan tempat ini sebagai tempat favorit?”  Andre mengangguk.

Ya, itulah yang terjadi sore itu yang diakhiri karena mereka harus mengunjungi Ratih, dan sekarang, tempat ini sudah dijadikan Lisa sebagai tempat favoritnya, kini dia bisa mengerti kenapa Andre sangat menyukai tempat ini, dari sini dia bisa melihat seluruh pemandangan rumah sakit, bagaikan seorang arsitek yang tengah melihat maket gedungnya, kesibukan rumah sakit terlihat begitu jelas di sini, sirine yang mengaung dari ambulance yang baru tiba di UGD, pasien yang berjalan-jalan sembari memegangi botol infusnya di taman, atau pun anak-anak para pengunjung yang bergurau di dekat taman bermain. Lisa menikmati pemandangan itu sambil memikirkan langkah apa yang selanjutnya dia lakukan untuk instalasi, perombakan besar-besaran, ya, perombakan besar-besaran, pikirnya dalam hati.

Seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Lisa terkejut. Apakah Andre? Tidak tidak, Bukankah Andre sedang di Batam?

“Rupanya ini benar kau?” suara orang itu. Seorang wanita. Lisa mebalikkan tubuhnya. “Kak Yana?”

Wanita itu adalah Yana, kakak Andre.”Kau jahat sekali tidak langsung mengunjungiku sesampainya di Jakarta.”

Lisa menyadari kesalahannya, dia segera minta maaf.

”Ku lihat kau juga menyukai tempat ini?” tanya Yana setelah menerima permintaan Maaf Lisa.

Lisa tersenyum mengiyakan,”Tunggu, bagaimana kakak tahu tentang tempat ini?”

Yana tertawa, dia menggerak-gerakkan telunjuk tangan kanannya di depan Lisa sementara tangan kirinya menutupi mulutnya. “Adikku pasti mengatakan kalau tempat ini adalah favoritnya, kan?”

“Dasar lelaki gombal, sok romantis,” Lisa ngomel-ngomel. Yana menghentikan tertawanya,”Tunggu dulu, dia tak sepenuhnya bohong. Tempat ini memang favoritnya.”

“Tapi dia mengatakan tidak akan ada yang menemukannya bahkan orang tuanya,” protes Lisa.

“Orang lain  memang tidak bisa menemukannya, tapi aku bisa,” seru Yana yakin sambil mengepalkan tinjunya. Lisa memandangnya penuh tanya.

“Sebenarnya aku yang lebih dulu menemukan tempat ini,” Kisah Yana.

Yana mulai bercerita tentang masa kecilnya, dimana keluarga Kusumadiharja yang hanya mempunyai dua orang anak, Yana dan Andre, umur mereka yang terpaut lima tahun membuat mereka dekat dan saling melindungi, tetapi saat Yana memasuki SMP, dia merasa adiknya begitu merepotkan, bagaimana tidak, Yana adalah ABG yang mulai mempunyai rasa suka terhadap lawan jenis, dia ingin bebas  kemana saja dengan siapa saja, sedangkan Andre, adiknya itu selalu membuntutinya ke mana pun dia pergi. Dia tidak terima itu, serasa tidak ada privasi.

Saat pembangunan rumah sakit selesai, dia menemukan tempat itu, ya, tempat yang dianggapnya tepat untuk menyendiri. Di sini dia bisa melakukan apa saja tanpa diganggu oleh rengekan Andre. Dia bisa menulis surat cinta untuk pujaan hatinya, dia bisa membaca surat cinta dari pemuja rahasianya sambil tersenyum-senyum tanpa Andre yang menuduhnya gila karena senyum-senyum sendiri. Hal itu berlangsung cukup lama tapi tidak setelah itu, ya setelah kejadian itu. Kejadian sebelum dia lulus SMA.

Plak! Suara tamparan terdengar, Yana menghambur ke arah laki-laki itu, teman-temannya menahannya untuk tidak berbuat yang lebih jauh, dia meronta, emosi menguasai dirinya. “Sudahlah, Yana. Tidak ada gunanya kau menamparnya,” seru salah satu sahabatnya.

“Iya, nasi sudah menjadi bubur, Dina sudah hamil sekarang, kau tampar Dito seperti apa pun, dia harus bertanggungjawab terhadap Dina,” sahut sahabatnya yang lain.

“Lepaskan aku ! Lepaskan!” Yana masih saja meronta-ronta. Lelaki itu, Dito, Lelaki yang dipacarinya semenjak SMP, dan ternyata dia mendapati lelaki itu menghamili Dina, sahabatnya juga, rupanya mereka diam-diam berhubungan di belakangnya. “Aku bilang lepaskan!”

“Kami akan melepasmu kalau kau tidak emosi lagi!”

Yana meronta lebih keras, kali ini dia berhasil lepas, dia segera menerjang Dito yang sedang mengelus-elus pipinya yang memerah. Yana segera memukuli bahu laki-laki itu dengan tas yang dibawanya, Dito mengangkat kedua tangannya untuk menangkis serangan Yana, Yana benar-benar muntap. Teman-temannya segera melerai, tapi kali ini mereka tidak bisa menangkapnya lagi karena Yana segera lari meninggalkan mereka sambil menangis.

Yana segera mengendarai mobilnya, kemana lagi kalau bukan ke tempat privasinya itu. Saat mobilnya tengah memasuki pelataran rumah sakit, Andre yang habis menjenguk salah satu temannya sekaligus anak karyawan papanya itu, melihatnya berlari dari mobil dalam keadaan yang yang kacau. Diam-diam dia mengikuti kakaknya dan di sanalah Yana berakhir, di atap beton teratas dari rumah sakit itu, dalam keadaan jongkok, menangisi kepedihan hatinya.

Andre mendekati Yana, dia menepuk bahu kakaknya itu. Yana mendongak, air mata masih menggenang kemudian dia memeluk tubuh adiknya itu, tangisnya makin keras, sementara sang adik membiarkan saja dia berlaku demikian, tanpa mengucap sepatah kata pun. Setelah Yana puas menangis, mereka duduk bersila dan mengobrol satu sama lain.

“Pasti karena DIto,” tebak Andre. Yana tersenyum,”Kau benar dan kali ini lebih parah.”

“Memangnya apa yang dilakukan Dito pada kakak?”

“Tepatnya bukan padaku, tapi pada temanku.”

“Lalu kenapa kakak menangis, bukankah dia tidak menyakiti kakak?” tanya Andre. Kali ini Yana tidak mampu menjawab, dia tidak mungkin menjelaskan pada Andre kalau Dito menghamili Dina. Menghamili! Bukanlah kata yang pantas untuk dia ucapkan pada adiknya walau pun adiknya itu sudah berusia tigabelas tahun.

“Ah, kau masih kecil, kau tidak akan mengerti.”

“uh… kenapa semua orang menganggapku masih kecil,” Andre memajukan bibirnya.

“Karena kau memang masih kecil, adik kecil…,” goda Yana sambil mengobrak-abrik rambut Andre yang kala itu masih berponi. Andre semakin memajukan bibir. Yana tertawa melihat ekspresi wajah Andre.

“Kau mau berjanji pada kakak?”

“Janji? Janji apa?”

“Kau sudah tahu tempat ini sekarang, kau harus janji tidak akan memberitahukan tempat ini pada siapa pun bahkan pada Papa dan Mama. Janji?”

Andre mengangguk. “Janji!” serunya sambil mengacungkan kedua jarinya.

Yana tersenyum mengingat peristiwa itu.“Setelah itu dia juga menganggap tempat ini sebagai tempat favoritnya, tapi dia memang anak yang menepati janjinya dengan tidak mengatakan tentang tempat ini pada siapa pun, kecuali denganmu tentu saja.”

“Kakak yakin dia tidak memberitahu orang lain lagi?” Lisa memastikan.

“Tentu saja aku yakin, aku kenal adikku, dia tidak bisa bohong dariku,” pasti Yana. Mereka tertawa bersama, kini mereka melangkah pergi dari tempat itu, dan melanjutkan obrolan mereka di cafeteria rumah sakit, istrirahat makan siang rupanya masih lama, sehingga mereka bebas mengobrol.

“Aku tidak percaya kakak berani menceritakan masalah itu? Apa kakak tidak malu?” tanya Lisa, yang dia maksud adalah peristiwa patah hatinya itu pada Dito. Yana mengibaskan tangannya,”Ah, buat apa malu, toh aku menceritakan semua itu padamu, calon adik iparku.”

Dito terlihat memasuki cafeteria dan duduk di meja paling pojok dari cafeteria sembari membaca buku menu, Yana dan Lisa mengawasi gerak-geriknya, lalu tersenyum berdua. “Dia agak tambun sekarang,”ujar Yana.

Lisa memainkan matanya, dia menggoda Yana, “Tapi cowok tambun itu yang dulu membuat kakak patah hati,kan?”

Yana memonyongkan bibirnya. Ekspresi wajahnya itu sangat mirip dengan Andre. Lisa tambah tertawa. Dia memang sangat menyukai kakak Andre, sejak pertama mereka bertemu, entah kenapa Lisa bisa langsung akrab dengan Yana, mungkin karena nama Yana yang sama dengan nama almarhumah Ibunya dan yang membuat Lisa tambah heran lagi, nama suami Yana adalah Bondan, sama dengan nama pamannya yang mati muda karena kecelakaan lalu-lintas. Lisa berpikir mungkin ini memang sudah takdir. Dia telah mendapatkan kembali orang-orang yang dicintainya.

“Ada kabar kalau dia sekarang terlibat affair dengan Viona,”

“Apa?”

“Ya, Aku dan Andre dari dulu menyebutnya playboy kadaluarsa.”

Mereka berdua terkekeh. “Lalu bagaimana Dito bisa meraih gelar dokter?”

“Karena kejadian itu terjadi  sehari sebelum kami lulus SMA, maka dia bisa melanjutkan kuliah setelah menikah dengan Dina, sedangkan Dina, dia harus rela hanya sebagai ibu rumah tangga, toh dia sudah menjadi seorang nyonya dokter sekarang,” urai Yana.

“Nyonya dokter?” tanya Lisa, sepintas dia teringat Armand dan Ibunya yang sangat ingin mempunyai menantu seorang dokter.

“Iya, Nyonya dokter, kenapa?” tanya Yana.

Lisa menggeleng,”Tidak apa-apa.”

“Lagi pula kalau dilihat-lihat, Dito tidak lebih tampan dari Mas Bondan, apalagi dari Andre,” lanjut Yana sembari melihat lagi ke arah Dito,”Kau tahu, adikku itu mewarisi wajah Ibuku yang elok, banyak gadis yang tergila-gila padanya sejak remaja,” Yana berbisik di telinga Lisa.

“Benarkah?” Lisa tertawa.

“Iya, dan anehnya dia sama sekali tidak merespon mereka, sebenarnya jika Andre mau, dia bisa memanfaatkan mereka, ya.. seperti Dito memanfaatkan wajahnya untuk mendekati aku dan Dina.”

“Kenapa Andre bisa seperti itu?” tiba-tiba saja Lisa jadi ingin tahu tentang masa lalu Andre padahal selama ini dia terkesan cuek bebek dengan masa lalu Andre karena merasa Andre selalu jujur padanya.

“Karena dia menghormati perempuan, karena dia dekat dengan kakaknya,” yakin Yana,”Tapi sebenarnya itu juga kesalahanku.”

“Kesalahan kakak?”

“Iya, kau tahu, Papa meninggal karena kesalahanku, karena aku hamil sebelum Mas Bondan menikahiku, sebenarnya Papa tidak suka kalau Mas Bondan jadi suamiku.”

“Ah, kakak terlalu keras menyimpulkan, bukankah umur seseorang itu Allah yang mengatur?”

“Iya, tapi aku sangat menyesali kejadian itu, kau tahu, aku merasa bersalah karena mengecewakan Papa, dan aku menceritakan semua itu pada Andre,” Yana menceritakan semua itu sambil terbata-bata. “Dan rupanya kesimpulan lain juga berhasil ditarik oleh Andre, Dia menentang keras hubungan seks pra nikah dan menjunjung tinggi virginitas sebelum menikah.”

Lisa melongo, jadi inikah sebabnya? Pelukan, cium pipi dan kening hanya itu, tidak kurang dan tidak lebih!

“Kau sudah melakukan apa saja dengan Andre?” tanya Yana tiba-tiba.

“Maksudnya?”

“Maksudnya, kalian sudah melakukan itu?”

“Itu?”

“Iya! Itu!” Yana membelalakan matanya sambil menekankan kata “itu”. Lisa menggeleng.

“Lalu apa saja yang sudah dilakukan Andre padamu?”

“Terkadang dia memelukku,”

“Hanya itu?”

“Mencium pipi dan kening.”

“Itu saja?”

Lisa mengangguk. Yana mulai mengerti, “Sudah aku duga, adikku itu memang pria paling perjaka di dunia, dan kau.. apakah kau sudah pernah melakukannya dengan pria  lain?”

Lisa menggeleng cepat,”Tentu saja belum, gila apa kalau aku melakukan itu?”

“Hmm, aku tahu sekarang kenapa dia memilihmu,” Yana manggut-manggut,”Tapi kalau cuma pelukan dan ciuman pipi, rasanya kurang seru, Andre juga melakukan itu pada Sasa.”

Sasa, tiba-tiba Yana teringat pada anaknya itu, sementara Bodan yang melakukan checkup kesehatan rutin, belum nampak batang hidungnya.

“Oh iya, Lis, minggu depan aku dan Mas Bondan ada acara di Samarinda, tapi kami tidak bisa mengajak Sasa karena dia harus sekolah. Kamu mau, gak kalau kami minta tolong kamu untuk menjaga Sasa? Dia bisa kok menginap di rumahmu?” pinta Yana.

“Sebenarnya, sih aku inginnya Mama yang mejaga Sasa, tapi Mama kurang telaten dengan Sasa dan lebih memilih mengikuti kontes anggrek di Denpasar. Bagaimana, Lis? Aku lihat kalian akrab waktu bertemu?”

Akrab? Yana bilang akrab? Yang benar saja? Lisa masih ingat waktu pertama kali ketemu Sasa, waktu itu dia masih kuliah di bangku S2. Saat itu sedang masa liburan sekolah sehingga Yana dan Bondan berlibur ke Yogya. Demi memperkenalkan Lisa pada kakaknya, Andre mengajaknya menemui keluarga kecil itu di Taman Pintar. Setelah memperkenalkan Lisa pada Yana dan Bondan, Andre langsung menarik tangan Lisa untuk mencari Sasa, rupanya anak itu sedang asyik bermain-main di tepi kolam renang, sibuk menyiprat-nyipratkan air kolam renang pada teman-temannya yang baru dia kenal.

Andre yang mendapati tingkah laku Sasa segera memeluknya erat, lalu mencium pipi keponakannya itu tanpa perduli kemejanya jadi ikut-ikutan basah karena menempel pada pakaian renang Sasa. “Dengar, Sasa. Ongkel akan mengenalkan seseorang padamu,” ujar Andre. Dia segera mengangkat Sasa dari kolam dan menggandengnya untuk menuju Lisa.

“Nah, wanita ini adalah calon istri Ongkel, namanya Lisa. Kau harus memanggilnya onti,” kata Andre.  Ongkel? Onti? Oh ternyata maksudnya uncle dan aunty, paman dan bibi, pikir Lisa dalam hati. Dan apa yang di lakukan anak kecil itu? Dia memandangi Lisa dari ujung rambut sampai ujung kaki sampai Lisa merasa risih, lalu berkata nyaring,”Onti, kenapa onti bertubuh kecil? Onti cacingan, ya?”

Lisa nyengir kuda tanpa tahu harus berbuat apa, sementara Andre menahan tawa dengan perut yang kaku melihat ekspresi wajahnya.

“Kalau onti cacingan, onti harus minum obat cacing enam bulan sekali. Ingat itu,onti!” tambah Sasa lagi. Kali ini Lisa menelan ludah kering, seorang apoteker diajari aturan pakai obat cacing oleh anak kecil yang cerewet. Andre tidak bisa menahan tawanya lagi.  Dia tertawa tanpa henti dan Lisa mencubit perutnya dengan keras.

“Hai ! Hai! Bagaimana, Lis, kau mau menjaga Sasa selama kami pergi?” tanya Yana membuyarkan lamunan Lisa.  Lisa terkesiap, lalu dia mengangguk.

“Ah, syukurlah,” Yana merasa lega. Tiba-tiba Bondan yang baru selesai check-up sudah ada di antara mereka. “Apa kabar,Lis?”

“Baik!”

“Sayang, Lisa setuju untuk menjaga Sasa selama kita pergi,” Yana mulai bercerita pada suaminya.

“Wah, terima kasih, Lis.” Bondan melirik arlojinya, “Sudah jam satu, kita harus kembali ke kantor sekarang, ayo!” ajak Bondan pada istrinya.

“Baiklah, Oh ya, Lis, aku hampir lupa, nanti sore ada arisan keluarga di rumah Mama, aku harap kau datang agar kami bisa mengenalkanmu pada keluarga yang lain.”

Lisa mengangguk. Yana segera undur diri, tapi Bondan tiba-tiba menyelutuk,”Lain kali kau jangan pakai warna ungu muda, tidak cocok untuk kulitmu yang pucat.”

Lisa terpaku mendengar Bondan mengkritik penampilannya.”Kau harus lebih memperhatikan penampilanmu agar Andre tidak melirik cewek lain.”

Lisa benar-benar menelan ludah kering. Yana tersenyum,”Sudahlah, Mas. Jangan menggoda Lisa terus, kau juga tahu kalau Andre tidak mungkin melakukan itu.”

Suami istri itu  berlalu. Kini Lisa tahu dari mana Sifat Sasa yang ceplas-ceplos itu didapatkan, Sifat itu menurun dari Bondan dan memikirkan bahwa anak kecil itu harus tinggal bersamanya selama orang tuanya pergi. Ah, Lisa tidak habis pikir.

THE HOSPITAL

3. Pharmacist on the Duty (part 5)

Ibu dan anak itu kini dalam perjalanan pulang. Rani masih saja kepikiran tentang Lisa. Sesekali dia melirik anaknya yang serius mengemudi di sampingnya. Dia tidak enak hati untuk menanyakan tentang Lisa pada Armand, tapi di sisi lain rasa penasaran meluap. “Jadi gadis dalam surat itu adalah dia?” tanya Rani setelah dia mengumpulkan keberanian.

“Apa?” Armand ternyata kurang mendengar ucapan ibunya.

“Aku membaca surat itu, nama Lisa ada di sana,” lanjut Rani.”Apa gadis itu adalah dia?”

Armand menghela nafas. Dia tidak mungkin lagi menanyakan dari Rani tahu tentang surat itu mungkin kecerobohannya yang membuat semua ini terjadi. Dia berpikir apakah harus berbohong tapi melihat kejadian yang menimpa Ibunya pagi ini dia menjadi tidak tega. Dengan lunglai dia menjawab, “Iya.”

Rani tersenyum. “Dia wanita yang baik, kenapa kau menolaknya.”

Armand terkejut dengan pertanyaan Rani. Dia agak malas dengan percakapan ini tapi dia tahu betul siapa Rani. Dia tidak bisa berkelit.”Kami hanya bersahabat.”

Mobil itu masih berjalan mulus. Saat mobil terhenti karena lampu merah, rani bertanya lagi,”Apakah kau tidak pernah tertarik padanya?”

“Dulu aku sempat tertarik padanya tapi saat dia terkesan cuek dan tidak membalasku, aku segera menepis harapan itu.”

“Lalu dengan surat itu?”

“Saat aku sudah bersikukuh dengan kesimpulanku dan diam-diam sudah jalan dengan orang lain, dia menyatakan cintanya. Tentu saja aku menolak, aku tidak mungkin menyakiti pacarku.”

“Bagaimana kau menolaknya?”

Armand memandang ke arah Ibunya, lampu merah itu masih menyala. “Aku mengatakan padanya bahwa Ibu ingin mempunyai menantu seorang dokter.”

“Apa?” Rani menjerit. Lampu hijau menyala. Klakson demi klakson semakin bersahutan. Hiruk pikuk menyambut seiring merambatnya semua kendaraan di situ untuk melanjutkan perjalanan, termasuk mobil Armand.

“Bagaimana bisa? Kau tahu Ibu tidak pernah mengharapkan itu?”

“Maafkan aku, Bu. Hanya itu satu-satunya yang muncul di otakku sebagai alasan menolaknya. Hal itu tidak mungkin menyakitinya.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Ibunya meninggal saat dia berusia delapan belas tahun, saat dia menerima alasan itu, dia bisa mengerti, dia berpikir kalau aku memang akan membahagiakan seorang ibu.”

Rani menyandarkan tubuhnya, kini pandangannya tertuju ke jalanan dan suasana lalu lintas yang semrawut. Pikirannya juga semrawut, dia mengira-ira apa yang akan Lisa pikirkan tentang dirinya, seorang wanita picik yang memaksakan kehendak pada putranya. Baru beberapa jam yang lalu dia mengagumi kesopanan Lisa, baru sebentar saja dia berkhayal andai saja gadis itu adalah menantunya. Tapi sekarang? Dia tidak tahu lagi sekarang, sementara bayang-bayang Anita yang cuek dan selalu menyakiti putranya muncul di benaknya. Itukah yang sepantasnya kuterima? Itukah?

“Surat itu? Kau sama sekali belum menjelaskan surat itu?”

“Saat kami bertemu untuk menjelaskan semuanya. Dia memberikan surat itu.”

Rani teringat kalimat terakhir dalam surat itu, “Dalam surat itu, dia menulis kalau dia akan menghubungimu jika sudah bisa menganggapmu sebagai teman, apakah dia menghubungimu setelah itu?”

“Tidak! Bisa dibilang itu pertemuan kami yang terakhir.”

Rani tersenyum lebar. Itu berarti…. “Dia masih belum bisa menganggapmu sebagai teman, kau harus yakin itu, Armand. Kau harus mendekatinya sekarang, harus!” Rani berteriak kegirangan.

Armand mendadak menghentikan mobil. Tubuh keduanya sontak tertarik ke depan. Untung saja dia melakukan itu saat mobil sudah mulai memasuki komplek perumahan yang sepi. Rani tidak habis pikir dengan ulah Armand, dia sudah cukup syok dengan kejadian hampir tertabrak mobil tadi pagi.

Armand menoleh ke arahnya, “Dengar Ibu, aku tidak mungkin melakukan itu karena dia CALON ISTRI ANDRE!” Armand berteriak dan berusaha menekankan pada kalimat,calon istri Andre.

Rani terperangah. Armand kembali menjalankan mobilnya. “Seharusnya Ibu mengetahui semua itu, bukankah Nyonya Ratih selalu bercerita tentangnya di depan Ibu?”

“Dia tidak pernah bercerita kalau nama calon Andre adalah Lisa,” Rani berbisik. Hancur sudah harapannya. Ah, kenapa aku begitu malang di hari tuaku ini. Anak satu-satunya gagal beerumah tangga, dan sekarang…. . Andai saja Armand dulu….ya, andai saja…

—————————————

Kesibukan di instalasi farmasi berlanjut, Lisa memutuskan untuk membenahi lay out gudang farmasi. Dia memerintahkan petugas gudang menata kembali rak-rak dengan posisi yang sudah dia rancang sebelumnya, dia memutuskan pintu barang masuk dan pintu barang keluar harus berbeda, dan karena ada dua pintu di gudang , dia memutuskan alur barang adalah alur U.

Ridwan sangat semangat dengan kegiatan hari ini, sangat aneh mengingat semalam dia yang paling keras memprotes Lisa. Dia memperhatikan sekali saat Lisa menjelaskan desain rancangan lay out gudang yang baru. “Akan sangat sulit jika kita tetap memasukkan dan mengeluarkan barang pada sisi rak yang sama,”  kata Ridwan.

“Lalu?” tanya Lisa.

“Kita harus membuat agar barang di masukkan di satu sisi rak dan dikeluarkan dari sisinya  yang lain.”

“Bisakah kita melakukannya?”

“Tentu saja bisa, Bu!”

“Ha, untuk hal ini kuserahkan padamu.”

“Beres, aku sudah memikirkannya sejak lama,” tegas Ridwan sambil mengacungkan jempolnya lalu segera bergabung dengan kesibukan itu.

Lisa mengecek ke semua persediaan ruang, rupanya di situ semuanya telah beres, para stafnya sudah membereskan sembari mengeceknya kemarin dan sekarang dia melangkah ke pelayanan. System distribusi terpaksa masih menganut individual prescribing dan ward flourstock, sementara system unit dose dispensing masih belum bisa dilaksanakan karena keterbatasan SDM. Di unit rawat jalan, Lisa dan Viona melakukan konseling, Viona cukup tahu pasien mana yang membutuhkan konseling, tentu saja Karena sekarang dia adalah apoteker, bukan seorang asisten lagi. Mereka melakukan itu dengan sabar, beberapa pasien memerlukan perhatian lebih mengingat penyakit atau obat yang harus diminum, tak heran jika terkadang mereka malah takut saat Lisa menjelaskan panjang lebar, seperti pasien yang berada di depan Lisa saat ini misalnya, seorang lelaki berusia enam puluh tahun dengan tekanan darah dan kolesterol tinggi yang mengharuskan dia control setiap kali obatnya habis,”Nak, apa penyakit saya ini sudah tambah parah sehingga harus masuk ruangan ini lagi,” tanyanya setelah menerima penjelasan dari Lisa tentang obat dan penyakitnya.

Lelaki itu memandang sekeliling, memang dia harus memasuki ruang KIE untuk menerima konsultasi. Lisa tersenyum,”Justru agar keadaan Bapak tetap stabil, Bapak harus  berada di ruangan ini.”

“Bagaimana, Pak. Bisa di ulangi apa yang saya terangkan tadi?”

“Eee…

“Saya akan membimbing satu persatu.”

“Baiklah, Obat yang kecil-kecil ini, Lisinopril,” pasien terlihat mengeja nama obat dalam kemasan.”Diminum dua kali sehari?”

“Ya, pagi dan sore. Sebelum atau sesudah makan, Pak?”

“Sebelum makan?” tanya pasien lagi karena dia tidak yakin.

“Sesudah makan,” kata Lisa membenarkan, “Terus, obat yang kedua bagaimana?”

“Diminum tiap malam 1 tablet?” jawab pasien.

“Yup! Dan apa yang harus bapak hindari waktu mengkonsumsi obat ini?” tanya Lisa lagi.

“Jus grapefruit?” jawab pasien.

Senyum Lisa mengembang, “Bapak betul sekali. Agar bapak tidak lupa, saya telah menuliskan semuanya di kertas ini,” lanjut Lisa sambil menyodorkan kertas itu pada pasien.

“Memang,sih.. di etiket sudah ada aturan pakainya, tapi di kertas ini lebih lengkap,” ujar pasien setelah membaca resep itu,”Jadi saya harus segera kontrol jika obat mulai habis?”

Lisa mengangguk sembari tersenyum.

“Yah, beginilah tubuh tua, Nak,” sang Bapak terkekeh. Mereka tertawa bersama. Pasien segera undur diri. “Kertasnya jangan sampai hilang ya, Pak.”

Lisa menunggu di ruangan itu beberapa saat, setelah diyakini tidak ada lagi pasien yang butuh KIE, dia keluar dari ruangan itu. Terdengar Viona masih melakukan konsultasi di ruang KIE-nya. Sepintas Lisa mencuri dengar.

“Oalah, Mbak. Wong sudah ada tulisan di obatnya kok, masa mbaknya mbacakan lagi, lagian saya harus masuk ruangan ini. Mbok ya sudah saya langsung pulang saja, ntar saya juga bisa mbaca di rumah,” ucap pasien dengan logat medoknya. Lisa menahan senyum saat mendengarnya, dia mengira-ira mungkin pasien ini berasal dari Jawa tengah tapi sepertinya ada yang salah dengan apa yang dilakukan Viona, kalau tidak, pasien tidak mungkin keluar dengan kesal seperti ini. Lisa segera mengejar pasien itu.

“Sugeng siang, Bu,” sapa Lisa setelah di depan pasien itu.

“Sugeng siang,” jawab Pasien itu.

“Pangapunten kulo ngganggu.”

“Ah, mboten nopo-nopo.”

“Monggo lenggahan wonten ruangan kulo,” ajak Lisa sambil menggandeng sang Ibu. Anehnya Ibu itu menurut, tidak marah-marah seperti waktu di depan Viona. Viona yang sudah keluar ruangan terkejut  saat pasien itu kembali memasuki ruang KIE. Lisa memberi  isyarat padanya agar ikut masuk. Kini di ruangan itu ada tiga orang, Lisa, Viona dan sang pasien.

“Nyuwun sewu, saged kulo ngertos obat panjenengan?” pinta Lisa.

“Oh, niki niki,” jawab sang pasien sambil menyodorkan obat di hadapan Lisa. Lisa memeriksa obat itu. Paket Obat TBC yang memang harus diminum sang Ibu dan tidak boleh terlambat.

“Meniko Obat TBC, Ibu kedah rutin ngunjuk obat niki ngantos telas, ampun kesupen,” Lisa menjelaskan. Viona terbengong, bahasa Jawa? Mana bisa, dia? Dia memang orang Jawa, tapi untuk bicara dengan menggunakan Bahasa jawa sehalus itu, dia tidak bisa. Dia hanya bisa mencerna percakapan mereka sedikit-sedikit. Pasien mangguk-mangguk mendengar penjelasan Lisa.

“Sak derengipun obat telas, Ibu kedah kontrol melih, dados ampun ngantos ketelasen obat,” lanjut Lisa.  Viona agak geli mendengar kata-kata Lisa, seperti melihat adegan ketoprak.

“La ono opo to,Nak?”

“Amargi pengobatan TBC meniko kedah tuntas, ampun telat ngunjuk obat, umpami telat, kedah ngulang dosis awal malih, kan malah eman-eman, sejatinipun sampun wantun kok malah kedah ngulang.”

“Oalah, ngono, to?”

“Inggih, mangke umpami obate kinten-kinten kalih dinten malih bade telas, Ibu kedah kontrol maleh kagem njagani obat ampun ngantos telas sak derengipun control,” lanjut Lisa. Sang pasien masih saja manggut-manggut. “Putranipun diaturi ngawasi ngunjuk obat, nggih Bu,” Lisa agak ragu dengan kata kerja dalam kalimat terakhirnya, yang benar diaturi apa didawuhi, ya?

Ibu di depannya itu masih saja manggut-manggut.

Lisa melanjutkan konselingnya,”Mangke sak umpaminipun ketoyan, ampun kaget, amargi wonten obat engkang marakaken ketoyanipun abrit.”

“Hah, ning kan ora popo, to?”

“Mboten nopo-nopo, niku namung efek samping obat mawon,” jawab Lisa. “Obate diteruske mawon, sampun ngertos aturanipun, nggih?”

“Iyo, sedino ping siji kabeh, la iki ono tulisane,” jawab sang pasien.

Percakapan ala ketoprak itu berakhir setelah pasien undur diri. Lisa menghempaskan diri di kursinya. Viona yang masih di ruangan itu memperhatikannya.

“Memang pasti ada kendala bahasa,” ujar Lisa.

“Ibu sangat fasih berbahasa Jawa,” puji Viona.

“Aku tadi ragu-ragu untuk menggunakan bahasa Jawa tapi aku berpikir itulah satu-satunya cara untuk bisa membawanya ke ruang konsultasi lagi.”

“Maafkan saya, Bu. Mungkin kerja saya kurang baik sehingga pasien merasa tidak senang.”

“Bukan begitu, Viona. Konseling memang perlu jam terbang yang tinggi, kau harus bisa memahami perasaan pasien di depan kita, tapi juga harus menyampaikan semua informasi yang perlu diketahui oleh pasien kita, itulah yang sulit, menyampaikan informasi sambil memperhatikan perasaannya.”

“Saya memang harus banyak belajar,” janji Viona pada dirinya sendiri. Lisa tersenyum.

“Oh ya, Viona kau ada acara malam ini?”

“Tidak.”

“Kalau tidak ada acara, kau harus ke rumahku malam ini untuk membicarakan langkah kita selanjutnya.”

“Langkah kita?” tanya Viona.

“Iya, langkah kita bagi instalasi farmasi rumah sakit ini.”

Viona mengangguk. Lisa lega. Dia melihat arlojinya,” Waktunya makan siang. Kau makan siang, Viona?”

“Ibu duluan saja, saya masih ada hal yang musti saya kerjakan.”

“Baiklah,” Lisa berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Viona menghantarkan bosnya itu sampai pintu ruangan. Viona mulai salut pada Lisa. Ternyata Lisa tidak seperti yang dikatakan Dito dan Iwan selama ini. Lisa benar-benar bekerja di rumah sakit ini. Tiba-tiba Viona teringat pak Restu, pria tua itu seakan hadir lagi didepannya. Kau lihat, Pak Restu, sepertinya perubahan besar akan terjadi di instalasi

—–BERSAMBUNG—–

THE HOSPITAL

3. Pharmacist on The Duty (Part 4)

Saat waktu menunjukkan pukul enam pagi, Lisa terbangun dari tidurnya.  Dia begitu shock saat melihat jam dinding di kamarnya, segera dia sholat subuh dan memulai aktifitas paginya bersiap-siap ke rumah sakit. Saat dia sudah siap dengan baju kerjanya dan mulai membuka lemari es untuk mencari makanan sebagai sarapan, tiba-tiba terdengar bel rumahnya berbunyi. Lisa yang memang tinggal sendiri segera membuka pintu.

“Selamat pagi, Bu Lisa,” sapa tamu Lisa. Rupanya Pak Seno, sopir keluarga Andre. “Saya disuruh Pak Andre mengantarkan itu?” sambung Pak Seno sambil menunjuk sebuah mobil yang terparkir di pekarangan rumah Lisa. Lisa berjalan menuju ke arah mobil itu.

“Pak Andre memilihkan mobil ini untuk anda?” kata Pak Seno saat Lisa menoleh ke arahnya dengan pandangan butuh penjelasan.

Lisa masuk ke dalam rumah untuk mencari HP-nya, dan segera menelephon Andre.

“Kau dimana?” tanya Lisa saat Andre mengangkat telephone.

“Aku sudah di airport, menunggu kedatangan pesawat.”

“Kau membelikan mobil untukku?”

“Oh, mobil itu? Ya, aku memang membelinya untukmu.”

“Kau seharusnya tidak melakukan itu tanpa persetujuanku,” omel Lisa

Andre terdengar menghela nafas, “Kalau aku memberitahumu sebelumnya, kau pasti menolak. Anggap saja itu hadiah dari calon suami.”

“Kau tahu kalau aku tidak suka menerima hadiah dari laki-laki, kan?”

“Hai, hai, laki-laki apa maksudmu, aku ini calon suamimu!”

Mereka masih saja berdebat dengan ego masing-masing, hingga panggilan kedatangan pesawat yang akan ditumpangi Andre terdengar. “Sudahlah, aku harus masuk pesawat, kau juga harus kerja,kan? Sementara Pak Seno akan menjadi supirmu. Aku kan tahu kau belum bisa nyetir. Sesampainya aku dari Batam, aku akan mengajarimu menyetir.”

Andre segera menutup telephone. Lisa mendengus kesal, “Kebiasaan yang tidak baik.”

Lisa segera berangkat ke rumah sakit. Mau tidak mau dia menerima mobil itu. Kini dia tengah duduk manis di dalam mobil mewah itu. Dia tidak begitu memperdulikan merk, atau keistimewaan mobil itu karena memang dia tidak tahu menahu masalah mobil. Kini dia tidak perlu menuju halte untuk menanti bus. Tidak ada lagi bus penuh sesak yang harus dia tumpangi. Tidak harus berjejal berebut kursi dengan penumpang lain lagi karena sekarang kursi belakang ini adalah miliknya dan tentu saja kursi di belakang kemudi itu, segera akan didudukinya jika Andre telah berhasil melatihnya mengendarai mobil. Sembari menikmati pemandangan di luar, angannya melayang ke masa-masa silam, di mana dia sebagai seorang mahasiswi sederhana yang selalu harus bangun pagi demi mengejar kereta api “Prambanan Ekspress” yang jam pertama, atau harus berhujan-hujan menanti bus yang tak kunjung datang dan tentu pula gaya hidupnya waktu S1 yang harus jalan kaki ketika berangkat atau pulang dari kampus karena kondisi keuangannya yang minim.

Dia tersenyum, segera di pasangnya headphone di telinganya, memutar MP5 yang memperdengarkan lagu-lagu pop korea. Lagu-lagu itulah yang selama ini  menemaninya dalam setiap perjalanan. Bahkan teman-teman kuliahnya dulu hafal betul dengan kegemarannya yang satu ini, biasanya mereka protes padanya. Mereka bilang apa asyiknya mendengarkan lagu yang kita tidak tahu artinya tapi dia tidak ambil pusing. Baginya bahasa korea itu sangat menggelitik di telinga, sebenarnya bukan hanya bahasa korea tapi juga bahasa jepang dan spanyol. Dia bahkan bisa menirukan lagu itu walau pun tidak begitu tahu artinya.

Lisa begitu terlena dengan suasana yang kini dia alami, diperintahkannya Pak Seno untuk mematikan AC mobil lalu dia membuka kaca jendela mobil. Angin pagi segera menyambutnya, mengkibarkan rambut panjangnya. Dia menarik nafas panjang. Berusaha memenuhi paru-parunya dengan oksigen yang mungkin masih tersisa di Jakarta yang kian polusi.

“Kalau ibu mau, saya bisa sekalian membuka knop atap mobilnya?” tanya Pak Seno.

“Apa? Memangnya bisa?”

“Tentu saja, bisa, Bu. Dengan sekali pencet tombol ini, knop atap terbuka. Bagaimana?”

“Boleh, boleh,” jawab Lisa sambil terkekeh.

Mobil itu terus saja melaju mulus dan saat mereka tiba di tikungan dekat rumah sakit….

Ciiit………….

Pak Seno tiba-tiba merem mendadak. Lisa yang memang tidak siap, sontak tubuhnya terdorong ke depan. Untung saja mobil berhenti tepat waktu, dalam jarak kira-kira tiga puluh centimeter di hadapan seorang wanita paruh baya.

“Ada apa, Pak,” tanya Lisa pada Pak Seno setelah pulih dari keterkejutannya.

“Wanita itu menyeberang mendadak, Bu.”

Lisa turun dari mobil untuk menghampiri wanita itu.”Ibu tidak apa-apa?”

Wanita itu terlihat sangat pucat. Rona ketakutan masih tampak jelas di wajahnya. Nafasnya yang tampak tidak teratur membuat Lisa semakin panik.

“Akan lebih baik jika Ibu ikut saya ke rumah sakit,” ajak Lisa sambil tersenyum. Dia lalu membimbing wanita itu memasuki mobilnya.

“Saya memang akan menuju rumah sakit, nak,” kata Wanita itu setelah mobil melaju kembali.

“Oh, kebetulan kalau begitu.”

“Iya, cuma check kesehatan rutin.”

Karena merasa bersalah, Lisa menemani Ibu itu ke UGD, dan sesampainya di UGD…

“Ibu! Ada apa Ibu kemari?” Armand tiba-tiba panik melihat wanita itu di UGD, dan Lisa juga tak kalah terkejut karena ternyata wanita itu adalah Rani, Ibunda Armand. Dia memang belum pernah bertemu Ibu Armand karena dia dan Armand dulu sama-sama anak rantau waktu kuliah di jogja. Lisa dari Solo, dan Armand dari Jakarta.

“Jadi wanita ini……,” bisik Lisa dalam hati.

“Ah, tidak apa-apa, Armand,” jawab Rani menenangkan putranya.

“Maaf,” Lisa mulai angkat bicara, “Sebenarnya tadi Ibu anda hampir tertabrak mobil saya, Ibu kelihatan sangat ketakutan sekali jadi saya bawa kemari.”

“Kok bisa, Lis!” protes Armand.

“Ah, sudahlah.” Rani mengibaskan tangannya.”Ibu yang salah karena menyeberang tanpa menoleh kiri kanan, Armand.”

“Bukankah sudah saya katakan agar Ibu menunggu saya pulang dari rumah sakit, saya sudah berjanji mengantar Ibu ke sini, kan?” omel Armand sembari memeriksa keadaan Ibunya dengan stetoskop.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Lisa setelah terlihat Armand selesai memeriksa.

“Ibuku sudah tidak apa-apa. Maaf kalau merepotkan, Lisa.”

Rani terkejut.

“Lisa?” tanya Rani dalam hati, sesaat dia teringat dengan nama gadis yang tertulis di surat Armand.

“Baiklah kalau begitu, karena Ibu sudah tidak apa-apa dan ini adalah waktunya saya bekerja, serta di sini sudah ada seseorang yang bisa saya percaya untuk menjaga Ibu,” Lisa tersenyum.

“Maka saya akan segera undur diri,” sambung Lisa. “Maafkanlah atas keteledoran sopir saya.”

Rani mengibaskan tangan. “Ah sudahlah, seperti yang saya bilang tadi. Saya yang salah.”

Lisa segera berlalu dari Ibu dan anak itu. Gedung instalasi farmasi masih sepi karena rupanya dia datang terlalu pagi. Saat dia hampir sampai di ruang kerjanya, samar-samar terlihat seseorang memasuki ruang kerjanya. Lisa berhenti lalu berjalan mengendap-endap untuk mengintai siapa orang itu dan apa yang hendak dilakukannya, sesaat dia berdiri di dekat jendela kaca dengan gorden yang agak terbuka. Dari posisi itu dia mampu melihat apa yang dilakukan orang itu walau tidak leluasa. Penyusup  itu terlihat melakukan sesuatu dengan bagian bawah meja kerjanya.  Saat orang tidak bertanggungjawab itu hendak pergi, Lisa segera sembunyi di bufet  yang ada di dekat meja kerja sekretarisnya. Buffet tersebut cukup besar untuk menutupi tubuhnya yang kecil dan Lisa cukup cepat menyimpulkan bahwa penyusup itu akan kembali ke arah  yang berlawanan dengannya mengingat dari mana arah penyusup itu berasal.

Lisa segera memasuki ruang kerjanya. Dia lega saat segala sesuatu di ruangan itu masih dalam posisi semula.

Meja kerja, apa yang dia lakukan di bawah meja kerja?

Lisa membungkukkan badannya di depan meja yang dimaksud. Saat dia mencari, tampaklah sebuah tape perekam tertempel di sana dengan posisi on. Dia menyipitkan mata lalu duduk di kursi kerjanya.

Aku tak habis pikir, aku hanyalah apoteker yang bekerja di rumah sakit tetapi perlakuan mereka terhadapku bagaikan aku ini pejabat korup atau sesuatu yang bisa mengancam posisi mereka.

Dia menyandarkan punggungnya di kursi itu sambil tersenyum-senyum.

—–BERSAMBUNG—–

THE HOSPITAL

3. Pharmacist on the Duty (Part 3)

Lisa memandang ke arah Viona. Viona yang merasa diperhatikan jadi salah tingkah, lebih-lebih ketika Lisa mendekatinya. Sambil tersenyaum, Lisa mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, mau tak mau viona harus membalas jabat tangan itu.

“Bisa kita bicara di ruanganku sebentar?” pinta Lisa.

Viona terdiam. Dia hanya menurut saat Lisa merangkulnya untuk memasuki ruang kerja Lisa.

“Silahkan duduk,” pinta Lisa pada Viona ketika mereka telah memasuki ruangan kerja Lisa.

Viona menurut, sementara Lisa mulai menduduki kursi kerjanya. Kursi itu, kursi yang selama bertahun-tahun di duduki oleh Pak Restu sebagai kepala instalasi farmasi, dan kini seorang apoteker baru memimpin, berusaha menilai segala hal dalam instalasi ini, apakah ini masuk akal? Seseorang yang benar-benar asing merasa tahu betul akan instalasi ini. Viona sibuk dengan pikiran itu.

Lisa mulai bicara, “Viona, hanya kau dan aku apoteker di instalasi ini, karena itu aku sangat mengharapkan kerja sama darimu.”

Lisa tersenyum,”Aku tidak tahu apa yang dikatakan kakakmu, Wahyu padamu.”

Viona terkejut. Dari mana Lisa tahu tentang kakaknya itu yang menjanjikan kedudukan pak Restu padanya.

“Dan aku juga tidak tahu yang dijanjikan Dito padamu, tapi aku mohon kerja samamu untuk memajukan instalasi ini, bukankah teman sejawat adalah saudara kandung?”

Lisa tersenyum. Viona membalas senyum itu walau sedikit terdapat gurat paksaan di senyumannya.

“Nah, sekarang kau boleh pulang, aku tahu kau lelah,”kata Lisa.

Viona pun meminta diri. Kini tinggal Lisa di ruangan itu menatap bertumpuk kertas hasil kerja seharian tadi. Lisa mulai membuka satu persatu.

Sample counting, ketidaksesuaian jumlah sediaan antara kartu stok dan computer 45%, ketidakcocokan antara kartu stok dan jumlah sediaan fisik 25%. Di sini, Lisa mulai menghela nafas. Dia memijit-mijit tengkuknya yang sedari tadi tegang. Dia melanjutkan lagi. Menelusuri lembar demi lembar kertas di atas mejanya itu. Yang terlihat adalah angka-angka yang menampilkan kekecewaan yang mendalam, angka yang menunjukan tidak bekerjanya system atau memang bekerjanya system yang salah.

Ketersediaan obat 70%, disini Lisa mulai mengkerutkan dahi. Dia terlalu serius menekuri kertas-kertas itu. Dia terkejut saat HPnya tiba-tiba berbunyi dan membuat ruangan yang hening itu berisik sejenak. “My luoy” tertulis di layar HP-nya, ternyata Andre yang menelpon.

“Kau dimana?” tanya Andre di ujung telephone.

“Masih di kantor,” jawab Lisa dengan suara serak.

“Apa? Kok masih di kantor? Kalau begitu aku akan menjemputmu.”

Belum sempat Lisa membalas. Andre sudah menutup telephone. Lisa mendengus, “Kebiasaan yang tidak baik,” umpatnya. Dia meneruskan pekerjaannya.

Seperempat jam kemudian Andre memasuki ruangan itu dan protes karena kesibukan Lisa.

“Kau adalah pegawai di sini, bukannya pekerja rodi,” protes Andre.

“Aku tidak merasa kalau aku kerja rodi,” jawab Lisa.

“Bekerja dari jam delapan pagi sampai jam dua dini hari, kau anggap ini bukan kerja rodi?”

“Bukankah ini rumah sakit keluargamu?”

“Ya.”

“Seharusnya kau senang aku melakukan semua ini.”

Andre mengibaskan tangannya.

“Sudah, tidak usah banyak protes, ayo pulang!” perintah Andre.

Lisa memunguti kertas-kertas di atas mejanya untuk dibawa pulang. Dia menurut saat Andre menggandeng tangannya atau lebih tepat dianggap menarik tangannya untuk segera keluar dari ruang kerja itu.

Sesampainya di pelataran parkir, mereka berpapasan dengan Armand yang kebetulan akan tugas shift malam di UGD. Armand menghentikan langkahnya demi memperhatikan pasangan itu.

“Pagi, Armand,” sapa Andre masih dalam posisi menarik  tangan Lisa.

“Pagi,” jawab Armand.

Rupanya Andre sedang tidak ingin memperlama basa-basi itu. Dia segera menuju mobilnya yang terparkir berdekatan dengan mobil Armand dan Armand masih saja memperhatikan tingkah keduanya.  Andre masuk ke dalam mobil saat Lisa sudah memasuki mobil. Beberapa menit kemudian, mobil itu sudah berlalu dari area parkir. Armand masih saja berdiri mematung. Dia berpikir apa yang terjadi sehingga Andre sepertinya menyeret Lisa seperti itu. Dan akhirnya ditanggalkannya pikiran itu demi memasuki tugas yang sebenarnya telah memanggil 2 jam yang lalu.

————————————————————————–

Waktu sudah menunjukan pukul 02.30 wib, saat Andre menghentikan mobilnya yang telah memasuki pekarangan rumah Lisa. Lisa yang kelelahan tertidur di sampingnya. Sesaat Andre memperhatikan Lisa, ditepuknya pipi Lisa dengan lembut. Lisa  terbangun.

“Sudah sampai,” ujar Andre.

“Sudah sampai, ya?” tanya Lisa. Saat Lisa hendak turun dari mobil, Andre berkata,” Besok pagi aku ke Batam.”  Kalimat Andre membuat Lisa mengurungkan niat membuka pintu mobil. Dia menoleh ke arah Andre

“Ada bisnis di sana,” lanjut Andre. Lisa hanya mempertajam pandangan.

“Kami akan mengakuisisi salah satu perusahaan di sana,” kata Andre kemudian, “Cuma perusahaan kecil yang akan bangkrut.”

Lisa menghela nafas, “Kata akuisisi adalah kata yang paling tidak kusukai.”

Andre terkekeh, “Lalu kata apa yang kau sukai?”

Lisa menjawab cepat, “ Aliansi strategik dan merger.”

Andre terkekeh. Lisa memajukan bibirnya.

“Berapa lama kau di Batam?”

“Cuma dua hari.”

Lisa mengangguk-angguk.

“Ah, sudah sana masuk, wajahmu kelihatan mupeng jika kau kelelahan,” perintah Andre. Lisa tertegun. Mupeng? Masa? Lisa mengelus-elus pipinya sendiri sembari keluar dari mobil. Dia melambaikan tangan saat mobil Andre mulai meninggalkan pekarangan rumahnya.

Di dalam rumah. Lisa tidak langsung tidur, dia masih saja menjereng tumpukan kertas yang dibawanya dari kantor tadi. Dia mencoba menganalisa berdasar Managing Drug Supply. Dia telusuri kegagalan demi kegagalan dari tahap seleksi sampai use dan terkejut betapa banyak kegagalan yang terjadi selama bertahun-tahun. Mulai PFT yang kurang aktif sampai distribusi yang awut-awutan, belum lagi ketika Lisa mulai memasuki managing support. Mata Lisa yang tadinya mengantuk mulai terbelalak, rumah sakit tipe C dengan 250 tempat tidur hanya di cover oleh 2 orang apoteker yaitu dia dan Viona, dia membayangkan bagaimana sibuknya Pak Restu dulu, apalagi waktu itu Viona masih sebagai asisten apoteker, belum lulus pendidikan profesi.

Kepala Lisa jadi semakin berat. Apalagi saat dia membaca laporan keuangan instalasi farmasi, Quick Ratio cuma 0,5. Lisa menghitung lagi, nilai perputaran persediaan cuma empat kali per tahun? Mata Lisa semakin terbelalak, dia menghitung rata-rata distributor mengharapkan pelunasan sebulan sekali, mungkin ini sebabnya instalasi terlalu banyak hutang. Lama-lama kepalanya semakin berat dan akhirnya tertidur dengan menelungkupkan kepalanya di atas kertas-kertas itu.

—–BERSAMBUNG——

THE HOSPITAL

Pharmacist on The Duty (Part 2)

Kesibukan para staf di instalasi farmasi tersebut berakhir jam 12 malam, alhasil semua orang bekerja masing-masing 2 sift pada hari itu. Lisa melihat para stafnya yang kelelahan mulai membuka box makanan yang sengaja dia pesan untuk mereka pada malam itu. Di gudang terlihat mereka bercengkrama, sambil mengangkat gelasnya, Lisa mengumumkan sesuatu,”Saya berterimakasih atas kerjasamanya. Percayalah, semua ini kita lakukan untuk kemajuan instalasi kita. Data inilah yang nantinya dijadikan evaluasi kinerja kita selama ini.”

“Kinerja kita? Bukankah kau seharusnya menyebut itu kinerja kami? Mengingat anda baru satu hari kerja di sini,” salah seorang asisten apoteker protes. Viona yang mendengar hal tersebut mengulum senyum. Dalam hati dia menunggu apa yang akan dikatakan oleh Lisa menanggapi protes Ridwan, asisten apoteker itu.

Lisa menghela nafas,”Ya, kau betul, seharusnya aku menyebut ini sebagai kinerja kalian. Ya, kau betul, aku memang baru sehari kerja di sini, lalu kenapa? Apakah waktu sehari itu tidak begitu berharga untuk dianggap kinerja?”

Ridwan kebingungan dengan ungkapan Lisa. Tapi yang lainnya tidak perduli, mau dianggap kinerja kek, enggak kek, yang penting kesibukan hari ini telah rampung. Mereka pun sangat senang Lisa mau berbaik hati memesankan menu makanan yang enak-enak. Itu menandakan kemurahhatian kepala instalasi farmasi yang baru itu.

Lisa memandang ke arah Viona. Viona yang merasa diperhatikan jadi salah tingkah, lebih-lebih ketika Lisa mendekatinya. Sambil tersenyaum, Lisa mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, mau tak mau viona harus membalas jabat tangan itu.

“Bisa kita bicara di ruanganku sebentar?” pinta Lisa.

Viona terdiam. Dia hanya menurut saat Lisa merangkulnya untuk memasuki ruang kerja Lisa.

“Silahkan duduk,” pinta Lisa pada Viona ketika mereka telah memasuki ruangan kerja Lisa.

Viona menurut, sementara Lisa mulai menduduki kursi kerjanya. Kursi itu, kursi yang selama bertahun-tahun di duduki oleh Pak Restu sebagai kepala instalasi farmasi, dan kini seorang apoteker baru memimpin, berusaha menilai segala hal dalam instalasi ini, apakah ini masuk akal? Seseorang yang benar-benar asing merasa tahu betul akan instalasi ini. Viona sibuk dengan pikiran itu.

Lisa mulai bicara, “Viona, hanya kau dan aku apoteker di instalasi ini, karena itu aku sangat mengharapkan kerja sama darimu.”

Lisa tersenyum,”Aku tidak tahu apa yang dikatakan kakakmu, Wahyu padamu.”

Viona terkejut. Dari mana Lisa tahu tentang kakaknya itu yang menjanjikan kedudukan pak Restu padanya.

“Dan aku juga tidak tahu yang dijanjikan Dito padamu, tapi aku mohon kerja samamu untuk memajukan instalasi ini, bukankah teman sejawat adalah saudara kandung?”

Lisa tersenyum. Viona membalas senyum itu walau sedikit terdapat gurat paksaan di senyumannya.

“Nah, sekarang kau boleh pulang, aku tahu kau lelah,”kata Lisa.

—BERSAMBUNG—

THE HOSPITAL

PHARMACIST ON THE DUTY (PART 1)

Matahari sudah meninggi saat Armand melangkahkan kakinya di ruang UGD, rapat pengurus rumah sakit ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan, semua orang bertanya-tanya sebab-musabab hal itu terjadi, dan semuanya menunjuk Lisa, apoteker baru itu sebagai biang keladi.

Lisa mengerahkan seluruh petugas  di instalasi farmasi untuk mengecek segala sediaan farmasi di rumah sakit itu. Dia sudah menyusun semua indikator-indikator yang ingin dia ketahui sebagai bahan evaluasi kinerja instalasinya, dan sebelum hal ini selesai, rapat belum bisa berjalan. Semua warga rumah sakit hanya bisa mendengus saat dia memberikan permohonan penundaan rapat pada direktur dan meminta maaf atas kelambanan kerjanya. Kelambanan kerja?  Bukankah dia baru satu hari kerja di rumah sakit?

Seperti yang kini terlihat di depan mata Armand, para perawat berkasak-kusuk saat Lisa mengecek emergency kit di ruang UGD, perawat Rina berbisik pada rekan kerjanya, “Oh, jadi ini yang namanya Lisa?”

Harmi, perawat yang diajak bicara oleh Rina mengangguk, “Cantik juga.”

“Bukan hanya cantik, nasibnya juga baik, mengingat dia bisa menggaet bos.”

Keduanya tertawa.

“Andai saja aku seumuran dia, apa Pak Andre melirikku?”

“Melirik sih iya, tapi kalau tertarik belum tentu, hehehe!’

Harmi mencubit lengan Rina yang mengejeknya hingga rekan kerjanya itu meringis kesakitan. Kuku Harmi yang panjang membuat lengan Rina berwarna merah.

Armand berdehem saat berada di dekat mereka. Mereka jadi salah tingkah lalu berlalu untuk meneruskan tugas masing-masing. Sekarang tinggal Armand di sisi ruang itu hingga dia bisa dengan jelas melihat apa saja yang diperbuat Lisa. Gadis itu membuka satu persatu emergency kit, entah apa yang dilihatnya dari benda itu karena terlihat sesekali dia menulis di buku catatannya.

Armand berjalan menuju Lisa, setelah tubuhnya berjarak lima puluh centimeter dari gadis itu, Armand menyapa.

“Selamat siang, dokter Armand, “ sapa Lisa balik. Armand agak terkejut mendengar sapaan Lisa barusan. Dokter Armand? Sudah dua kali Lisa memanggilnya lengkap dengan title, beda jauh dengan masa kuliah dulu.

“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Armand.

“Hanya mengecek seluruh persediaan farmasi di ruangan ini?”

Armand mengangguk-angguk, “Kenapa harus kau lakukan sendiri?”

“Apakah ada petugas lain yang bisa membantu?” tanya Lisa.

“Kau bisa menyuruh stafmu.”

“Sebagian staf mengerjakan tugas ini di unit lain, sebagian lagi mengerjakan tugas pelayanan, aku harus pandai-pandai menyiasati tugas, SDM di instalasi farmasi terbatas, aku bahkan menyuruh staf yang sift sore untuk masuk dan menghitungnya sebagai kerja lembur, lalu kepada siapa aku harus menyuruh lagi?”

Lisa menjelaskan panjang lebar. Armand mulai mengerti. Memang seperti itulah keadaan instalasi farmasi. Dulu, beberapa kali pak Restu memohon untuk penambahan personel, tetapi beberapa kali pula usulan ditolak dan akibatnya instalasi farmasi adalah instalasi yang paling lamban perkembangannya. Armand berpikir akankah ada perubahan pada instalasi itu setelah ada Lisa. Apalagi keberadaan Lisa yang menjadi kontroversi di rumah sakit ini.

“Oke, apakah kau akan terus berdiri di situ?” tanya Lisa membuyarkan lamunan Armand.”Aku harus melanjutkan pekerjaanku.”

Armand tersenyum, dia segera berjalan menjauhi Lisa. Dalam hati dia merasa Lisa sudah sangat berubah. Lisa terlihat lebih tegar, lebih kuat, dia bukanlah gadis rapuh itu, gadis yang selalu mendatanginya dengan mata merah untuk berkeluh-kesah akan keadaan orang tuanya. Dia berpikir sejak kapan Lisa berubah, sejak kejadian di restoran itukah? Atau sejak Lisa bertemu Andre? Ah, dia tidak tahu.

Siang itu agenda Armand terbengkalai, dan akhirnya dia memutuskan untuk membantu UGD yang hari itu memang terlihat sangat sibuk.

Lisa masih berkutat dengan aktivitasnya, sesekali dia melirik Armand yang mulai sibuk dengan pasien UGD. Dalam hati dia mengagumi profesionalitas kerja Armand. Dia ingat, Armand dari dulu terlalu perfeksionis, mungkinkah hal itu yang mempengaruhi profesionalitas kerjanya. Lisa tiba-tiba menggelengkan kepalanya.

“Cukup, Lis. Teruskan pekerjaanmu!” perintah hati kecil Lisa. Dan akhirnya tubuh Lisa menurut, ditelitinya kembali deretan obat-obatan emergency kit didepannya, dihitungnya satu per satu jumlah dari tiap item obat, diperiksa tanggal kadaluarsa yang tercantum dalam tiap kemasan obat itu. Obat yang sudah kadaluarsa dia sendirikan, dimasukkan ke dalam plastic dan diberi etiket dari ruangan mana obat itu berasal. Hal itu nantinya digunakan untuk segera mengganti sediaan yang kadaluarsa atau habis. Obat emergency kit tidak boleh kosong, pikirnya dalam hati.

Dia mengkontak bagian gudang untuk membacakan obat-obatan dari UGD yang rusak, ED mau pun habis, bagian gudang menerangkan sediaan obat-obatan yang disebutkan masih ada, tetapi tidak ada orang yang bisa disuruh untuk mengantarkan obat-obatan tersebut karena semua orang sibuk dengan tugas yang Lisa berikan.  Lisa mulai geram,”Suruh tukang sapu untuk segera mengantarkannya kemari!”

Lisa berteriak, semua orang di ruang UGD menoleh ke arahnya, tak terkecuali Armand dan Lisa mulai berbuat seolah tidak terjadi apa-apa. Dia melanjutkan pekerjaannya. Kali ini mengecek tiap-tiap tabung gas di ruangan itu. Semua orang yang pada mulanya menoleh kepadanya sekarang mulai kembali ke aktivitas semula.

Kenapa aku berbuat begitu? Apa tepat keputusanku menyuruh tukang sapu untuk mengantarkan persediaan ke UGD? Bagaimana jika ada obat yang memang memerlukan perlakuan khusus saat penghantaran?Apakah tukang sapu tahu akan hal itu?

Lisa mulai was-was. Akhirnya dia mengalah, dilangkahkan kakinya meninggalkan UGD dan menuju ke gudang.

—BERSAMBUNG—

THE HOSPITAL

ARMAND SANTOSO (PART 2)

Malam itu hanya ada Armand dan Ibunya, tanpa Anita. Hingga pagi menjelang, seperti biasanya Armand memulai hari tanpa istrinya. Dia jogging di seputar rumah dan berhenti ketika tubuhnya basah oleh keringat.

Ketika menginjakkan kaki di beranda rumah, dia sempat melihat mobil keluarga Kusumadiharjo meninggalkan pekarangan rumahnya. Siapa yang bertamu sepagi ini? Tanyanya dalam hati. Dilihatnya sang Ibu tengah membereskan gelas bekas menjamu tamu tadi.

“Siapa yang datang?” tanya Armand.

“Bu Ratih,” jawab Rani sembari membawa gelas-gelas itu ke dapur untuk di cuci. “Bu Ratih tadi cerita bahwa  Andre telah membawa calon istrinya ke rumah.”

“Begitukah?” komentar Armand. Dia duduk di meja makan dan menuangkan teh ke dalam cangkir.

“Iya, dia sepertinya sangat bahagia. Hm, sepertinya kita harus bersiap untuk resepsi bersejarah.”

Rani duduk di samping Armand setelah aktifitasnya dengan gelas-gelas kotor selesai.

“Bu Ratih juga bilang bahwa gadis itu sangat formal. Terlalu formal malah.”

Armand menghirup tehnya, “Gadis itu adalah apoteker yang menggantikan Pak Restu.”

“Oh ya?”

Armand mengangguk.

“Jadi staff di rumah sakit sudah mengenal gadis itu?”

“Dia baru kerja sehari.”

“Bagaimana dia? Cantik?” tanya Rani.

Armand mulai melamunkan Lisa, “Iya… Dia cantik.”

“Ah, kenapa Ibu menanyakan itu?”

Armand segera meninggalkan ruangan itu untuk melakukan aktifitas selanjutnya. Semalam dia sudah mengatur agendanya untuk hari ini. Hari ini ada pengobatan gratis di panti jompo sampai pukul duabelas, jam satu siang ada rapat dengan pengurus rumah sakit, dan sore hari praktek pribadi, dan jaga di UGD malam harinya.

Pengobatan gratis di panti jompo pun  berjalan dengan lancar, tingkah konyol para kakek-nenek itu sangat menggelikan. Armand hanya tersenyum simpul saat salah satu dari nenek itu ingin menjodohkan salah satu koas bawahannya dengan cucunya. Beberapa sempat protes saat tape recorder memperdengarkan lagu-lagu tempo dulu, semua staff yang dia bawa agak terkejut saat kakek-nenek itu minta diperdengarkan lagu-lagu yang tengah hit. Akhirnya jadilah ajang dansa antara kakek-nenek itu di ruang tunggu pasien.

Saat tiba giliran Mbah Tardi, salah satu penghuni panti yang terkenal mampu membaca pikiran orang lewat mimik wajah, Armand segera memeriksa keadaan lelaki tua itu. Dia agak kikuk ketika Mbah Tardi terus memandang wajahnya lekat-lekat. Armand sempat heran dengan keadaan Mbah Tardi, setiap kali Armand memeriksanya, setiap kali pula Armand melihat keadaan pria tua itu tidak berubah, tensi yang masih saja 130/85, berat badan yang masih 60 kg, dengan tinggi badan 160 cm, sungguh kondisi yang masih begitu fit.

“Kondisi Mbah bagus,” komentar Armand,”Saya bangga dengan Mbah, saya rasa, saya cukup memberi mbah vitamin saja.”

Armand menyerahkan lembar resepnya. Dia terkejut saat tiba-tiba mbah Tardi menarik tangannya dan mengamati telapak tangannya. Sesaat Armand membiarkan lelaki itu berbuat sekendak hati dengan telapak tangannya hingga akhirnya lelaki itu melepaskan tangannya dan mulai beranjak dari tempat duduk.

“Jangan pernah merebut yang sudah bukan milikmu, dok…. , “  kata Mbah Tardi tiba-tiba. Kening Armand berkerut, apa maksudnya? Mbah Tardi hanya tersenyum.

—-BERSAMBUNG—-